Lala Zdwie (Lamuri)

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK
2.3.a.8 KONEKSI ANTAR MATERI

COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK

Coaching merupakan sebuah paradigma pendampingan yang berupaya memanusiakan manusia (humanisasi). Sebagai seorang pedagog/ pamong, pendidik perlu menguasai keterampilan Coaching untuk menuntun segala kodrat siswa di mana hal tersebut sesuai dengan tujuan/ maksud pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Dengan keterampilan Coaching seorang pendidik (Coach) akan mampu memberikan kebebasan kepada siswa (Coachee) untuk menumbuhkembangkan kodratnya, memberi tuntunan dan memberdayakan potensinya agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Mindset “Tut Wuri Handayani” dengan pendekatan ARTI (Apresiasi, Rencana, Tulus, dan Inkuiri) juga akan mengaktivasi kerja otak siswa sehingga mereka mampu melakukan “metakognisi”, berpikir kritis dan mendalam, serta menemukan potensi diri dan mengembangkannya.

Jika dikaitkan dengan “Pembelajaran Berdiferensiasi” dan “Pembelajaran Sosial-Emosional”, maka “Coaching” adalah penyempurna “Praktik Pembelajaran yang Berpihak pada Murid”. “Pembelajaran Berdiferensiasi” memberikan pemahaman bahwa murid dengan berbagai karakteristik tentu harus dilayani dengan berbagai pendekatan, metode, dan strategi belajar yang berbeda-beda agar kebutuhan belajarnya terpenuhi. Diferensiasi pada pembelajaran dapat dilaksanakan dengan dasar kesiapan belajar murid, minat murid, serta profil belajar masing-masing murid. Dalam pelaksanaan pembelajaran, diferensiasi dapat dilakukan dengan membedakan Konten, Proses, maupun Produk belajar yang direncanakan sebelumnya dengan mempertimbangkan hasil pemetaan kebutuhan belajar murid. Pemenuhan kebutuhan belajar di kelas juga tidak terbatas pada aspek kognitif saja, namun juga secara holistik meliputi kognitif, fisik, dan sosial-emosional, sehingga dibutuhkan “Pembelajaran Sosial-Emosional” yang akan membantu guru maupun murid untuk mengelola diri baik lahir maupun batin dan memaksimalkan perkembangan budi pekertinya. Dengan mengoptimalkan penguasaan 5 Kompetensi Sosial-Emosional dan didukung Kesadaran Penuh (Mindfulness) diharapkan tercipta Well-Being (Kesejahteraan Hidup) yang dapat mengantarkan murid pada keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat seperti tujuan/ maksud pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Dengan penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial-Emosional, Coaching kemudian menjadi “penyempurna” yang akan menuntun dan memfasilitasi pengembangan potensi murid yang beragam tersebut dengan semangat “humanisasi” yang memperhatikan aspek sosial-emosionalnya.

Coaching merupakan sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana Coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari Coachee. (Grant, 1999). Pramudianto (2020) menyampaikan 3 makna dalam pengertian Coaching itu sendiri, yaitu Kemitraan (hubungan setara dan tidak membedakan otoritas), Memberdayakan (melalui pertanyaan reflektif, menggali dan memetakan situasi, serta menghasilkan ide baru dari pihak Coachee), dan Optimalisasi (dimana Coachee menemukan jawaban sendiri atas permasalahan/ kebutuhannya, adanya rencana yang diterapkan dalam aksi nyata, dan bertujuan agar potensi Coachee berkembang).

Guru yang diibaratkan sebagai seorang tukang kayu “harus memahami sepenuhnya seluk beluk kayu dan cara pengolahannya” adalah orang yang harus benar-benar paham seni dalam mendidik murid. Oleh karena itu keterampilan Coaching merupakan hal penting bagi guru untuk dapat menuntun murid, memberdayakan potensinya agar mereka tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Coaching juga merupakan sebuah pendekatan “Memerdekakan Murid” dengan Mindset Tut Wuri Handayani yang menganggap murid sebagai mitra belajar, bersifat emansipatif, didasarkan pada kasih dan persaudaraan, serta dilakukan dalam ruang perjumpaan pribadi.

Terdapat perbedaan mendasar pada praktik Coaching, Konseling, dan Mentoring yang dilaksanakan oleh seorang pendidik. Jika seorang Konselor berfokus untuk membantu menyelesaikan masalah Konseli, dan Mentor memberi tips untuk mengatasi permasalahan Mentee berdasarkan pengalamannya, maka Coaching lebih mengedepankan pertanyaan-pertanyaan yang menggali hambatan dan cara mengatasi hambatan tersebut sehingga Coachee yang akan menyelesaikan masalahnya sendiri. Seorang guru dapat memerankan ketiganya tergantung pada kebutuhan peserta didik dan situasi yang dihadapi.

Modal utama bagi seorang guru dalam melaksanakan praktik Coaching adalah kemampuan “Komunikasi yang Memberdayakan”. Unsur utama Komunikasi yang Memberdayakan adalah adanya hubungan yang saling mempercayai, menggunakan data yang benar (objektif), bertujuan menuntun untuk optimalisasi potensi, serta adanya rencana tindak lanjut/ aksi sebagai hasil dari proses komunikasi. Selain itu, untuk mendukung praktik Coaching seorang guru perlu memperhatikan 4 aspek dalam berkomunikasi yang sangat perlu dikembangkannya sebagai seorang Coach, yaitu: Komunikasi asertif, Pendengar aktif, Bertanya efektif, dan Umpan balik positif.

Komunikasi asertif yang dilakukan dengan menyampaikan secara tegas suatu kebutuhan tanpa merusak relasi/ menyinggung pihak lain, serta dilakukan dengan jujur dan bertanggung jawab akan membangun kualitas hubungan lebih positif, adanya pencapaian bersama, serta kualitas hubungan yang dibangun atas rasa hormat terhadap pemikiran dan perasaan orang lain. Pendengar aktif yang mempraktikkan proses komunikasi dengan mendengar lebih banyak, Coach meminimalkan porsi bicara, dan menjadikan Coachee sebagai pusat Coaching, dan mengesampingkan agenda pribadi yang menyebabkan kita melakukan justifikasi terhadap Coachee. Terdapat 5 teknik yang dapat kita lakukan untuk menjadi seorang pendengar aktif, yaitu : 1) memberikan perhatian penuh pada lawan bicara; 2) tunjukkan bahwa kita mendengarkan, misalnya melalui bahasa tubuh dan respon positif; 3) menanggapi perasaan dengan tepat (nada positif dan berikan afirmasi); 4) memparafrasekan apa yang disampaikan, dengan menegaskan kembali makna pesan yang disampaikan Coachee menggunakan kalimat kita sendiri; dan 5) bertanya untuk mendorong lawan bicara menguraikan lebih lagi tentang keyakinan atau perasaannya.

Bertanya efektif juga tidak kalah penting dari komunikasi asertif dan pendengar aktif. Bahkan bisa dikatakan bertanya efektif merupakan modal awal seorang Coach dalam melaksanakan praktik Coaching. Bertanya efektif dalam proses Coaching bermanfaat untuk menstimulasi pemikiran Coachee, memberikan perspektif yang lebih luas tentang suatu hal, menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam, memberdayakan potensi lawan bicara dalam menganalisa topik, serta memotivasi diri dalam mengambil keputusan. Pentanyaan efektif sendiri terbagi menjadi 6 jenis, yaitu : 1) pertanyaan terbuka; 2) pertanyaan berfokus pada tujuan; 3) pertanyaan reflektif; 4) pertanyaan eksplorasi; 5) pertanyaan mengukur pemahaman; 6) pertanyaan aksi. Aspek terakhir yang perlu dikembangkan seorang Coach adalah memberi “Umpan Balik Positif”. Memberi umpan balik positif dalam praktik Coaching dapat membangun potensi yang ada pada Coachee dan menginspirasinya untuk berkarya/ mengembangkan potensinya. Bentuk umpan balik dapat diberikan melalui berbagai cara dengan memperhatikan beberapa aspek, yaitu langsung diberikan saat berkomunikasi, spesifik, mengikutsertakan faktor emosi yang dirasakan, dan menyertakan apresiasi (motivasi positif).

Dalam melaksanakan praktik Coaching terdapat suatu model yang dikenal dengan akronim “TIRTa” yang merupakan kepanjangan dari Tujuan, Identifikasi, Rencana aksi, dan Tanggung jawab. TIRTA yang dari segi bahasa diartikan sebagai “air” memiliki makna bahwa murid ibarat air, biarkan ia merdeka, mengalir lepas hingga hilir potensinya. Dalam pengertian tersebut, guru bertugas untuk menjaga agar air itu tetap mengalir, tanpa sumbatan dan menyadarkan Coachee bahwa mereka mampu menyingkirkan sumbatan yang menghambat potensinya.

Kesimpulannya, bahwa praktik Coaching adalah salah satu wujud peran seorang guru dalam menjalankan pendidikan yang berpihak pada murid sekaligus memberi tuntunan bagi mereka untuk dapat menemukan solusi atas masalah yang dihadapi serta mengembangkan potensi yang dimilikinya agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Well-Being). Dengan mampu berperan sebagai seorang Coach maka guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih memberi dampak dalam pengembangan diri murid secara holistik.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Pak. Salam literasi

29 Mar
Balas

Mantap ulasannya, sukses Pak

29 Mar
Balas



search

New Post