Cerita Kelas Bu Laila (1) Malas Mencatat
Kamis, 6 Januari 2022
Jika biasanya saya berkeliling saat pertengahan pembelajaran, entah mengapa pagi itu di kelas XI IPA 3 saya mulai berkeliling di saat awal pembelajaran. Apalagi karena ada kendala pada tampilan laptop di layar LCD yang membuat saya tiba-tiba berinisiatif untuk berkeliling dan mengecek catatan mereka satu per satu.
Disinilah hal menarik saya temukan, ternyata hanya beberapa siswa saja yang catatannya lengkap. Padahal pertemuan sebelumnya baru berlangsung 2 hari yang lalu. Saya ingat betul pada saat terakhir mengajar, ada satu soal yang dibahas namun hanya tinggal menghitung nilai akhir saja yang belum sempat dibahas bersama. Saat itu saya berpesan, silahkan dicatat atau diabadikan lalu diselesaikan sendiri. Namun nyatanya, kurang dari 10 siswa yang mencatat ulang dan hanya 2 siswa saja yang menyelesaikan hitungannya. Wah tentu saja membuat saya memaksa mereka untuk mencatat materi pada hari ini dan meninggalkan layar laptop saya.
Pagi itu juga saya putuskan untuk meninggalkan mengajar secara digital, dan kembali ke cara konvensional. Saya mendekte pertanyaan dan meminta mereka mengerjakan langsung. Dalam proses pengerjaan pun saya berkeliling untuk mengecek jawab siswa. Tujuan berkeliling bukan sekedar untuk menakuti siswa agar mencatat namun agar saya lebih bisa melihat apa kesulitan mereka. Meskipun ada yang meresa senang ketika saya dekati, namun ada pula yang takut dan grogi ketika saya mendekat. Saya katakan, gpp kamu grogi yang penting kamu bisa menyelesaikan soalnya, gpp kamu takut karena saya tidak marah kok kalau kamu salah.
Bagi saya pribadi, berkeliling bukan hanya memastikan mereka mencatat namun agar saya bisa melakukan pendekatan pribadi ke masing-masing siswa karena kadang mereka malu untuk bertanya di kelas. Dengan berkeliling juga, siswa yang tidak pernah mencatat jadi merasa malu dan ‘terpaksa’ mencatat sedangkan bagi yang gemar mencatat jadi merasa bahagia karena bisa mendapat apresiasi secara langsung.
Memahami Fenomena Mencatat
Di era serba digital, kadangkali hal yang menjadi kebiasaan di masa lalu menjadi hal yang tabu untuk dilakukan kembali di masa sekarang.
Contohnya mencatat. Ketika saya masih berusia sekolah, mulai dari SD-SMA, kita selalu diajar dan ‘dipaksa’ untuk mencatat. Mulai dari mencatat materi, mencatat soal, mencatat jawaban, hingga mencatat apa yang guru jelaskan. Maklumlah dulu tak ada media elektronik dan harga bukupun relatif mahal sehingga mencatat menjadi kegiatan rutin di dalam kelas.
Memasuki tahun 2010 keatas, dimana proyektor sudah menjadi hal yang biasa di kelas, maka budaya mencatat pun perlahan mulai hilang. Para siswa lebih memilih meminta file saja dari para guru untuk nantinya akan dipelajari (katanya). Bahkan ketika handphone sudah menjadi kebutuhan primer, budaya mencatat benar-benar hilang dan diganti dengan mem-foto. Yang sekali lagi katanya akan mereka baca dan catat ketika dirumah. Iya katanya. Namun ketika dicek, ternyata foto hanyalah suatu foto yang hanya disimpan saja.
Salahkah jika tidak mencatat?
Tentu saja tidak. Mencatat hanyalah satu dari sekian banyak metode belajar. Setiap anak punya cara belajar sendiri-sendiri dan kitapun tidak bisa memaksa mereka hanya mengikuti satu metode saja. Ibarat mengajari kepiting untuk berjalan lurus maka tidak mungkin pula kita memaksa anak untu belajar dengan cara yang kita tentukan.
Mencatat memang suatu pilihan namun apakah yang tidak mencatat akan menjamin dia untuk mau belajar dan mengulang yang telah dipelajari di kelas? Itu yang menjadi pertanyaan. Jika yang mencatat saja belum tentu mengulangi lagi dirumah, bagaimana dengan yang tidak mencatat? Memang sih kita tidak boleh berprasangka buruk tapi bukankah lebih baik berpikir kemungkinan terburuk. Dengan demikian, kita bisa mempersiapkan solusi untuk masalah itu.
‘Pemaksaan’ saya untuk mencatat tentunya hanya cocok dilakukan oleh siswa saya sendiri yang saya tahu betul karakter dan sejarahnya. Hal ini juga tidak bisa disamakan dengan siswa lain. Sehingga bagi guru lain mungkin hal ini bukan masalah. Mencatat bukan hal penting dan perlu dipaksaan. Tidak apa-apa dan tidak salah. Semua guru punya cara tersendiri toh yang penting tujuan kita sama yakni mencerdaskan anak bangsa.
Semangat untuk semua Guru Indonesia!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ulasan yang sangat inspiratif, pengalaman saya juga seperti yang ibu ungkapkan Salam sukses selalu
semangat terus untuk kita semua bu.maaf baru mebalas karena kmrn smpt off. salam kenal ya bu
semangat terus untuk kita semua bu.maaf baru mebalas karena kmrn smpt off. salam kenal ya bu
semangat terus untuk kita semua bu.maaf baru mebalas karena kmrn smpt off. salam kenal ya bu