Lailatul Qodriah

Guru Sekolah Dasar yang mencintai hujan dan senja. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Ketika Itu

"Kita pernah sedekat ini."

Suara Satya terdengar lirih. Tubuhnya bergeser mendekat. Aku menggumam, mensahihkan ucapannya. Netra ini masih memandang lurus persawahan. Luas tanpa batas.

"Lihat bukit itu, engkau pernah berlari dan menangis kencang karena takut lenguhan sapi yang bergema memantul ke segala arah dan itu ... di sawah ujung dekat sungai, engkau pernah terperosok dalam lumpur hingga sepinggang, lagi-lagi menangis ketakutan."

Aku tersenyum memandang ke arahnya yang sedang tergelak. Masa kecil sampai habis masa remaja memang selalu bersamanya. Tak pernah terpisah.

"Engkau masih ingat saja, Satya."

Lelaki itu menarik napas. Seakan ada beban di bahunya.

"Aku akan selalu ingat kamu, Ning. Mengenang semua perjalanan kita."

Aku terpekur. Tangannya menepuk bahuku, dingin terasa.

"Rumah ini, masih seperti dulu. Rumah Emak dan Abahmu, pribadi yang selalu baik dalam perilaku. Rumah ini masih menyapa dalam kehangatan senja."

Lelaki penuh pesona itu menatapku yang mulai terisak sedih.

"Maapkan aku, pernah menghilang di saat kebahagiaan itu hampir dalam genggaman kita."

Isak tangis makin kencang. Lama bahu ini terguncang menahan sesak di dada. Satya bergeming. Seolah hanya mendengarkan sedu sedanku tanpa berkata apapun lagi.

"Kemanakah engkau pergi, Satya? Di saat pernikahan kita hanya menghitung jam, engkau malah menghilang."

Kutatap manik matanya yang berkabut.

"Andai engkau tahu, Ning ...."

Mataku menatapnya penuh amarah.

"Tahu apa? Engkau tak pernah kembali! Jelaskan tentang semua alasanmu meninggalkan aku dengan gaun pengantin sendirian tanpa kabar! Engkau kejam! Untung ada lelaki yang mau menyelamatkan muka Emak dan Abah, menggantikan posisimu, Satya!"

Kebencian itu menyeruak kembali. Ingin kuberlari meninggalkannya namun kaki ini terasa berat melangkah.

Satya menepuk lenganku. Senyumnya seakan tak terpengaruh atas luapan emosiku.

"Aku tak kemana, dan pernikahan itu tetap terjadi walau tanpa kehadiran aku. Namun asal engkau tahu, jiwaku

bersamamu dalam tangis dan jerit putus asamu."

Aku tergagap. Tak mengerti.

"Maksudmu, Satya?"

Lelaki itu masih tersenyum lembut.

"Lihat sungai itu?"

Tangannya menunjuk sungai di ujung utara persawahan. Aku mengangguk.

"Aku di sana, selama dua puluh delapan tahun tanpa pernah mampu kembali."

Aku menatapnya makin tak mengerti.

"Senja itu, sehari sebelum pernikahan kita, Hambali menghadangku yang baru saja kembali dari pasar, membeli sebagian kecil barang yang belum lengkap untuk pernikahan kita ..."

"Hambali suamiku?

Pertanyaanku memotong kalimat yang dijawab dengan anggukan Satya, lemah.

"Dia menebas leherku, mencincang tubuhku menjadi beberapa bagian. Sepanjang dia menghabisiku, teriakan kebencian terdengar karena aku akan menikahimu, sedang namamu adalah bidadari dalam khayalnya lalu potongan tubuhku dikubur dipinggir sungai dan ditutupi bebatuan besar. "

Aku bergerak mundur. Kaget bukan kepalang. Tak percaya.

"Engkau bohong! Jangan ftnah Hambali! Kalau memang engkau telah mati, mengapa baru sekarang aku dapat melihatmu? Mengapa engkau baru datang padaku?"

Aku meradang. Satya hanya menatapku sedih.

"Lihat di sekelilingmu, Ning."

Aku mengikuti arah matanya. Alangkah kagetnya ketika aku melihat pemandangan di sekelilingku. Tubuhku terlihat terbaring kaku di tengah rumah. Baiq dan Aryan, anak-anak tercintaku menangis meneriakkan namaku, orang-orang menatap jasadku penuh rasa ingin tahu. Hambali ... ah, lelaki yang selalu kuanggap sebagai pahlawan karena bersedia menikahiku di saat Satya tak pernah muncul di hari pernikahan, terlihat terpukul melihat tubuhku tak bergerak.

"Satya ...."

Suaraku bergetar.

"Ya, Ning. Engkau bisa melihatku karena engkau sekarang adalah ruh, sama sepertiku ...."

Aku menjerit. Mengingat percakapan semalam, tentang permohonan Hambali untuk menjual sawah warisan Emak dan aku tak memberi izin karena aku tahu pasti, uang itu akan dia habiskan di meja judi.

Tetiba aku mengusap leherku. Basah. Darah itu masih mengalir tanpa henti. Sekilas aku melihat seringai Hambali dengan linggis berlumuran darah.

Bekasi, 27122018

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Nuhun bu siti ropiah. Saya dari Tambun Selatan. Suskes dan berkah jua buat ibu

28 Dec
Balas

Wowwww, sereem juga yah bun. Bunda Bekasinya mana yah, aku Cikarsng. Sukses selalu dan barakallah

28 Dec
Balas



search

New Post