Tak Lagi Ada Rasa (2)
Perempuan itu …
Ia sudah memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Sudah hampir dua puluh satu tahun ia mendampingi suaminya. Selama itu pula ia mencoba bertahan, terus menerus menunda dan berada dalam keragu-raguan. Kinilah saatnya. Ia merasa punya cukup keberanian. Ini adalah keputusan yang sudah ia pertimbangkan masak-masak. Ia paham resiko yang akan ia hadapi dengan statusnya jika ia jadi bercerai nanti. Ia siap menghadapi keluarga besarnya, kakak-kakaknya, yang mungkin tidak akan mendukung keputusannya. Ia juga sudah memikirkan keterkejutan ibunya yang sudah tua.
Tujuh tahun yang lalu, suaminya mengajaknya untuk pindah di sebuah kota di Jawa Tengah. Sebagai seorang dosen, suaminya harus kembali bersekolah dan mendapat gelar S-3 nya. Saat itu, pernikahannya menginjak tahun ke 12. Salah satu tahun yang dianggap rawan dalam kehidupan pernikahan menurut banyak orang tua. Benarkah? Pikirnya…
Saat itu, ia tinggal satu kota dengan ibu dan tiga kakaknya. Namun, ia jarang sekali bertemu dengan ibu atau kakaknya. Suaminya memintanya untuk membatasi hubungan dengan keluarganya dan ia tak membantah. Ia menurut apapun yang dikatakan suaminya. Ia ingin menjadi istri yang berbakti seperti yang dinasihatkan oleh ibunya. Meskipun, untuk itu ia harus merelakan sebagian kebahagiaannya.
Mendapatkan undangan pertemuan atau tasyakuran dari keluarga besarnya adalah hal yang paling dinantikannya. Dengan begitu, ia dapat melampiaskan kerinduan dan kebebasannya bertemu dengan keluarga besarnya, terutama ibunya. Hanya saja, untuk bisa menghadirinya, ia tetap harus mendapatkan persetujuan suaminya. Dan ia tak selalu mendapatkannya…
Sebenarnya, ia seringkali merasa malu. Ia tak ingin orang lain menganggap suaminya sebagai orang yang memutuskan silaturahmi atau tali persaudaraan. Sehingga, sewaktu suaminya mengajaknya pindah, ia sedih sekaligus merasa lega. Kepindahannya membuatnya semakin sulit bertemu dengan ibunya. Tapi disisi lain, ia tak lagi perlu membuat-buat alasan atas ketidakhadirannya dalam pertemuan keluarga.
Kepindahannya telah diatur semua oleh suaminya. Tak ada saudarapun yang ikut mengantar. Selama perjalanan, ia merasa sedih, sepi dan merasa kewalahan. Keributan yang dibuat oleh si kembar dan kehamilannya yang memasuki bulan ketiga, membuatnya semakin mudah lelah dan mual. Ia juga mulai berpikir tentang tempat dan suasana baru. Akankah ia dan anak-anak kerasan disana? Ia menggelengkan kepalanya, meyakinkan dirinya kembali bahwa ia sedang berhijrah. Ia memiliki harapan besar bahwa lingkungan baru akan membawanya pada hal yang lebih baik.
Namun, apa yang diharapkannya tak pernah menjadi kenyataan. Bahkan kelahiran putrinya, tidak membuat suaminya berubah. Suaminya mudah naik darah. Dan ia mengerti bahwa tuntutan sekolahnya membuat beban pikiran suaminya semakin bertambah. Ia berusaha melakukan apapun yang sekiranya dapat membantu suaminya. Tetapi semua yang dilakukannya, di mata suaminya, selalu salah. Suaminya semakin bertingkah. Ia menyerah …
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar