KEMALA EPRESI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

NAGARI BERKUBANG LUMPUR

Nagari adalah bentuk desa asli masyarakat Minangkabau, nagari berfungsi sebagai organisasi sosial dan politik tertinggi di Minangkabau sekaligus merupakan unit pemerintahan utama. Pada dasarnya nagari adalah bentuk pemerintahan “Republik otonom” yang mempunyai wilayah geografis sendiri dan pemerintahan sendiri. Secara simbolis nagari – nagari mengikatkan diri ke dalam suatu Federasi yang bersifat longgar yang di sebut dengan Luhak ( Taufik Abdullah 1984:108).

“Huuuuuuaaaah dinginnya....

Itulah kesan pertama umumnya orang bila menapakkan kaki di nagari kecilku Baruah Gunuang, terutama bila pagi dan malam hari. Sehingga masyarakat nagari ini lebih banyak berpakain tebal dalam beraktifitas sehari hari. Udaranya yang sejuk airnya yang dingin, hamparan undakan undakan sawah di lereng perbukitan, serta barisan perbukitan yang berliku – liku menambah keindahan hijaunya pemandangan . Keindahan alam yang benar benar asri. Suara ayam berkokok membangunkan di pagi hari, burung –burung menari dan bernyanyi di siang hari di tengah hembusan angin segar, malamnya dihiasi musik suara jankrik dan nyanyian kodok sahut sahutan. “Yach,” Ciptaan luar biasa yang dikaruniakan Allah untuk masyarakat Nagari Baruah Gunuang Kecamatan Bukit Barisan di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Berbicara tentang Nagari Baruah Gunuang tak kan pernah habis- habisnya, begitu banyak kenangan indah, manis, susah, sedih dan bahagia lahir di nagari tercinta ini. Baruah Gunuang merupakan tempat awalku hadir di bumi, tumbuh kembang, dimana kaki menapak, merangkak menjalani kehidupan serta memberikan rasa damai yang sulit di rangkai dengan kata kata. Keindahan dan keelokkan alamnya tak akan mampu digantikan dengan apapun. Sehingga setiap orang Baruah Gunuang yang merantau ke manapun dalam ataupun luar negeri maka pulang kampung adalah kebahagiaan yang tak terlukiskan , minimal satu kali dalam setahun mereka akan sempatkan juga pulang ke Baruah Gunuang untuk berlebaran Idulfitri dengan sanak keluarga handai taulan dan para tetangga ataupun teman teman lama. Berbagai permainan anak negeri ditampilkan untuk menghibur para perantau, diantaranya panjat pinang, pacu karung dan tak kalah serunya adalah pacu sepeda ( main sepeda diatas air yang dikasih Pelanta kecil, jika pemainnya tidak hati hati maka akan tercebur ke dalam air). Baruah Gunuang yang tadinya sepi akan ramai dan sibuk dengan kehadiran perantau. Ibarat pepatah Setinggi – tinggi terbangnya bangau, surutnya ke kubangan juga, hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, masih lebih enak di kampung sendiri.

Nagari Baruah Gunuang luasnya lebih kurang 16.188m2 dengan jumlah penduduk 4.418 jiwa, letaknya diperkirakan 900 sampai 1000 meter di atas permukaan laut ( Mdpl) hawanya sejuk dan dingin diperkirakan 20 sampai 21 derjat celsius. Suasananya selalu diselimuti arakan arakan awan putih terutama pagi dan sore hari sehingga sering juga disebut negeri di atas awan. Nagari Baruah Gunuang terdiri dari 10 Jorong yaitu : Baruah Gunuang I, Baruah Gunuang II, Banda Raik, Bukik Kambuik, Bigau, Padang Tongah, Pauah, Porontian dan Tobek Godang.

Mayoritas penduduknya adalah petani. Selain bertani di sawah dari dulu daerah ini merupakan sentra perkebunan Tembakau, cengkeh dan kopi. Dimasa kejayaannyanya di tahun 1960 sampai 80 an banyak penduduknya yang pergi Haji dan menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya berkat komoditi tembakau, cengkeh dan kopi tersebut. Waktu itu masyarakat Baruah Gunuang hidup berkecukupan, bahkan Jejak kejayaannya masih ada sampai saat ini, walau tidak sebanyak dulu lagi namun komoditas tembakau, cengkeh dan kopi tersebut masih ada dengan kuntitas yang tentu saja jauh lebih berkurang, tidak sebanyak dulu lagi. Ini terjadi karena disamping komoditi tembakau, cengkeh dan kopi masyarakat juga menambah komoditi lain yaitu seperti Kakao ( cokelat), cabe bahkan Jerukpun sudah Merambah petani Baruah Gunuang. Para petani lebih antusias menjadikan sawah sawah mereka untuk menanam cabe karena hasilnya bisa 3 kali lipat demikian juga dengan ladang ladang masyarakat sekarang sudah banyak diganti dengan tanaman jeruk. yang akan di jual ke Bangkinang dan Pekan Baru.

Jika kita berpetualang lebih jauh melintasi sejarah mengali sosok Nagari Baruah Gunung dimasa lalu. Maka nama Baruah Gunuang berasal dari 2 kata yaitu Baruah dan Gunuang, Baruah dalam bahasa Minangkabau artinya bawah, Gunuang artinya Gunung. Konon kabarnya berdasarkan penuturan Datuak Rajo Ibadat ( 1990) suaminya mak’uwo Syamsuniar kampuang Jilatang Baruah Gunuang I salah seorang tetua adat nagari mengisahkan, suatu ketika masyarakat Batang Aur sebelah baratnya Baruah Gunuang membuka lahan baru untuk perkebunan dengan jalan membakar hutan, tanpa mereka sadari tiupan agin menyebabkan apinya membesar sehingga mereka kewalahan untuk memadamkannya. Tiba tiba kobaran api semakin besar bahkan sebagian api tersebut terbang terbawa angin melintasi balik gunung sehingga mereka kaget dan berteriak teriak, “kemana terbangnya? “Kemana terbangnya? Maka di jawab oleh yang lainnya “ke Baruah Gunuang sana, “ke Baruah Gunuang sana”. Sambil menunjuk Nagari Baruah Gunuang, Sejak itu nagari tempat terbangnya api tadi disebut dengan Baruah Gunuang hingga saat ini.

Era 1980 an sampai 1990 an ketika penulis masih duduk di bangku SD dan SMP. Angkutan umum ke Baruah Gunung sangatlah jarang dan terbatas karena jalannya buruk dan berkubang lumpur .Jika akan berkunjung kepada keluarga yang ada di Suliki, di Payakumbuh atau kota lainnya ataupun saat sekolah menyelenggarakan liburan bersama ke Luar Baruah Gunuang maka kami harus bangun jam 3.00 malam mempersiapkan diri, berjalan kaki sambil menenteng barang bawaan tanpa beralaskan kaki karena alas kakinya harus dicopot sebab jalannya berlumpur . Jarak tempuh Baruah Gunuang dengan Koto Tangah lebih kurang 10km, setibanya di Koto Tongah baru Sholat subuh, kalau mobil tidak ada maka berjalan kaki akan dilanjutkan sampai ke Tanjuang Bungo, bahkan tak jarang berjalan kaki sampai ke Suliki berjarak 20 Km dari Baruah Gunuang yang merupakan pusat kecamatan waktu itu. Dari Suliki barulah naik Mobil ke Payakumbuh. Sebaliknya demikian juga , bagi masyarakat yang akan ke Baruah Gunuang naik mobil Cuma sampai ke Tanjuang Bungo, karena hari sudah sore akan bermalam dulu di sana, keesokan harinya perjalanan baru dilanjutkan lagi dengan berjalan kaki kembali, kecuali bagi yang membawa barang bawaan dalam jumlah banyak maka kuda beban adalah kendaraan handalan untuk mencapai Baruah Gunuang. Akan tetapi bila lebih 3 orang walaupun hari sudah sore perjalan ke Baruah Gunuang akan tetap dilakukan dengan bersuluhkan pusuang .Sungguh luar biasa perjuangan kami masyarakat dulunya untuk ke dan dari Baruah Gunuang, tanpa mengeluh kami lakoni karena bagian dari takdir sebagai penduduk yang tinggal di ujung negeri seperti yang penulis rasakan sendiri.

Walaupun Nagari Baruah Gunuang terselip di antara bukit – bukit di Bukit Barisan, sekarang kemajuan teknologi informasi telah menyapanya sehingga kemajuan demi kemajuan sudah mulai dirasakan masyarakat, salah satunya Lisrik dan air PDAM sudah menjangkau seluruh pelosok nagari bahkan pelosok bukit bukit dalam 10 jorong sudah dapat menikmati air bersih sehingga tidak perlu lagi ke Kula , tobek ataupun sungai untuk keperluan MCK seperti era 80 an. Kondisi Baruah Gunuang sekarang kita lihat “ nagari rasa kota”, Ibu –ibu Baruah Gunuang ikut mengiatkan perekonomian nagari, disamping bertani mereka juga melakukan kegitan menyulam pakaian atau menjahit bordiran, dulunya jahit bordiran dilakukan dengan mesin jahit manual yang digerakkan dengan kaki , sejak masuknya listrik mereka sudah menggunakan mesih jahit listrik. Begitu juga aktifitas dimalam hari anak anak akan mengaji ke surau atau masyarakat beribadah ke mesjid tidak lagi menggunakan Pusuang sebagai penerangan, sudah digantikan oleh lampu lampu jalan yang terang benderang, suasana Baruah Gunuang sekarang layaknya seperti di kota.

Kemajuan trasportasilah yang masih dirasakan belum sempurna oleh Masyarakat, terutama jalan yang belum rata yang menghubungkan antara nagari Tanjuang Bungo dengan Koto Tangah menuju ke Baruah Gunuang. Sudah sangat lama sekali masalah jalan disini belum juga tuntas bahkan saat penulis menyelesaikan tulisan ini, jalan tersebut masih sangat memprihatinkan, apabila hujan datang maka melintasi jalan ini merupakan perjuangan yang mendebarkan bagi sopir serta masyarakat yang ada dalam mobil tersebut, namun jika hari teduh cuaca cerah , melintasnya tidak menimbulkan masalah. Jika ini berlarut dan di biarkan maka seluruh potensi yang ada di Nagari Baruah Gunuang tidak dapat di optimalkan. Mudah mudahan secepatnya Masyarakat dapat menikmati mulusnya jalan ke dan dari Baruah Gunuang kehingga potensi keindahan alamnya dapat pula di eksplor oleh banyak orang.

Catatan:

Palanta = tempat duduk santai dari bambu

Baruah = bawah

Gunuang = gunung

Mak’uwo = nenek

Bersuluh = penerangan

Pusuang = obor dari bambu

Kula = kolam bersih tempat mandi

Tobek = kolom

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap tulisannya

14:33
Balas

makasih bu Ris, lagi belajar nulis bu, kebetulan saya guru sejarah. Salam sehat ibu Rismalasari

14:48

makasih bu Ris, lagi belajar nulis bu, kebetulan saya guru sejarah. Salam sehat ibu Rismalasari

14:48

jadi tahu nagari baruah gunuang, terima kasih bu

15:02
Balas

Ya pak Sandy, itulah kampung kami,terimakasih atas kunjungannya. Salam sehat dan auksea selalu

16:26

Ya pak Sandy, itulah kampung kami,terimakasih atas kunjungannya. Salam sehat dan auksea selalu

16:26



search

New Post