Karnain Abidin

Lahir di Rupe (Bima) pada tanggal 27 Juni 1971, Pendidikan: S1 PLB Universitas Negeri Makassar (UNM) 2000, S2 PIPS Kanjuruhan Malang (Unikama) 2016, Mo...

Selengkapnya
Navigasi Web
Euforia dan Disforia di Media Sosial
Sumber: KPU

Euforia dan Disforia di Media Sosial

#TantanganGurusiana365

#HariKe328

Saya sebenarnya tidak ingin menjabarkan pengertian kedua kata tersebut. Saya hanya ingin mengupas sedikit terkait dengan fenomena yang sedang terjadi. Terutama dalam 2 hari terakhir ini, pasca dilaksanakan pesta demokrasi.

Namun untuk menyegarkan ingatan, baiklah saya ketengahkan pengertian kedua kata tersebut. Euforia dan disforia merupakan dua kata serapan yang berasal dari bahasa Yunani. Dalam KBBI, Euforia berarti perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan. Sedangkan disforia, merupakan antonim dari euforia, berarti depresi yang disertai dengan kecemasan.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) baru saja selesai. Disamping manfaatnya untuk mencari pemimpin terbaik pilihan rakyat, namun masih menyisakan dampak yang luar biasa bagi kehidupan bermasyarakat. Tatanan kehidupan masyarakat yang selama ini terjalin harmonis sekarang terjebak dalam sekat-sekat perbedaan pilihan. Keadaan ini diperparah oleh dukungan media sosial.

Media sosial sebagai wadah berkomunikasi dengan orang terdekat, kini tak jarang menjadi alat untuk menyebar kebencian dan saling hujat. Selain itu, media sosial juga telah menjadi alat untuk meluapkan kegembiraan.

Tak cukup hanya itu. Aksi bully tidak jarang terjadi. Taruhlah contoh, misalnya ada salah seorang dari kubu lawan yang mengalami musibah atau kecelakaan. Bukannya diberikan semangat dan mendoakan kesembuhannya. Yang terjadi malah sebaliknya. Si korban dibully dan dicaci maki dengan segala macam sumpah serapah.

Di lain sisi, masyarakat yang ada pada posisi yang kalah akan merasa kecewa dan sakit hati. Mereka mengalami depresi, muram, sedih, dan tertekan. Tidak tahan dibully, kadang mereka juga menantang argumen dengan kata-kata tak pantas.

Dampak yang lebih jauh lagi, kaitan dengan kehidupan spiritual dan sosial kita. Orang tidak lagi perduli dengan keadaan sesama. Musik disetel keras-keras, yang sudah barang tentu, mengganggu orang lain. Joget dan konvoi di jalan yang bisa mengganggu pengguna jalan yang lain. Akibat terlena dengan pesta kemenangan, panggilan shalat pun audah sering diabaikan. Tidak jarang, suara musik lebih kencang daripada suara azan. Nauzubillah.

Fenomena lain yang cukup mengganggu, ialah telah terjadi ajang perjudian yang (sepertinya) sama-sama "dilegalkan". Dibiarkan dengan leluasa bergerak di tengah masyarakat pemilih. Transaksinya dilakukan secara sembunyi maupun terang-terangan. Tidak jarang voter yang berubah pilihan hanya karena pengaruh rayuan penjudi.

Simpulannya, euforia dan disforia merupakan dua keadaan psikologis yang sangat menghawatirkan. Sama-sama tidak baik bagi kesehatan mental masyarakat yang agamis. Kemenangan seharusnya dimaknai dengan sujud syukur, bukan hura-hura yang cenderung alpa akan tugas utama.

****

Bima, 10 Desember 2020

Salam literasi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pengingat yang luar biasa Pak guru. Kita tak perlu larut smp lupa tugas dan kwajiban nggeh. Sayangnya lombok timur tdk sdg pilkada heee...

11 Dec
Balas

Iya nih Bu Murdianah. Merasa risih aja dengan tingkah yang berlebihan. Salam sehat nggeh..

11 Dec



search

New Post