SAY HELLO DENGAN CERPEN ADIKKU KARYA IBU KHATIJAH
SAY HELLO DENGAN CERPEN ADIKKU KARYA KHATIJAH
Oleh: Yusuf Nugraha
Aku masih ingat kata-kata salah seorang dosenku yang selalu diucapkannya, juga dituliskan dalam bukunya. Beliau tidak jarang berpesan bahwa menulis itu adalah salah satu aktivitas silaturahim melalui kata-kata dan tulisan (karya) itu akan membawa nasibnya sendiri.
Untuk itu, anggaplah ini sebuah silaturahimku kepada para gurusianer yang membaca tulisan ini, khususnya kepada gurusianer, Ibu Khatijah. Baru sekali aku bertegur sapa dengannya ketika beliau berkomentar di salah satu coretanku “Bermain-main dengan Cerpen-Cerpen Gurusiana Bag.1”. Beliau memintaku, untuk membaca karyanya yang berjudul Selendang Merah Jambu. Hanya saja, aku belum sempat memenuhi permintaan seperti yang ditulisnya di kolom komentar. Alasan utama, karena cerpen itu terdiri dari beberapa bagian. Yang terakhirnya dipublis saja sudah mencapai bagian ke-49 dengan ending yang masih ‘bersambung’. Butuh waktu khusus dan serius untuk membaca semua itu. Akhirnya, aku coba lihat-lihat karya beliau lainnya. Sampai akhirnya, aku berinisiatif membaca cerpen-cerpen awal yang dipublis di minggu akhir Januari. Dasar pertimbanganku adalah cerpen awal akan menjadi tolak ukur mencermati cerpen-cerpen selanjutnya.
Teringat tulisan salah salah seorang kritikus sastra yang mengatakan bahwa apalah artinya sebuah karya tanpa ada pembaca yang mengapresiasi. Pengarang, teks, dan pembaca merupakan tiga unsur yang tidak bisa terpisahkan. Sebagus apa pun karya itu, hanya akan menjadi ‘artefak’ mati jika tidak ada yang mengapresiasi.
***
Cerpen yang berjudul “Adikku” karya Khatijah terdiri dari 7 bagian walaupun sebetulnya itu satu cerpen. Cerpen tersebut dipublis dari mulai tanggal 25 Januari - 03 februari. Artinya, beliau mempublis satu bagian cerpen perharinya. Saya salut dengan kegigihan seorang Ibu guru yang juga ibu rumah tangga itu. Dalam kesibukannya, tetapi masih sempat menulis setiap hari seperti itu.
Cerpen ‘Adikku” menceritakan tentang seorang tokoh aku (kakak) yang terpaksa pulang karena kondisi adiknya yang sakit. Sesampainya di rumah orang tuanya, si tokoh aku mendapati adiknya sudah meninggal. Cerita selanjutnya menggambarkan tentang peristiwa pengurusan jenazah adiknya sampai dikuburkan hingga gambaran aktifitas ‘tahlilan’.
Peristiwa dalam cerpen itu mengalir begitu lancar dengan pola kronologis dari mulai si tokoh ‘aku’ dalam bis, dijemput saudaranya, sampai di rumahnya, hingga pada proses pemakamannya adiknya dan aktifitas malam tahlilan. Barulah di dua bagian terkahir (bag.6 dan bag.7) pencerita menggunakan pola flashback yang menggambarkan tokoh aku yang mendapat informasi bahwa kondisi adiknya sedang sakit. Sepertinya, pencerita sengaja mengawali ceritanya dengan sebuah tegangan. Pastinya, pencerita bukan tidak ingat menempatkan ‘orientasi’ di akhir. Hebatnya, walaupun polanya dijungkir balik, tetapi peristiwa itu tetap terjalin utuh.
Dari sisi cerita, cerpen Adikku biasa saja, tidak menonjolkan sesuatu yang luar biasa. Walaupun ada narasi tradisi lokal masyarakat yaitu takziah dan tahlilan, tetapi itu hanya digambarkan sebagai pelengkap cerita saja. Karena dalam cerpen itu, pengarang lebih fokus ingin menyapaikan pesan bahwa kematian itu pasti. Seperti paragraf yang ditulisnya,
“Banyak pelajaran yang dapat kupetik dari peristiwa itu. Bahwa kematian pasti menjemput. Entah kapan ia datang, merupakan rahasia sang pencipta. Tidak memandang muda atau tua, kaya atau miskin. Kematian bisa datang melalui sakit, atau melalui penyebab lain. Hidup di dunia ini hanya sementara. Kadang aku bertanya kepada diriku sendiri sudahkah aku punya persiapan untuk menyambut kedatangannya? Bisakah sisa usia ini dijadikan ladang menanam amal kebaikan? Padahal aku sering mendengar bahwa “Putuslah amalnya orang-orang yang sudah meninggal dunia, kecuali tiga perkara , yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang shaleh.” (HR.Muslim no 1631). Hadits ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebelum mati, kita harus memperbanyak amalan shaleh.”
Penyampaian pesan secara langsung oleh si pencerita dalam satu paragraf seperti itu sebetulnya terasa mengganjal. Seandainya, pesan itu dibungkus dalam bentuk lain, misal dalam dialog antar tokoh atau mungkin disampaikan tokoh lain, mungkin akan terasa lebih menyatu.
Yang menarik dari cerpen ini adalah bagaimana si Penulis begitu piawai membuat narasi dan deskripsi sehingga jalinan cerita dan latar suasana begitu hidup. Sebagai sample, berikut dikutip salah satu paragraf yang menggambarkan deskripsi latar.
“Mataku menyapu ke seluruh isi ruangan. Ruangan yang biasanya ditempati kursi-kursi tamu, saat itu diganti dengan tikar-tikar yang sudah dihamparkan. Beberapa orang tetangga dan sanak famili duduk berkumpul di ruangan itu. Ada yang membaca Surat Yassin, ada yang hanya duduk sambil membaca doa-doa, tetapi ada juga yang menangis sesenggukan. Di sebelah barat di ruangan itu tampak ada meja panjang yang di atasnya terdapat peti yang ditutupi kain berwarna hijau dengan tulisan Arab Innalillahi wainnalillahi rojiun. Seperti mimpii buruk terjadi padaku. Aku seolah tidak percaya melihat pemandangan yang memilukan itu (Adikku bagian 2).”
Setiap karya sastra akan bersifat terbuka ketika diapresiasi pembaca. Oleh karena itu, saya sampaikan bahwa Anda boleh tidak percaya dengan apa yang telah ditulis di sini. Agar Anda bisa yakin, silahkan Anda baca sendiri cerpen yang berjudul Adikku karya ibu Khatijah. Salam.
Rawa Denok, 17/04/2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
MasyaAllah. Ulasannya mantab bgt.
Mantap
Masyaallah. Kang Yunu ulasannya bikin merinding. Terima kasih banyak atas resensi yang hebat. Tulisan Bapak menjadi motivasi saya untuk terus menulis. Bapak sudah mengulas kelebihan dan kekurangan cerpen yang saya tulis. Semua menjadi masukan yang sangat berharga. Contohnya pe yampaian pesan cerpen yang seharusnya.masuk pada dialog. Memang benar kalau pesan itu terdpat pada dialog akan lebih hidup dan lebih menarik. Terima kasih, semoga kesehatan dan kesuksesan senantiasa menyertai Bapak. Saya tunggu ulasan berikutnya.
Mohon maaf sebelumnya, bunda. Karena susah bacanya diblog. Jadi saya copas dulu cerpennya...he..he..punten ya. Mohon maaf juga jika tulisan saya kurang pas, maklum lagi belajar mengkaji Bun. Salam
Mohon izin share ya Bapak.
silahkan Bun. Dengan senang hati.
itu merupoak suatu bentuk apresiasi pada penulis lainnya..terkadang semua penulis semua juga berusaha saling mengkrisan,,mungkin hanya belum ada kesempatan dan mengenal satu sama lain saja yg membuat belum bisa saling bersilaturahmi..salam hormat
Iya Pak. Salam hormat kembali