Navigasi Web

PERSAINGAN

Oleh : Riswo

Di pagi buta, Marni dan ibunya sudah menjajakan barang dagangannya di pasar. Di saat Bu Sarti sedang melayani pembeli, dia menatapnya dengan seksama. Di wajahnya mulai ada guratan keriput. Sedangkan pada kelopak matanya mulai mengkerut. Hal itu menandakan bahwa Bu Sarti sudah tak muda lagi.

Meskipun demikian semangatnya tak pernah pudar. Bu Sarti adalah sosok wanita tangguh yang welas asih. Maka tak heran jika Marni sangat mengaguminya. Marni kini hanyut dan tenggelam dalam lamunannya. Tatapannya hampa menerawang jauh ke depan. Sementara pada sudut matanya terdapat cairan yang mengalir membasahi pipinya. Entah apa yang sedang dia pikirkan ? Dia sedang mengingat masa lalunya, ataukah sedang memikirkan ibunya ? Hanya Marni saja yang bisa menjawabnya.

Sementara Bu Sarti masih asyik melayani pembeli. Tanpa sengaja dia melihat anak semata wayangnya sedang hanyut dalam lamunannya. Dia tak sampai hati melihat anaknya berlarut dalam kesedihannya. Kemudian dia mendekati, lalu membelai dan mencium pipinya. Marni tersentak kaget mana kala pipinya ada yang menyentuhnya.

“Ah ibu, ngagetin saja.” Ucapnya spontan.

“Kamu sedang mikirin apa ndu ?”

“Tidak sedang mikirin apa-apa kok bu.” Jawabnya ngeles.

Bu Sarti tak mau mendesak apa yang sedang dipikirkannya. Kemudian dia melayani Bu Jamilah yang membeli barang dagangannya.

“Eh Bu Jamilah. Mau beli apa bu ?”

“Saya beli pisang kepoknya tiga sisir. Bawang merahnya satu kilo saja ya bu.”

“Ya bu. Ini pisang kapok dan bawang merahnya.” Ucap Bu Sarti ramah.

“Terima kasih Bu Sarti.” Jawab Bu Jamilah sembari melirik ke Marni.

“Eh Neng Marni. Kenalkan ini anak ibu, Diah Purwati.”

“Saya Marni. Mba yang namanya Diah kan ?” sapa Marni ramah, mengulurkan tangannya.

“Ya. Sa..ya Di…ah.” Ujarnya tampak malu-malu.

“Sudah sana, kalian ngobrol saja berdua. Biar ibu yang melayani Bu Jamilah.” Sela Bu Sarti.

“Ya benar. Biar kami yang tua-tua aja yang di sini.” Ucap Bu Jamilah mendukung ucapan Bu Sarti.

“Mba Diah kita duduk di sana yuk.” Ajak Marni kepada Diah yang terlihat sedikit canggung dan malu-malu.

Marni meraih tangannya dan menggandeng Diah Purwati. Kemudian mengajaknya duduk di emperan toko.

Dalam waktu sekejap keduanya sudah terlihat akrab sekali. Sehingga mereka tak segan-segan untuk saling curhat dan cerita tentang pengalaman hidupnya masing-masing.

“Mba Diah apa kabar ?”.

“Baik Mba Marni.”

“Oh ya, bagaimana kalau kita saling panggil nama saja ? Umur kita kan tidak terlalu jauh beda. Rasanya kurang pas deh, kalau kita memanggilnya mba.” Usul Marni.

“Ya saya sih setuju aja Mba Marni. Eh maksud saya Marni, hehehe...”

“Nah kalau memanggil nama kan kedengarannya lebih enak. Daripada memanggil mba. Bukan begitu Diah ?.” Timpal Marni.

“Ya.” Jawab Diah pelan.

“Selama ini apa kegiatan kamu Diah ?” sapa Marni lagi.

“Selama ini saya di rumah saja, dan hampir tidak pernah keluar rumah.”

“Loh, memangnya kenapa ?” tanya Marni.

“Semenjak kecil saya selalu diejek oleh teman-teman saya. Karena saya tidak punya ayah. Itulah sebabnya saya lebih baik di rumah saja. Karena kalau keluar rumah justru saya merasa tidak nyaman. Mereka selalu menanyakan ayah saya. Saya jadi malu dan minder deh. Kamu sendiri gimana Marni ? Kabarnya kamu sudah pernah menikah ya ? Maaf kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan kamu.”

“Tidak apa-apa Diah. Kamu boleh tahu kok tentang pribadi saya. Memang benar saya pernah menikah dengan seseorang. Tapi umur pernikahan kami hanya beberapa jam saja.”

“Loh kok bisa begitu ? Memangnya kenapa ?” Diah memotong pembicaraan Marni.

“Suami saya meninggal dimalam pengantin.”

“Bagaimana ceritanya ? Kok bisa begitu.”

“Pada saat pesta pernikahan selesai, kami masuk ke kamar. Namun entah mengapa tiba-tiba saya diserang rasa kantuk. Saya pun tertidur dan tak ingat apa-apa lagi. Ketika saya bangun, ternyata dia sudah meninggal.”

“Meninggalnya kenapa ?”.

“Justru saya sendiri tidak tahu Diah. Bahkan dia belum sempat menyentuh ku.”

“Maksudnya kamu masih perawan ?” tanya Diah sambil mengerutkan keningnya.

“Ya benar. Saya pernah menikah tapi sampai sekarang saya masih perawan.” Jelasnya.

“Kok bisa ya ?”

“Ya itulah kenyataan pahit yang saya alami saat ini.”

Maaf ya Marni, saya merasa bersalah telah menanyakan masalah pribadimu. Pasti kamu sangat sedih sekali.”

“Tidak apa-apa Diah. Kamu kan sahabat ku. Jadi kamu perlu tahu juga itu. Takutnya kalau tahu dari orang lain, malah ceritanya beda.”

“Apakah kedua orang tua mu mengetahui hal ini ?” tanya Diah lagi.

“Baru kamu saja yang saya beri tahu. Mulai sekarang, kamu jangan sungkan-sungkan ya dengan saya. Kamu boleh cerita apa saja. Jangan dipendam sendirian loh. Nanti malah wajahmu tumbuh jerawat, hehehe…”

“Iya, iya. Tenang saja pokoknya .” jawab Diah.

Sejak itu persahabatan keduanya terlihat sangat akrab sekali. Sangking akrabnya malah mereka terlihat seperti adek kakak. Jika Diah merasa jenuh dia menginap di rumah Marni. Sebaliknya juga jika Marni merasa penat, dia giliran menginap di rumah Diah. Pak Warto dan Bu Sarti sangat senang melihat persahabatan mereka. Karena semenjak keduanya saling mengenal, Marni tidak pernah lagi terlihat murung. Dia malah menjadi pribadi yang sangat periang.

Seperti di sore itu. Diah sedang bermain di rumah Marni. Keduanya sedang duduk di teras rumah sambil bersenda gurau. Melihat keduanya sedang asyik mengobrol, Bagus datang menghampirinya.

“Asyik sekali kelihatannya. Hayo, kalian sedang ngobrolin apa ?” tanya Bagus.

“Eh Mas Bagus. Dari mana mas ?” sapa Marni ramah.

“Kebetulan lewat saja dek.” Jawab Bagus sambil melirik Diah.

“Oh ya mas, kenalkan ini teman saya. Namanya Diah.” Ucap Marni.

“Oh namanya Diah.”

“Ya mas. Nama saya Diah.” Jawabnya sembari mengulurkan tangannya.

“Oh ya dek, ngomong-ngomong saya ada perlu dengan Dek Marni. Penting sekali.” Ucap Bagus.

“Sepenting apa sih mas, he…, he…” Kelakar Marni.

“Kalau begitu saya masuk dulu ya. Nanti malah saya mengganggu kalian, hehehe… .” Sela Diah lalu masuk ke dalam rumah.

“Nggak apa-apa di sini saja Diah.” Ucap Marni basa-basi.

Setelah Diah pergi, lalu Bagus mengutarakan maksud kedatangannya. Keduanya terlihat serius dengan apa yang sedang diobrolkannya.

“Begini Dek Marni. Sebelumnya saya minta maaf ya kalau apa yang akan saya sampaikan nanti membuat Dek Marni Marah.”

“Manalah mungkin saya akan marah dengan Mas Bagus. Mas Bagus orang baik. Apa lagi selama ini Mas Bagus sudah banyak membantu saya. Menyemangati saya agar saya tidak sedih lagi. Kalau bukan karena Mas Bagus, mungkin saja saya sudah tidak ada lagi di dunia ini mas.”

“Jangan berkata begitu dek. Saya melakukan semua ini karena saya sangat mencintai Dek Marni.”

“Apa mas ? Apa saya tidak salah dengar ?”

“Tidak Dek Marni. Selama ini saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri. Saya tulus menyayangimu dek.”

“Tapi saya ini kan janda mas. Apa Mas tungguh tidak akan menyesal ?”

“Saya akan menerima Dek Marni apa adanya. Bahkan jika Dek Marni mau, saya akan segera melamarnya.”

Mendengar kesungguhan Bagus, Marni terdiam sesaat. Sambil mengerutkan keningnya dia tampak berfikir keras. Kemudian dia menatap wajah pemuda tampan yang ada di hadapannya. Sambil menghelaikan napas, dia menjawabnya dengan terbatah-batah.

“Apakah, Mas Bagus tidak akan pernah merasa sakit hati, jika nanti saya menolaknya ?”

“Saya tidak akan pernah merasa sakit hati dek. Walaupun dulu Dek Marni pernah menolak saya, apakah saya juga dulu marah ? Tidak kan ? Karena saya sadar, cinta itu tak bisa dipaksakan. Begitu juga jika hari ini Dek Marni akan menolak saya lagi. Saya tidak akan menyesal. Apa lagi saya akan marah. Setidaknya saya sudah berkata jujur dengan Dek Marni. Apapun jawabannya, saya akan menghargai keputusan Dek Marni.” Ucap pemuda itu sambil menatap Jantung Hatinya.

Kemudian Marni mengangkat wajahnya, lalu menatap pemuda tampan yang ada di hadapannya.

“Ucapan dan tutur kata Mas Bagus membuat saya semakin yakin kalau Mas Bagus adalah orang baik. Tapi perlu saya ingatkan kembali mas. Saya ini janda mas, saya pernah menikah. Tolong pikirkan baik-baik. Apa kata keluarga Mas Bagus nanti jika mereka tahu Mas Bagus ternyata mencintai seorang janda.”

“Keluarga saya tidak akan pernah mempersoalkan, apakah jodoh saya janda, ataukah seorang gadis ? Mereka akan mendukung apapun yang menjadi pilihan saya dek. Jadi Dek Marni tak perlu khawatir. Bagi keluarga saya gadis ataupun janda, itu bukan suatu ukuran. Jadi Dek Marni tidak perlu ragu untuk menjawabnya.”

“Berikan saya waktu beberapa hari saja untuk memikirkannya ya mas. Silahkan malam minggu datang ke rumah ya.”

“Ya dek terima kasih. Sekarang saya pamit dulu ya dek.”

“Ya Mas hati-hati di jalan.” Jawab Marni sambil menatap kepergiannya.

Setelah Bagus pergi, Diah menemui Marni dan menanyakan pembicaraannya dengan Bagus.

“Hayo apa yang telah kalian bicarakan tadi ?” goda Diah.

“Ih, ingin tahu saja deh kamu. Ini rahasia tahu.”

“Oh mulai sekarang sudah ada rahasia-rahasiaan diantara kita ya ? Baiklah kalau begitu lebih baik saya pulang saja, hehehe… .” Godanya lagi.

“Hai, tunggu. Begitu saja sudah ngambek.”

“Habis pakai rahasia-rahasiaan segala sih, hehehe….”

“Oh ya, Diah. Menurut mu, Mas Bagus itu orangnya seperti apa sih ?” tanya Marni.

“Jujur ya Marni. Walaupun saya baru mengenalnya hari ini, tapi saya bisa menilai dia. Menurut saya Mas Bagus itu orangnya baik. Sudah ganteng, ramah lagi. Memangnya ada hubungan apa sih diantara kalian berdua ? Cie, cie.” Ledek Diah.

“Mas Bagus dulu pernah meminang saya, tapi maaf dulu sudah keduluan oleh Mas Tangguh. Hari ini juga dia bermaksud untuk meminang ku kembali. Tapi jujur saya masih ragu.”

“Kenapa kamu ragu Marni ? Terima saja. Nanti kamu menyesal loh.”

“Menyesal bagaimana ?” tanya Marni.

“Kalau kamu tidak mau, biar sama saya aja deh, hehehe... Walaupun saya baru mengenalnya hari ini, tapi saya juga menyukai pemuda itu. Hehehe… .” Godanya lagi.

“Hus, itu namanya pagar makan tanaman tahu.”

“Habis kamu banyak pertimbangan sih. Hayo jujur, kamu juga sangat mencintai dia kan ?”

“Kamu tahu darimana kalau saya mencintai dia ?” tanya Marni.

“Bibir kamu boleh berkata tidak. Tapi sorot matamu tak bisa membohongiku. Iya kan ? Hehehe...”

“Ih, nakal ya kamu.” Ucapnya sambil mencubit pipinya.

“Apa yang kamu katakan itu benar Diah. Saya memang sangat mencintai Mas Bagus. Tapi yang masih ragu kepada keluarganya. Apakah mereka akan menerima saya atau tidak ? Karena saya ini sudah pernah menikah.”

“Ya kamu memang pernah menikah. Tapi kamu masih perawan tingting. Jika mereka tahu, pasti akan setuju kamu menjadi menantunya.”

Mendengar dukungan dari Diah, Marni mengangguk-angguk dan merasa semakin mantap untuk menerima Bagus. Dan sesuai dengan yang dijanjikan, Baguspun datang ke rumah Marni untuk mendengarkan jawabannya.

“Bagaimana keputusannya dek” tanya Bagus.

“Saya menerima cinta Mas Bagus. Tapi jangan terburu-buru ya mas. Saya masih belum siap. Nanti kalau saya udah siap, saya akan bilang ke Mas Bagus. Sekarang kita jalani seperti air mengalir saja ya mas.”

“Baiklah dek, kalau memang itu yang menjadi keputusanmu. Sekarang saya merasa lega sekali.” Ucapnya dengan wajah semringah.

Semenjak itu keduanya menjalani hubungan sebagai seorang kekasih. Hubungan mereka tanpa diketahui oleh banyak orang. Mereka bersepakat untuk merahasiakannya. Jika waktunya sudah tepat, mereka baru akan menyampaikannya kepada kedua orang tuanya. Hal ini mereka lakukan mengingat Marni masih belum sepenuhnya melupakan masa lalunya. Di sisi lain, Bagus juga harus menjaga Marni dari cemoohan orang-orang yang selama ini telah mengecapnya sebagai perempuan pembawa sial. Oleh karena itu Bagus jarang sekali main ke rumah, meskipun mereka tinggal satu Desa.

Sementara Parmin Si anak Kepala Desa yang cintanya pernah ditolak Marni, ternyata masih penasaran. Apa lagi Marni sudah menjanda. Dia secara diam-diam bersama kaki tangannya yaitu Rendol, mengawasi Marni yang sedang ngobrol dengan Diah di teras rumah, dari balik semak-semak.

“Hai Rendol, tolong kamu awasi Marni ya. Apa saja kegiatannya, segera laporkan ke saya. Awas jangan sampai ketahuan.” Perintahnya.

“Siap, bos.”

“Ya sudah kamu awasi terus. Saya pergi dulu.”

“Bos mau ke mana ?”.

“Hus ! Jangan banyak tanya.” Ucap Parmin sambil mengendap-endap lalu pergi meninggalkan Rendol.

Sementara Marni dan Diah tak menyadari kalau Rendol sedang mengawasinya. Tanpa curiga sedikitpun, mereka berbicara ngalor ngidul kemudian tertawa mendengarkan celotehan Diah. Rupanya Diah sedang menceritakan pengalaman masa kanak-kanaknya.

“Dulu saya paling takut sama petir. Apa lagi kalau ditinggal sendirian di rumah. Sangking takutnya ketika hujan lebat, saya berlari dan bersembunyi di dalam gentong. Eh nggak tahunya tubuh saya nyangkut dan nggak bisa keluar dari gentong. Akhirnya saya pun menangis sejadi-jadinya sampai ibu pulang .”

“Berapa lama kamu berada di dalam gentong” tanya Marni.

“Kira-kira satu jamlah. Untung ibu cepat pulang.”

“Kalau tidak, pasti kamu seharian berada di dalam gentong.” Sahut Marni.

“Betul. Tapi bukan itu saja Marni. Sangking takutnya saya sampai ngompol di dalam gentong. Hehehe… .”

“Kamu ada-ada saja Diah. Terus apa yang terjadi setelah ibu mu tahu kamu ada di dalam gentong ?” timpal Marni lagi.

“Ibu bukannya menolong, eh malah tertawa terbahak-bahak ketika melihat tubuh saya nyangkut di dalam gentong, hehehe… .” Kata Diah.

“Iyalah pasti ibumu tertawa. Kamu sangat konyol sih Diah. Udah ya jangan diteruskan lagi ceritanya. Perut ku jadi mules nih, sampai kebelet pipis, hehehe… . Oh ya Diah, besok pagi saya ke rumah kamu ya.” Ucap Marni.

“Benar ya besok saya tunggu di rumah. Kalau begitu saya pamit pulang dulu ya.”

“Ya udah hati-hati di jalan ya Diah.” Ucap Marni sambil melambaikan tangannya.

Mendengar percakapan Marni dengan Diah, Rendol mengendap-endap keluar dari semak-semak. Kemudian melaporkannya kepada Parmin.

“Lapor bos, besok pagi Marni mau main ke rumah Diah.”

“Kamu yakin tidak salah dengar ?”

“Masa sih bos tidak percaya dengan saya.”

“Bukannya tidak percaya. Tapi kadang-kadang pendengaran mu kurang normal sih, hahaha…”

“Itu kan dulu bos, sekarangkan beda ?”.

“Beda apanya ?” tanya Parmin.

“Beda bayarannya lah bos, hahaha…, hahaha...”

“Ini upahnya. Dasar mata duitan kamu.” Jawab Parmin sambil melemparkan recehan.

Keesokan harinya Marni pergi ke rumah Diah melewati jalan setapak. Jalan yang dilewatinya sepi dan bersemak belukar. Begitu sampai di pertigaan jalan, Marni dihadang oleh dua laki-laki yang tak dikenalnya. Mereka mendekati Marni lalu menggodanya.

“Mau ke mana kamu cah ayu ? Mendingan kita bersenang-senang dulu ya, hahaha…, hahaha…”

“Kalian mau apa, ha ? Jangan coba-coba kalian mendekati ku ! Kalau tidak saya akan teriak.”

“Silahkan teriak sesuka hatimu cah ayu. Di sini sepi, tidak akan ada yang mendengar teriakan mu. Lebih baik kita bersenang-senang saja, hahaha…, hahaha...”

“Tolong…, tolong...”

“Ada yang mendengarnya nggak ? Tidak ada kan. Kan sudah saya bilang, lebih baik kamu diam saja dan ikuti kemauan kami, hahaha… .”

“Lebih baik saya mati dari pada mengikuti napsu bejad kalian !”

“Kalau kamu mati sayang cah ayu. Lebih baik kita bersenang-senang saja dulu, hahaha… .” goda salah satu laki-laki itu membekap membekap Marni.

Marni berusaha melepaskan diri dari bekapan orang itu. Namun karena kalah tenaga, perlawanannya hanya sia-sia. Namun disaat Marni sudah tak berdaya, tiba-tiba Parmin muncul dari semak-semak, menyelamatkannya.

“Kurang ajar ! Apa yang kalian lakukan pada Marni ?” teriak Parmin lalu menyarangkan tendangannya ke kepala laki-laki itu..

Tak ayal lagi berandalan itu jatuh tersungkur. Kemudian berusaha berdiri lagi sambil terhuyung-huyung. Sementara berandalan satunya lagi marah sambil menunjuk Parmin.

“Kamu jangan ikut campur ya.” kata salah satu berandalan itu.

Lalu secara bersamaan, keduanya mengeroyok Parmin. Parmin berkelit kemudian menyarangkan pukulan ke salah satu begundal itu, disusul satu tendangan ke begundal lainnya. Secara hampir bersamaan, pukulan dan tendangannya berhasil melumpuhkan mereka.

Dugh…, dugh …

“Ayo kabur !” teriak begundal itu.

Lalu keduanya lari tunggang langgang dan meninggalkan Parmin. Setelah mereka kabur, Parmin mendekati Marni yang terlihat sedang ketakutan duduk di balik semak-semak.

“Kamu tidak apa-apa neng ?” tanya Parmin lembut.

“Tidak apa-apa mas. Terima kasih atas pertolongannya ya mas. Untung ada Mas Parmin. Kalau tidak, apalah jadinya dengan diri saya ini mas.” Ucap Marni.

“Ya sama-sama neng. Lain kali kalau lewat sini kamu harus berhati-hati ya. Oh ya, kamu mau ke mana neng ?” tanya Parmin.

“Saya mau ke rumah Diah mas.” Jawab Marni.

“Saya antar ya ?” Bujuk Parmin.

“Tidak usah mas, takut merepotkan.” Ucap Marni menolaknya secara halus.

“Saya tidak merasa direpotkan kok neng. Malah saya sangat senang bisa mengantar Neng Marni. Kalau Neng Marni jalan sendirian, saya takut mereka akan kembali lagi dan mengganggu Neng Marni. Lebih baik saya antar biar aman ya neng ?”.

“Baiklah mas. Sebelumnya terima kasih ya mas sudah merepotkan Mas Parmin.

“Yes. Kali ini saya berhasil mengelabuhinya.” Gumam Parmin.

Rupanya kedua Begundal itu adalah orang suruhan Parmin yang sengaja dibayar untuk mengganggu Marni. Tanpa curiga sedikit pun Marni mau saja diantar oleh Parmin menggunakan sepedah motornya. Sementara Diah di rumahnya sedang berdiri mondar-mandir menunggu Marni. Setelah melihat Marni datang, Diah buru-buru menghampirinya.

“Kenapa kamu sangat lama sekali Marni ? Saya jadi khawatir takut terjadi apa-apa dengan kamu. Loh kenapa wajah kamu tampak kusut dan pucat begitu Marni ?” tanya Diah lagi.

Marni menarik napas lalu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi.

“Waktu saya berangkat ke sini, di tengh jalan saya dihadang oleh dua orang begundal. Lalu mereka membekap dan menyeret saya ke semak-semak dan mencoba meruda paksa saya. Untung saja ada Mas Parmin yang datang menolong saya. Lalu mereka berhasil dihajarnya.” Ujar Marni.

“Wah, Mas Parmin hebat ya bisa mengalahkan dua orang begundal itu.” Puji Diah kepada Parmin.

“Pokoknya tengang saja neng. Kalau mereka berani datang lagi dan mengganggu Neng Marni, mereka akan saya jadikan perkedel, hahaha… .” Jawab Parmin sambil berkacak pinggang.

“Sekali lagi terima kasih ya mas, sudah menolong dan mengantar saya ke sini.” Sela Marni.

“Ya sama-sama neng. Mulai sekarang kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan. Bilang saja sama Parmin ya. Oh ya neng, kalau begitu saya mohon pamit ya.” Ucapnya lalu pergi.

“Parmin itu siapa Marni ?” tanya Diah.

“Dia anak Kepala Desa di desa ku.”

“Kayaknya dia suka sama kamu ya.” Lanjut Diah.

“Ya dari dulu Mas Parmin memang suka dengan saya. Tapi saya pernah menolaknya.

“Kenapa kamu menolaknya ?” tanya Diah lagi.

“Soalnya dulu dia agak sombong dan sangat urakan.” Jawab Marni.

“Maksud kamu sekarang Mas Parmin sudah berubah ?” tanya Diah lagi.

“Entah mengapa akhir-akhir ini sikapnya mendadak berubah. Dia sekarang tidak seperti dulu lagi. Sekarang kelihatannya baik dan tidak sombong lagi.”

“Kalau menurut saya sih kamu berharus hati-hati dengan dia Marni. Jangan-jangan ada udang di balik batu.”

“Tapi yang jelas hari ini dia sudah menyelamatkan kehormatan saya. Saya telah berutang budi dengan Mas parmin.”

“Udah yuk kita masuk.” Ajak Diah.

Sementara setelah Parmin sampai di rumahnya, dia menceritakan kejadian itu kepada Rendol, sambil tertawa terbahak-bahak.

“Wah-wah, kayaknya Si Bos sedang bahagia sekali nih.” Kata Rendol.

“Ya dong, Parmin.” Jawab Parmin sambil membusungkan dadanya.

“Ceritain dong Bos ?” pinta Rendol.

“Kayaknya kamu napsu banget sih, pengin tahu aja.”

“Iyalah Bos. Masa rahasianya mau disimpan sendiri.”

“Sini saya kasih tahu. Waktu Marni sampai di pertigaan jalan, orang suruhan saya itu berhasil mengganggunya. Pada saat itulah saya datang dan menolong Marni. Dan Marni sekarang percaya kalau kejadian tadi adalah sungguhan. Pedahal itu adalah akal-akalan saya, hahaha…. .”

“Terus apa tugas saya selanjutnya Bos ?”

“Tugas kamu adalah, cari tahu lagi kapan Marni mau pulang. Lalu hasilnya cepat kamu laporkan ke saya. Awas jangan sampai gagal ya.”

“Rebes bos.”

“Rebes-rebes, tak gibeng kamu.”

“Maaf Bos, maksud saya beres, hahaha… .”

“Sana cept pergi !” perintah Parmin.

Mereka tidak menyadari di luar rumah, ada sepasang telinga yang sedang mengupingnya. Dia adalah Bagus yang kebetulan lewat ke rumah Parmin. Karena mendengar Parmin sedang ngobrol serius dengan Rendol, akhirnya Baguspun menguping pembicaraannya.

“Oh, rupanya kalian punya rencana busuk dengan Marni ya. Saya tidak akan tinggal diam.” Gumam Bagus lalu pergi meninggalkan mereka.

Sampai di rumah, Bagus masih memikirkan obrolan Parmin dan Rendol. Dia pun mencari akal untuk melindungi Marni. Sejak itu secara diam-diam Bagus selalu membayang-bayangi ke mana saja Marni pergi. Termasuk pada saat Marni dan Diah mau pulang ke rumahnya. Sesuai yang diprediksi Bagus, ternyata dari balik semak-semak, muncul tiga orang laki-laki menghadang Marni dan Diah.

“Kalian dari mana cah ayu, hahaha… .”

“Kalian mau apa ?” tanya Marni dan Diah kompak.

“Masa sih kalian tidak tahu, hahaha… . ”

“Berhenti ! Kalian jangan coba-coba mendekat kami ! Kalau tidak…” Teriak Marni.

“Kalau tidak, kalian saja yang akan mendekat kami. Begitu kan maksudnya ? Hahaha… .” Timpal laki-laki yang diduga pimpinannya itu.

“Najis ya kalian.” Umpat Diah.

“Najis-apa najis ? Sudahlah kalian nurut saja. Atau perlu kalian kami paksa ?”

“Sudah kang, kita mulai saja permainan ini ?” Ucap laki-laki yang satunya lagi.

“Sabar dik, sebentar lagi. Kita pemanasan dulu, hahaha… .” Sahut pimpinan begundal itu.

Saat Marni dan Diah terlihat semakin ketakutan, dari balik semak-semak muncul seorang pemuda dan langsung melabraknya.

“Apa yang kalian lakukan pada gadis itu ?!” Teriak pemuda itu yang ternyata adalah Bagus.

“Hai Bagus, jangan coba-coba kamu menghalang-halangi kami ! kamu mau sok-sok an jadi jagoan ya ?!” Bentak pimpinan begundal itu.

“Udah kang kita habisi saja orang ini. Hiat…!” Ucap salah satu laki-laki itu sembari melancarkan tendangan ke dada Bagus.

Bagus menggeser tubuhnya, sehingga luput dari serangan itu. Melihat serangannya gagal, laki-laki itu semakin marah dan membabi buta menyerang Bagus lagi dengan pukulan dan tendangannya secara bertubi-tubi. Lagi-lagi Bagus berhasil menghindar dari serangannya. Melihat pukulan anak buahnya tak mengenai sasarannya, pimpinan begundal itu memerintahkan untuk menyerang Bagus secara bersamaan.

“Kurang ajar kamu Bagus ! Ayo serang…”

Pertarungan sengit pun tak terelakan lagi. Bagus diserang bertubi-tubi dari segala penjuru. Kali ini Bagus berhasil menyarangkan satu pukulan pada pelipis salah satu Begundal itu.

Dugh…!

“Aduh !”

Salah satu begundal itu pun limbung dan jatuh tersungkur. Sayang sekali Bagus sedikit lengah, akhirnya pimpinan Begundal itu berhasil menendang punggung Bagus dari belakang.

Dugh…!

“Aduh…!” teriak bagus lalu jatuh bergulingan.

“Hanya segitukah kemampuan kamu Bagus ? Hayo bangun. Hadapi kami.” Ejek pimpinan Begundal itu.

Mendengar ejekan begundal itu, Bagus bangun lalu memasang kuda-kuda. Kini tubuhnya meliuk-liuk bak seorang penari balet. Pimpinan Begundal itu senyum sinis sambil mengejeknya, melihat jurus-jurus yang dimainkannya.

“Kamu sedang menari balet ya Gus ? Saya lagi nggak mut nih melihat tarian kamu Gus. Kalu mau menari, jangan di sini. Nanti saja nunggu saya menikah dengan gadis itu. Hahaha… .”

“Benar itu kang. Itu jurus apa tarian sih. Meliuk-liuk kaya nggak punya tulang, hahaha… .” Ejek laki-laki yang satunya lagi.

Dugh…!

“Aduh ! Kurang ajar kamu Gus.

Sebuah tendangan keras mendarat pada dada pimpinan Bugundal itu. Pimpinan begundal itu pun limbung. Kemudian memasang kuda-kudanya dan siap menghadapi Bagus lagi.

“Boleh juga tendangan kamu Gus. Sekarang giliran saya. Terimalah serangan ku ini. Hiat…!” Begundal itu mencabut badiknya lalu menyerang Bagus secara bertubi-tubi.

Melihat nyawanya sedang terancam, Bagus tak mau ngambil resiko. Dia melepas ikat pinggangnya lalu menghantam tangan begundal itu.

“Hiat…!

Bragh…!

“ Aduh.” Teriak Begundal itu lagi sambil memegang tangannya yang sakit.

Bagus berhasil menghantam lengan tangan begundal itu hingga badiknya lepas dari tangannya. Kemudian Bagus menghadiahi satu tendangan tepat di dadanya, dan begundal itupun roboh seketika. Melihat pimpinannya roboh, membuat nyali anak buahnya ciut dan lari tunggang langgang pergi meninggalkannya.

“Tunggu, dasar semprul kamu.” Teriak pimpinan begundal itu lalu menyusul anak buahnya.

Melihat tiga begundal itu lari tunggang langgang, Bagus melingkarkan kembali ikat pinggangnya lalu mendekati Marni. Kemenangan Bagus pun disambut sorak-sorai oleh Marni dan Diah.

“Hore…” Teriaknya sambil lompat kegirangan.

“Mas Bagus hebat. Terima kasih ya mas.” Ucap Marni bangga.

“Iya Mas Bagus hebat sekali. Hanya dalam beberapa jurus saja, mereka sudah lari tunggang langgang.” Timpal Diah.

Belum sempat bicara pada Marni dan Diah, dari balik semak- semak terdengar suara tepukan tiga kali.

Prok…, prok…, prok…

“Hebat, hebat, hebat. Sandiwara mu hebat sekali Bagus. Sampai-sampai dua gadis itu pun langsung percaya kalau kamu adalah dewa penolongnya. Pedahal orang-orang itu adalah suruhan kamu yang sengaja kamu bayar untuk menganggu Marni. Wajar saja dengan mudah kamu dengan mudah bisa mengalahkannya. Namanya saja pura-pura kalah, hahaha... .” Kata Parmin dengan nada sinis.

“Maksudnya apa ini Mas Bagus ?” tanya Marni.

Belum sempat Bagus menjawab, Parmin langsung menyela dan menjelaskan seolah-olah semua ini adalah sandiwara Bagus.

“Ya Marni. Kejadian tadi adalah rekayasa Bagus. Orang-orang tadi adalah suruhan Bagus yang dia bayar untuk mengganggu kalian. Makanya dengan sangat mudah sekali Bagus dapat mengalahkannya. Tujuannya agar kalian menganggap dialah Dewa penolongnya.”

“Lalu apa tujuan Mas Bagus melakukan semua ini ?” tanya Marni.

“Agar dia dengan leluasa bisa mendekati kamu, Marni.” Jawab Parmin.

“Tuduhan kamu sangat keji sekali Parmin. Justru kamulah yang telah merekayasa semua ini.” Ucap Bagus.

“Sudahlah Gus mengaku sajalah. Semua ini sudah kamu atur kan ?” kata Parmin lagi.

“Jangan fitnah saya Parmin. Justru ini adalah akal-akalan kamu.”

“Jangan memutar balikan fakta Gus. Saya punya saksi, dan Rendol lah saksinya.” Ucap Parmin lagi.

Sebelum Bagus menjelaskan duduk perkaranya, tiba-tiba Rendol keluar dari semak-semak dan langsung bersaksi kalau Baguslah yang merencanakan semua ini.

“Ya saya saksinya. Orang-orang tadi adalah suruhan kamu Gus. Kemarin kamu menemui mereka dan memberikan sejumlah uang untuk rencana ini kan. Kamu jangan coba-coba ngeles Gus.” Kata Rendol.

“Jadi ini semua rekayasa kamu mas ? saya tidak menyangka perbuatan kamu sepicik ini mas. Saya kecewa kepada kamu !” ucap Marni lalu pergi meninggalkan Bagus.

“Marni, tunggu.” Teriak Bagus.

“Sudahlah Gus, jangan kau haling-halangi Marni pergi. Dia sudah tidak percaya lagi sama kamu.” Ucap Parmin lagi.

“Bedebah kamu Parmin. Tega-teganya ya kamu memfitnah ku.” Ucap Bagus lalu pergi mengejar Marni.

“Tunggu dulu dek. Dengarkan penjelasan ku.”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi mas. Mulai detik ini, kita putus.”

“Apa salah saya dek ? tolong percaya sama saya. Itu bukan perbuatan saya dek. Itu adalah akal-akalannya Parmin.”

“Pergi sana mas. Saya tak sudi lagi melihat Mas bagus. Pergi…!” teriak Marni.

Dengan hati kecewa, Bagus pun pergi meninggalkan Marni. Sedangkan Marni hatinya sangat terluka dan merasa sangat terpukul. Karena Bagus yang dianggapnya pemuda yang baik, hari ini telah mengecewakannya. Marni yang sebelumnya sangat mengagumi Bagus, kini berubah membencinya. Marni Bahkan tidak mau lagi mendengarkan penjelasan dari Bagus tentang fitnah keji yang dibuat Parmin.

Kini harapan Bagus untuk mempersunting Marni tinggal kenangan saja. Nama baiknya pun telah hancur berkeping-keping. Karena Parmin dan Rendol tak henti-hentinya menyampaikan ke warga bahwa Bagus telah melakukan cara-cara kotor agar bisa mendekati Marni. Sekuat apa pun Bagus untuk membersihkan nama baiknya, sangat sulit sekali. Warga terlanjur percaya kepada kesaksian Rendol. Bagus yang dulu sangat disegani kini sudah tidak ada lagi warga yang mau percaya dengan penjelasannya.

Memang awalnya mereka tak percaya kalau Bagus berbuat serendah itu. Namun lama kelamaan mereka percaya karena kesaksian Rendol, kaki tangan Parmin.

“Saya tidak percaya kalau Bagus yang menyuruh para Begundal itu untuk mengganggu Marni. Lagian apa untungnya Bagus mengganggu Marni ?” ucap Sipon yang sedang mengobrol dengan beberapa pemuda di warung kopi.

“Ya saya juga tidak percaya.” Timpal Jono.

“Tapi kata Rendol dia melihat sendiri kalau Bagus yang membayar para Begundal itu. Setelah itu Bagus pura-pura menyelamatkan Marni. Tujuannya untuk mengambil hati Marni. Kalian kan tahu selama ini Bagus sangat mencintai Marni. Maka tidak heran kalau dia berupaya untuk bisa merebut hati Marni. Meskipun dengan cara-cara yang tak terpuji.” Sahut Pangat.

"Saya tetap tidak yakin Bagus serendah itu. Selama ini kita kan tahu kalau Bagus adalah anak yang baik. Mana mungkin berbuat sekeji itu.” Timpal Sipon lagi.

“Saya juga tidak percaya.” Ucap Jono mengamini Sipon.

“Kalian harus percaya itu. Saya sendiri yang melihat Bagus saat dia membayar para begundal itu. Makanya pada saat kejadian itu Saya dan Bos Parmin ada di situ. Karena kami sengaja ingin membuka topengnya. Siapa sebenarnya Bagus itu ?” papar Rendol yang tiba-tiba muncul dan nimbrung obrolan mereka.

Sipon, Pangat dan Jono saling pandang mendengar penjelasan Rendol. Ada yang percaya dengan penjelasan Rendol dan ada juga yang tetap tidak yakin, kalau Bagus adalah pelakunya. Sementara Parmin sendiri merasa sangat puas pada Rendol yang telah berhasil menghasut warga. Rasa bahagia itu pun dia rayakan di sebuah gubuk dekat jalan yang biasa Marni lewati.

“Sekaraang sudah tidak ada lagi yang berani menghalang-halangi saya untuk mendapatkan Marni, hahaha… .” Ucap Parmin sambil meneguk minuman keras.

“Ya Bos, sekarang warga sudah percaya dengan omongan saya. Mereka percaya kalau Bagus yang menyewa para Begundal itu untuk mengganggu Marni. Pedahal orang-orang itu adalah suruhan Bos Parmin, hahaha… .” Timpal Rendol, merayakan pesta kemenangannya.

“Hebat, hebat. Kali ini kerja mu sangat memuaskan Rendol. Kamu memang anak buah saya yang paling setia, hahaha… .” Sanjung Parmin.

Disaat mereka sedang berpesta minuman keras, secara kebetulan Bagus melihat dua orang yang telah merusak nama baiknya. Dia lalu pergi mendekatinya.

“Apa yang sudah kalian lakukan dengan saya ? Apa salah saya, sampai kalian tega memfitnah saya ?” tanya Bagus.

“Apa salah kamu ? Salah kamu banyak Gus. Dari dulu kamu selalu menghalang-halangi saya untuk mendapatkan Marni. Kamu sok, sok an jadi pahlawan di mata Marni. Itulah akibatnya kalau kamu berani melawan Parmin, hahaha… .”

“Ternyata kamu tidak lebih dari seorang pecundang Parmin ! Kamu pengecut ! Kalau kamu jantan, hadapi saya Parmin !” tantang Bagus.

“Saya ladeni tantangan kamu Gus. Memang inilah waktu yang paling saya tunggu-tunggu untuk menjajal kemampuan kamu, Gus. Hiat....” Parmin langsung menendang dada Bagus.

Bagus yang tidak menyadari serangan dadakan itu, jatuh terjungkal. Sambil memegang dadanya, di berusaha berdiri lagi lalu memasang kuda-kuda. Kali ini Bagus sangat berhati-hati menghadapi Parmin yang licik dan penuh tipu daya itu. Melihat Bagus sudah berdiri lagi, Parmin mendaratkan pukulan susulan di pelipis Bagus. Namun sayang sekali pukulan Parmin tak mengenai sasarannya. Bagus berkelit kemudian menyarangkan pukulan balasan tepat mengenai hidung Parmin.

“Aduh !” teriak Parmin.

Darah segar pun mengucur dari hidungnya. Parmin mengusap darah segar itu sambil mengumpat Bagus.

“Kurang ajar kamu Gus ! Hiat…”

Parmin mencabut badiknya dan menyerang Bagus dengan membabi buta. Dengan cepat Bagus menangkis serangan Parmin dan kembali menyarangkan tendangannya tepat di dadanya.

Dugh !

“”Aduh “ teriak Parmin lalu jatuh terjungkal.

Melihat Parmin jatuh terjungkal, Rendol berlari menolong Parmin. Sambil terhuyung-huyung Parmin berdiri sambil mengancam Bagus.

“Kali ini saya mengaku kalah Gus. Tapi lain kali saya akan membuat perhitungan lagi dengan kamu.” Ucapnya lalu pergi meninggalkan Bagus..

Parmin dan Rendol ternyata tidak langsung pulang ke rumahnya. Mereka justru pergi ke rumah Marni untuk mengadukan perbuatan Bagus. Parmin yang datang dengan muka babak belur, dihujani pertanyaan bertubi-tubi oleh Marni.

“Kenapa kamu babak belur seperti ini mas ? Siapa yang melakukan semua ini ?”.

“Yang melakukan Bagus Neng. Tiba-tiba dia datang dan langsung menghajar saya dari belakang. Pedahal saya sudah tanya sama dia, apa salah saya ? Tapi Bagus tetap menghajar saya.”

“Kenapa kamu tidak melawannya mas ?” tanya Marni lagi.

“Saya tidak mau ribut dengan dia Neng. Saya malu rebut-ribut.” Jawab Parmin sambil meringis.

“Dasar pemuda brengsek. Sekarang saya baru tahu sifat asli dia yang sebenarnya.” Umpat Marni.

Kemudian Marni mengompres luka Parmin sambil mengumpat Bagus. Parmin semakin merasa yakin, kalau Marni saat ini sangat membenci Bagus. Melihat Marni percaya dengan karangan ceritanya, Parmin senyum-senyum kecil. Disaat itulah Bagus menyusul ke rumah Marni untuk menjelaskan masalah yang sebenarnya. Namun kedatangan Bagus justru mendapat semprotan dari Marni.

“Mau apa kamu ke sini mas ? Apa kamu tidak malu apa yang sudah kamu lakukan kepada saya ?” ucapnya marah.

“Bukan saya pelakunya dek ? Disini saya korban.”

“Korban kata mu mas ? Hem…, Sudah lah mas. Sudah tidak ada lagi yang perlu kamu jelaskan. Sekarang silahkan kamu pergi dari rumah ini.” Ucap Marni sinis.

Dengan perasaan kecewa Bagus pun pergi meninggalkan Marni. Di benaknya hanya Diah lah satu-satunya orang yang akan mempercayainya. Bagus pun pergi ke rumah Diah. Kebetulan saat itu Diah sedang duduk di teras rumahnya sendirian saja.

“Eh Mas Bagu, ada apa mas ?” tanya Diah ramah.

“Begini Neng Diah, hanya kamulah saat ini yang bisa menolong saya.”

“Saya bisa menolong apa mas ?” tanya Diah.

“Tolong sampaikan pesan saya kepada Dek Marni ya. Saya sama sekali tidak melakukan apa yang dituduhkan Parmin. Justru Parmin dan Rendol lah otak di balik semua kejadian itu. Secara tidak sengaja saat saya bertandang ke rumah Parmin, saya mendengar rencana busuk mereka. Sejak itu saya selalu membayang-bayangi ke mana saja Dek Marni Pergi. Saya justru di sini korban fitnah Parmin. Tolong sampaikan maaf saya ke Marni ya neng. Setelah itu saya mau pergi dari Desa ini.”

“Ya mas nanti akan saya sampaikan. Tapi Mas Bagus mau pergi ke mana ?” tanya Diah.

“Saya mau menenangkan diri ke pesantren. Sekalian di sana saya mau memperdalam ilmu agama. Sekarang saya pamit ya neng.” Ucap Bagus lalu pergi.

“Kasihan kamu mas. Saya percaya kamu hanyalah korban.” Gumam Diah.

Setelah itu Diah pun langsung pergi ke rumah Marni untuk menyampaikan pesan Bagus. Diah menceritakan semuanya tanpa sedikitpun yang terlewati. Sedangkan Marni mendengarkan semua cerita Diah. Setelah itu Marni pun mennggapinya dengan nada sinis.

“Begitu pesannya Marni. Sore ini juga, Mas Bagus katanya mau pergi dari desa ini.” Jelas Diah.

“Setelah saya mendengar cerita itu, lantas saya harus percaya sama dia ? Tidak Diah ! Saya tetap yakin Baguslah pelakunya. Dia sengaja ingin membalas sakit hatinya karena dulu pinangannya pernah saya tolak.” Jawab Marni sambil marah meledak-ledak.

“Terus bagaimana kalau suatu ketika ucapan Mas Bagus itu benar Marni ?” ujar Diah.

“Sudahlah lupakan saja. Saya tidak mau lagi kamu menyebut nama dia lagi di depan ku.” Ucapnya.

Sementara di rumahnya, Bagus sedang berkemas meninggalkan desanya. Wajahnya mendung bagaikan mau turun hujan. Berkali-kali Bagus mengusap air matanya. Dia sengaja menunda kepergiannya, berharap Marni akan datang dan mencegahnya pergi. Namun setelah menunggu beberapa lama, Bagus pun mengengkol motornya, lalu pergi meninggalkan kampung halamannya. Dia menuju ke pesantren milik Haji Mustofa. Di sana Bagus bertekad untuk menenangkan hatinya sambil memperdalam agama islam.

Sampai di pesantren Bagus disambut oleh Haji Mustofa yang merupakan pamannya sendiri. Setelah beristirahat dia bergabung dengan santri lainnya untuk memulai pelajaran pertamanya.

“Antum santri baru ya di sini ?” tanya salah satu santri yang bernama Alfarizi.

“Na’m. Kenalkan nama ana Bagus.” Jawab Bagus sambil mengulurkan tangannya.

“Afwan, antum dari mana ?”.

“Ana dari Desa Dadap.”

“Selamat bergabung di pesantren ini ya.” Ujar Alfarizi.

Dalam waktu sekejab, Bagus langsung akrab dengan santri-santri lainnya. Maklum saja, karena Bagus memiliki sifat yang ramah dan pandai bergaul. Sehingga sangat mudah bagi dia mendapatkan teman barunya. Selain mengikuti pelajaran bersama santri lainnya, Bagus juga mendapat bimbingan kusus dari Haji Mustofa. Dia diajarkan ilmu agama dan juga ilmu bela diri. Juga nasihat-nasihat tentang kehidupan sehari-hari yang biasa terjadi di masyarakat..

“Ibarat sebuah bangunan rumah, agama adalah tiangnya. Kalau tiangnya saja tidak kuat untuk menyangga rumah, bagaimana mungkin rumah itu akan berdiri kokoh. Tentu saja rumah itu akan mudah roboh ketika digoyang oleh angin. Begitu juga dengan manusia Lih. Jika manusia memiliki agama yang rapuh, maka dia akan mudah putus asa. Dia akan berbuat semaunya sendiri, tanpa memikirkan orang lain.” Ucap Haji Mustofa memberikan wejangan kepada keponakannya.

“Anak ku Bagus, jika manusia tanpa memiliki ilmu agama berarti dia tidak memiliki pegangan hidup. Dia akan hidup sesuka hatinya, bahkan bisa saja membuat kerusakan di muka bumi ini. Karena hatinya kosong dan mudah mengikuti bisikan setan. Karena di dalam diri kita, ada segumpal darah yang jika segumpal darah itu rusak, maka rusaklah semuanya. Sebaliknya jika segumpal darah itu baik, maka akan baiklah semuanya. Tahukah kamu yang paman maksud dengan segumpal darah itu keponakanku ?”.

“Tahu paman, yaitu hati.”

“Benar sekali. Kalau hati manusia itu rusak, maka rusaklah semuanya. Seperti iri hati, sirik, dan dengki. Maka sudah barang tentu hidup orang itu tak akan pernah merasa tenang. Dia akan selalu mencari-cari kesalahan orang lain, dan tidak akan senang melihat orang lain sukses. Bahkan dia akan selalu membut kerusakan di muka bumi ini. Namun sebaliknya jika hati manusia itu baik, maka dia akan selalu berbuat kebaikan. Dia takut berbuat salah dan dosa. Paham yang paman maksud Lih ?”.

“Saya paham paman.”

“Ada pertanyaan Lih ?”.

“Ada Paman. Saya pernah mendengar suatu dalil yang mengatakan bahwa jodoh, rejeki dan maut sudah ditentukan oleh Allah SWT. Lalu mengapa kita masih harus berusaha mencarinya ?”.

“Pertanyaan kamu bagus sekali Lih. Jodoh, rejeki dan mati memang sudah ditentukan dan diatur oleh Allah SWT. Tapi kamu juga harus ingat lih. Dalam QS Ar-Rad: 11, Allah berfirman:

نَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

“Artinya kita tidak boleh pasrah begitu saja. Kita harus tetap berusaha untuk merubahnya. Karena berusaha dan berihtiar itu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Ada pun hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT.”

“Begitu ya Paman ?” Sela Bagus sambil mengangguk-angguk.

“Ada lagi pertanyaan lih ?”.

“Ada satu lagi paman. Di sebagaian masyarakat kita, ada yang masih percaya ada perempuan yang hidupnya akan selalu membawa sial bagi orang lain. Siapapun laki-laki yang menikahinya, pasti akan berujung pada kematian. Bagaimana menurut pandangan paman ?”

“Dalam ajaran islam kita tidak mengenal adanya istilah perempuan pembawa sial, hari baik atau pun hari tidak baik. Apapun yang terjadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan itu. Semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT. Apa ada pertanyaan lagi Lih ?”

“Tidak ada paman.”

“Nah kalau sudah tidak ada lagi pertanyaan, pelajaran hari ini Paman anggap cukup. Nanti sore kita lanjutkan lagi dengan latihan bela diri ?”.

“Ya Paman. Terima kasih atas ilmu yang Paman berikan kepada saya.”

“Sama-sama anak ku, semoga bermanfaat.”

“Ya Paman, aamiin.” Jawab Bagus lalu kembali ke kamarnya.

Di saat Bagus sedang memperdalam ilmu agama, Bagus mendengar kabar yang kurang sedap dari Desanya. Ternyata setelah kepergiannya ke Pesantren, Parmin berhasil memperdaya Marni. Sekarang Marni jatuh ke pelukannya dan akhirnya menerima pinangannya. Fitnah keji yang dibuat Parmin, telah membuat Marni berpaling darinya.

Bahkan menurut kabar yang dia terima, dalam waktu dekat ini mereka akan segera melangsungkan pernikahannya. Hal itu membuat Bagus sangat kaget dan syok. Mengapa Marni sampai menerima pinangannya ? Pedahal sebelumnya dia sangat membenci Parmin. Bagus hanya bisa pasrah dan berusaha mengihlaskannya. Karena semua yang terjadi pasti atas kehendak-Nya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post