DUKA DIMALAM PENGANTIN
Oleh : Riswo
Setelah seharian bekerja di sawah, Pak Trimo pulang ke rumahnya. Dia disambut hangat oleh keluarganya, diiringi selembar senyum dari bibir tipis anak dan istri tercinta. Di teras rumah sudah terhidang teh hangat dan singkong rebus kesukaannya. Hal itu membuat Si Perut kosong ingin segera menyantapnya.
Ditemani oleh anak dan istrinya, mereka bercengkeramah sekedar untuk melepas lelah. Tanpa terasa waktu telah bergulir menjadi malam. Ditandai oleh Sang Raja Siang, yang telah kembali ke orbitnya. Secara bersamaan, dari kejauhan terdengar suara azan telah memanggilnya. Mereka masuk ke dalam rumah, dan menutup rapat-rapat pintu dan jendela. Kemudian membersihkan tubuh dan melaksanakan shalat.
Baru saja mengucapkan salam, Pak Trimo diserang rasa kantuk yang sangat dasyat. Mungkin karena terlalu lelah bekerja seharian di sawah. Tanpa pikir panjang, dia menjatuhkan tubuhnya di atas hamparan sajadah. Tak lama kemudian napasnya terdengar turun naik beraturan. Menandakan bahwa Pak Trimo sudah terlelap dalam tidurnya.
Selang beberapa jam kemudian, Pak Trimo dibangunkan oleh alunan gamelan yang terdengar mendayu-dayu. Dia duduk setengah sadar, memikirkan darimana asal suara gamelan itu. Sambil menggaruk-garauk kepalanya, dia teringat malam ini adalah malam pernikahan Tangguh dengan Marni. Tanpa pikir panjang mantan jawara itu menyambar baju kebesarannya yang tergantung di lemari. Dia mengenakan baju bermotif hitam, dan celana komprang. Kemudian pergi ke rumah Juragan Markum.
Di rumah Juragan Markum tampak ramai sekali. Terlihat sepasang pengantin yang saling mencintai itu sudah duduk di pelaminan. Mereka berhasil melewati masa-masa sulitnya, akhirnya Tangguh anak juragan kaya itu berhasil menikahi Si Kembang Desa, sang tambatan hati. Mereka terlihat sangat bahagia sekali. Para undangan yang hadir di pesta pernikahannya pun sangat kagum dibuatnya.
Karena dua sejoli itu terlihat sangat serasi sekali. Tanngguh terlihat gagah duduk di pelaminan mendampingi Marni. Sementara Marni sendiri terlihat sangat cantik sekali, bak bidadari turun dari kahyangan. Membuat para pemuda lainnya hanya bisa menelan ludah. Termasuk Parmin yang malam itu diam-diam menyelinap di kerumunan warga. Malam itu dia tak mau kehilangan momen penting itu untuk melihat Marni yang kini telah menjadi milik orang lain.
Sambil mengepal kedua tangannya, berulang kali dia mengusap air matanya. Sementara dadanya terasa sesak, jantungnya berdebar kencang, dan napasnya turun naik tak beraturan. Dia tak sanggup menyaksikan kekasihnya bersanding dengan orang lain. Kemudian dia keluar dari kerumunan warga dan pulang ke rumahnya.
Berbeda dengan Parmin, meskipun Marni telah menjadi milik sahabat karibnya, Bagus tetap datang memenuhi undangannya. Bahkan dia duduk di sebelah Tangguh sambil mengipasinya. Keduanya terlihat sangat akrab sekali tanpa ada duka di wajahnya. Mungkin karena Bagus sangat pandai mengendalikan emosinya. Sehingga dia tak menampakan rasa cemburunya kepada Tangguh.
Pesta pernikahan keduanya di malam itu sangat meriah sekali. Diiringi tari jaipong, sebuah tari tradisional ala Sunda. Tampak seorang Sinden cantik sedang melantunkan sebuah lagu. Sementara dua Sinden lainnya sedang lenggak-lenggok menunjukan kebolehannya. Tiba-tiba ada dua laki-laki naik ke panggung lalu menyambangi dua penari itu, kemudian mengajaknya menari berpasangan. Kedua penari itu pun menyambutnya dengan mengalungkan selendang ke leher laki-laki itu.
Kedua penari itu tampak bersemangat, sambil menggodanya dengan gerakan-gerakan centilnya. Merasa sedang digoda, kedua laki-laki itu mengeluarkan jurus-jurus nakalnya. Mereka mencari kesempatan agar bisa mencium Sinden itu. Namun sayang sekali jurus nakalnya selalu terbaca oleh dua Sinden cantik itu. Sehingga tak membuahkan hasil. Suara riuh penonton pun menyoraki keduanya. Membuat kedua laki-laki itu terlihat semakin beringas.
Kini mereka kembali melancarkan jurus-jurus jitunya. Namun lagi-lagi usahanya tetap saja kandas. Melihat usahanya yang selalu gagal, kini mereka mencari siasat, dengan merogoh koceknya dan mengiming-iminginya. Sambil berjoged, kedua laki-laki itu mengipas-ngipaskan lembaran uang ke wajah para sinden itu. Sehingga membuat Sinden cantik itu tergoda dan masuk ke dalam perangkapnya. Mereka berusaha mengambil uang dari tangan laki-laki itu. Namun laki-laki itu tak membiarkan uangnya diambil begitu saja. Mereka terus menggoda dan mempermainkan sinden itu. Sehingga Sinden itu pun harus ekstra keras untuk merebutnya.
Kini permainan telah berbalik. Sekarang kedua laki-laki itu berada di atas angin sambil mempermainkan sawerannya. Sementara Sinden cantik itu terus berusaha untuk merebutnya. Namun usaha lagi-lagi gagal. Membuat kedua Sinden cantik itu mukanya ditekuk. Sehingga membuat laki-laki itu menjadi luluh dan tak tega dibuatnya. Lalu keduanya menyelipkan lembaran uang itu di balik bajunya. Sorak-sorai penonton pun kembali menggemuruh. Menyudahi pertunjukan di malam itu.
Sangking asyiknya pertunjukan di malam itu, tanpa terasa sang fajar telah tiba. Suara kokok ayam mulai bersahutan. Sekarang di rumah Juragan Markum kini tampak sepi. Karena semua penonton sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Tak mau ketinggalan pula sepasang pengantin yang sedang berbahagia itu telah meninggalkan pelaminan dan memasuki kamarnya.
Begitu juga dengan para penabuh gamelan. Mereka mulai terserang kantuk dan menjatuhkan tubuhnya di atas panggung. Sedangkan para perewang lainnya sudah terlebih dahulu tertidur. Ada yang menyandarkan tubuhnya di kursi. Ada pula yang terkapar di ruang tamu. Sementara suara jangkrik telah menggantikan suara gamelan yang sudah tak lagi terdengar. Suaranya bersahutan, berkolaborasi dengan dengkuran para perewang. Bak alunan Sinden ala tembang jawa.
Namun disaat mereka sedang tertidur pulas, tiba-tiba terdengar jeritan yang sangat memilukan. Jeritan itu mirip suara Tangguh, Si Pengantin pria. Sampai-sampai jeritannya membangunkan Badrun dan Teguh.
“Tolong…, to…, long.” Lalu tak terdengar lagi.
Badrun dan Teguh membuka matanya, lalu duduk berusaha mencari sumber suara itu. keduanya saling pandang antara sadar dan tidak. Kemudian mereka kembali merebahkan tubuhnya, dan kembali mendengkur. Tak lama kemudian menyusul jeritan dari Marni Si Pengantin wanita. Membuat Badrun kembali bangun, dan berusaha meyakinkan suara yang baru saja didengarnya.
“Tolong…, tolong…, Tolong…”
Keduanya memasang telinga, memastikan sumber suara itu. Samar-samar dia mendengar Marni sedang menangis. Badrun berdiri dan berjalan mengendap-endap mendekati kamar Marni. Ternyata benar Marni yang sedang menangis di kamarnya.
“Kok Mba Marni menangis ? Ada apa ya ?” gumamnya lalu kembali ke tempat tidurnya.
Dia tak mau ambil pusing lalu kembali memejamkan matanya. Baru saja terlelap, Badrun kembali mendengar Marni menagis. Diapun membangunkan Teguh yang sedang mendengkur.
“Guh, bangun Guh. Ngorok aja kerjaan mu.” Ucap Badrun sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“Ada apa sih. Mengganggu orang tidur saja.” Balas Teguh lalu menutupi kepalanya menggunakan sarung.
“Kamu dengar nggak suara itu Guh ? Tadi Mba Marni menjerit dan minta tolong. Sekarang Mba Marni sedang menangis tuh di kamarnya.” Ucap Badrun.
“Namanya juga pengantin baru Drun. Kamu kaya nggak pernah melakukan malam pertama saja. Udah jangan ganggu saya ! Saya mau tidur lagi.” Ucapnya.
“Dengarkan dulu Guh, jangan tidur lagi. Apa kamu tidak merasa aneh ? Kayaknya Mba Marni sedang ketakutan tuh.”
“Kalau takut ya wajarlah Drun. Namanya aja baru ngliat, ha…, ha…”
“Ah pikiran kamu ngeres aja Guh. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada mereka, Guh.” Bisik Badrun lagi.
“Ya iyalah Drun. Namanya juga pengantin baru.” Ketus Teguh lalu mendengkur lagi.
Badrun pun sangat kesal melihat Teguh ngorok lagi. Kemudian dia melepas kaos kakinya dan memasukannya ke mulut Teguh. Dengkuran itu pun menjadi tersumbat. Kini hanya suara angin saja yang keluar dari mulutnya, mirip suara ular yang sedang mendesis. Sedangkan mulutnya kembang kempis seperti mulut katak yang sedang berzikir setelah turun hujan. Tak lama kemudian bibirnya kecap-kecap seperti merasakan sesuatu. Teguh pun bangun lalu membuang kaos kaki yang menyumpal mulutnya.
“Apa yang kamu lakukan Drun ? Benda apa ini ? Rasanya asin dan pahit sekali.” Ucapnya lalu membuang kaos kaki dari mulutnya.
“Ha…, ha…, ha…”
“Dasar semprul. Ditanya malah tertawa.”
“Makanya jangan ngorok terus, Guh. Ditanya malah molor, hahaha...” Ucapnya sambil tertawa lepas.
Sementara Teguh masih mengeluarkan rasa asin dan pahit dari mulutnya. Dia berusaha membuang ludahnya, namun rasa asin bercampur pahit itu masih saja mengganggu indera perasanya. Sampai-sampai Teguh mual dan rasanya mau mutah. Sedangkan Badrun masih tertawa lepas melihat tingkah Teguh.
“Hahaha…, hahaha…”
“Semprul kamu Drun. Memang tadi kamu dengar apa ?” Jawab Teguh sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Mbak Marni menangis ?”.
“Kalau itu sih saya juga dengar. Memangnya ada yang aneh ?”
“Ya adalah. Mengapa sampai sekarang Mba Marni masih menangis ?”
“Wajarlah dia menangis. Kalau tahu begini, mengapa nggak dari dulu-dulu, hahaha…” Ucap Teguh ngebanyol.
“Dasar kamu ngeres aja Guh.”
“Terus saya harus bilang apa Drun ? Ngapain dipikirin. Namanya juga pengantin baru. Pasti maunya dimanja.”
“Bukan itu masalahnya, Guh. Dari tadi Mba Marni menangis terus, tapi Mas Tangguhnya diam saja. Kan aneh.”
“Ya, ya Drun. Terus ke mana ya, Mas Tangguhnya ? Kok tidak memperdulikan istrinya yang sedang menangis ?”
“Itulah yang saya pikirkan Guh. Makanya saya membangunkan kamu. Saya curiga deh. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada mereka.”
“Jangan ngaco deh Drun. Mungkin…”
“Mungkin apa ?” Badrun menyela Teguh.
“Mungkin Mas Tangguh tidur lagi kali. Kayaknya Mas Tangguh kecapean hahaha…” Kelakar Teguh.
“Kalau Mas Tangguh tidur lagi, masa dia tidak mendengar tangisan istrinya ?”
“Sok tahu kamu Drun.” Jawab Teguh menyepelekan pendapatnya.
Disaat Badrun dan Teguh sedang menerka-nerka apa yang sedang terjadi, Marni berlari mendatanginya sambil menangis.
“Tolong…, tolong…, tolong…”
“Ada apa Mba Marni ?” tanya Badrun dan Teguh kompak.
“Mas Tang…guh…” Ucap Marni terbatah-batah, sambil menunjuk ke kamarnya.
Mendengar jawaban Marni, Badrun dan Teguh lari menuju ke kamar pengantin.
Mereka melihat Tangguh tergeletak di atas ranjangnya, hanya mengenakan celana pendek. Badrun dan Teguh mendekatinya, lalu membangunkan Tangguh yang terlihat wajahnya mulai pucat.
“Mas Tangguh, bangun mas.” Ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Namun panggilannya tak mampu membangunkannya. Tangguh tetap diam seribu satu bahasa. Kini giliran Marni membangunkan suaminya, sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya. Namun tetap saja hasilnya sama. Sekarang teriakan Marni semakain keras berharap suaminya akan bangun.
“Bangun mas…., mas bangun mas…” Ucapnya sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya diiringi isakan tangis.
Badrun dan Teguh mendekati anak juragannya, lalu kembali membangunkan sambil mengoyang-goyang tubuhnya.
“Mas bangun mas. Mas Tangguh bangun. Loh kok Mas tangguh badannya dingin dan terlihat sangat pucat sekali ? Jangan-jangan Mas Tangguh sudah meninggal.” Ucap Teguh keceplosan.
Mendengar ucapan Teguh, Marni meraba tubuh suaminya, lalu menjerit sambil memeluknya. Sekali lagi Badrun dan Teguh meraba tubuh Tangguh yang semakin dingin. Tanpa dikomando lagi, keduanya melesat menuju kamar Juragan Markum.
Tok, tok, tok…
“Juragan…”
Tok, tok, tok..
Juragan Markum…” Teriak Teguh.
Bangun juragan.” Timpal Badrun.
Keduanya terlihat sedang panik berdiri di depan pintu sambil mondar-mandir. Badrun menggaruk-garuk kepalanya, menatap hampa pintu kamar juragannya. Sedangkan Teguh bibirnya terlihat gemetar. Berulang kali mereka mengetuk pintu sambil memanggil-manggil juragannya. Selang tak berapa lama terdengar langkah kaki seseorang. Langkah itu berhenti lalu seorang laki-laki berperawakan tinggi besar keluar dari kamarnya. Matanya melotot menatap keduanya sambil berkacak pinggang.
“Ada apa kalian teriak-teriak ? Seperti ada maling saja.” Ucapnya.
“Anu juragan…,anu…” Jawab Teguh gugup sambil merunduk.
“Ana, anu, ana, anu. Bicara yang benar !” Bentak Juragan Markum.
“Mas Tang…guh Ju…ra… gan.” Ucap Badrun terbatah-batah.
“Ada apa dengan anak saya ?” tanya Juragan Markum tak sabar mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh kedua abdinya itu.
“Mas Tang…guh me…ning…gal, Ju…ra…gan.” Jawab Teguh.
“Apa kata mu ? Kamu jangan main-main dengan saya ! Bicara yang benar !” Ucap Juragan Markum sambil mencengkeram pundak Teguh.
“Benar juragan. Mas Tangguh meninggal.” Timpal Badrun.
“Ya juragan, Mas Tangguh meninggal.” Ucap Teguh sambil meringis menahan pundaknya yang sakit.
“Ada apa toh pak ribut-ribut pak ?” tanya istri juragan Markum, yang datang tiba-tiba.
“Anak kita bu.” Ucap Juragan Markum sambil melepas cengkeramannya, lalu pergi ke kamar anaknya.
Sementara Istri Juragan Markum dan kedua abdinya, mengikutinya dari belakang. Tak lama kemudian mereka pun sampai di kamar anak dan menantunya. Kemudian Juragan Markum mendekati Tangguh lalu menempelkan tangannya ke pipi anaknya, untuk memastikan kebenaran berita yang disampaikan Badrun dan Teguh. Dia mengerutkan keningnya lalu memandang istrinya dengan mata berkaca-kaca. Melihat perubahan pada raut wajah suaminya, istri Juragan Markum mendekatinya lalu menanyakan perihal anaknya.
“Ada apa pak ?” tanya istrinya.
“Anak kita bu…, Tang, guh su, dah mening, gal, bu...” Ucapnya terbatah-batah.
“Apa ? Tidak mungkin pak. Tidak mungkin. Tangguh tidak meninggal. Anak kita hanya tidur pulas pak.” Ucapnya lalu memeluk jasad anaknya sambil menangis histeris.
“Bangun nak, bangun. Jangan tinggalkan ibu nak. Mengapa kamu diam saja nak. Bangun nak, bangun.” Teriaknya.
Setelah berkali-kali membangunkan anaknya, dan tetap saja diam, lalu istri juragan Markum melepaskan pelukannya. Dia menatap Marni dengan penuh amarah. Matanya melotot giginya gemertak, mendesis seperti kesurupan.
“Apa yang sudah kamu lakukan pada anak saya ha ? Jawab !” Bentak perempuan cantik yang rambutnya mulai memutih itu.
“Sa.., sa.., ya, tidak tahu bu.” Jawab Marni.
“Jangan bohong kamu ! Kamu kan yang membunuh anak saya ?” Bentak istri Juragan Markum lagi.
“Ampun bu. Saya tidak tahu menahu soal itu.”
“Bohong kamu !”
“Saya tidak bohong bu.”
“Tidak mungkin anak saya meninggal tanpa sebab. Kamu apakan anak saya ha? Pasti kamu telah membunuhnya kan ? Ayo jawab ?” desaknya.
Tidak puas dengan jawaban Marni, dia mendekatinya lalu menjambak rambut menantunya. Sambil menolak tuduhan mertuanya, Marni berusaha melepaskan rambutnya dari cengkeramannya.
“Ampun bu. Saya tidak membunuhnya.” Ucap Marni terlihat semakin ketakutan.
“Dasar perempuan sial. Pembunuh.” Hardik Bu Markum tak mau melepaskan jambakannya.
Juragan Markum segera melerai istrinya yang sedang kalap. Dia menarik dan menjauhkannya dari Marni. Namun Bu Markum berusaha meronta untuk melepaskan diri dari pelukan suaminya. Karena kalah tenaga, Bu Markum tak berdaya di pelukan suaminya, sambil mengumpat dan mengusir Marni.
“Dasar perempuan pembawa sial. Pergi kamu ! Pergi… !” Teriak Bu Markum sambil mengarahkan telunjuknya ke Marni.
Setelah itu Bu Markum jatuh pingsan. Juragan Markum berusaha menyadarkan istrinya sambil mengoleskan minyak ke hidungnya.
“Bu, bangun bu. Bu, bangun.”
Selang berapa lama, istri Juragan Markum kembali siuman sambil memanggil-manggil anaknya.
“Tangguh…, jangan tinggalkan ibu nak. Kenapa kamu tega meninggalkan ibu, nak.” Ucapnya sambil membuka matanya.
Melihat Ibu Mertuanya yang kembali sadar, Marni mendekatinya dan berusaha memeluk mertuanya. Namun di luar dugaan, Bu Markum menghempaskan tangannya ke tubuh Marni. Tak ayal lagi tubuh mungil itu jatuh tersungkur sambil menangis. Tak puas melihat menantunya jatuh tersungkur, dia kembali mengeluarkan umpatan dan mengusir Marni.
“Dasar perempuan sial. Pergi kamu dari rumah ini. Pergi…! Kalau tidak, saya hajar kamu.” Bentaknya lagi.
“Sudah bu, sudah. Kasihan Marni bu.” Bisik Pak Markum.
“Pergi kamu dari sini ! Dasar perempuan pembunuh !” Teriak Bu Markum berusaha menyerangnya.
Untung saja Juragan Markum berhasil menahan istrinya. Sehingga Marni luput dari amukannya. Sementara Marni tak berani membantah lagi apa yang dituduhkan oleh ibu mertuanya. Sambil bercucuran air mata, Marni keluar kamar dan pergi meninggalkan rumah Juragan Markum. Tak tega melihat Marni, Badrun mengejarnya berusaha menghentikan langkahnya. Namun teriakannya tak mampu menghentikan Marni.
Mba Marni mau ke mana ? Jangan pergi mba.” Teriak Badrun.
Tanpa sepatah kata, Marni terus berjalan meninggalkan rumah mertuanya sambil bercucuran air mata. Dia tak mendengarkan teriakan Badrun. Gadis yang belum genap berusia delapan belas tahun ini harus menjalani pahit getirnya kehidupan. Dia diusir dari rumah mertuanya tanpa kesalahan yang jelas. Bingung bercampur sedih menyelimuti hatinya. Dia juga masih bingung penyebab kematian suaminya.
Dia berusaha mengingat kembali sebelum kejadian itu. Dia berusaha mengingat dari mulai meninggalkan pelaminan sampai masuk ke kamar tidur. Berulang kali dia mengingatnya namun tidak ada satupun yang dia ingat tentamg penyebab kematian suaminya. Dia hanya mengingat setelah masuk ke kamar, entah mengapa dirinya sangat mengantuk sekali. Setelah itu dia tak mengingat apa-apa lagi. Dia baru tersadar setelah mendengar jeritan suaminya. Setelah itu melihat suaminya sudah meninggal.
Marni pun yakin dia bukanlah pelaku pembunuhan suaminya itu. Bahkan Marni sendiri masih mengenakan baju pengantin dan belum tersentuh sama sekali oleh suaminya. Marni merasa bingung atas kematian suaminya. Kini kepalanya terasa pusing. Langkahnya semakin gontai menerobos hamparan semak belukar yang masih diselimuti kabut. Rasa dingin kian menggerogoti tubuhnya. Beberapa kali Marni tersandung dan jutuh ke tanah. Kakinya lecet sampai bersimbah darah. Dia berusaha tabah menghadapi cobaan itu.
Pagi itu Marni menelusuri jalan yang berliku. Sesekali dia berhenti hanya untuk melonggarkan napasnya yang mulai kembang kempis. Setelah itu kembali menapakan kakinya menuju ke rumahnya. Pengantin belia yang seharusnya sedang menikmati indahnya dunia, kini harus merasakan pahit getirnya kehidupan. Kebahagiaan yang seharusnya dia rasakan, harus berakhir di ranjang pengantin tanpa diketahui apa penyebabnya.
Entah sudah berapa lama Marni telah berjalan kaki. Entah sudah berapa jauh Marni menelusuri jalan sepi. Langkahnya semakin gontai. Tubuhnya semakin lunglai. Tekadnya yang bulat telah membawa dirinya sampai ke rumah orang tuanya.
Samar-samar matanya menerobos anyaman dinding bambu rumah miliknya. Dia melihat bayangan ibunya yang sedang membawa lampu sentir di dapur. Dengan suara paruh dan sisa tenaganya, Marni memanggil Bu Sarti.
“Ibu…, ibu…, tolong Marni bu.” Teriaknya lalu jatuh di halaman rumah.
Bu Sarti yang sedang memasak di dapur kaget mendengar suara anaknya. Bercampur rasa tak percaya dia mencari suara itu berasal. Dia tak melihat Marni ada di dalam rumahnya. Dia pun merasa dirinya sedang berhalusinasi. Sehingga dia kembali lagi ke dapur. Namun dia kembali terkejut mendengar Marni memanggil-manggil namanya.
“Bu…, ibu… Tolong Marni bu.”
“Sepertinya saya mendengar Marni minta tolong. Tapi masa ya sih. Dia kan sedang berada di rumah mertuanya. Ah mungkin ini hanya perasaan saya saja. Ndu-ndu, baru saja sekejab berpisah, ibu sudah merindukanmu.” Gumamnya.
“Ibu…, tolong Marni Bu.”
Bu Sarti tersentak kaget kembali mendengar panggilan Marni. Dia sadar bahwa suara itu bukan halusinasinya. Bu Sarti mencarinya di dalam rumah, setelah itu membuka pintu dan keluar rumah. Terlihat samar-samar Marni terkapar di halaman rumah. Bu Sarti berlari menghampirinya dengan rasa tak percaya. Dia memeluk Marni yang telah basah kuyup oleh keringat, sambil mengguncang-guncang Marni yang tak sadarkan diri.
“Marni…, Marni…, bangun nak. Apa yang terjadi nak ? Kenapa kamu pulang nak ? Pak…, bapak…, ini anak mu pak…”
“Ada apa bu ?” tanya Pak Warto lalu menghampiri istrinya yang sedang menangis.
“Ya Allah kenapa kamu nak ?” tanya Pak Warto lalu menggedong dan membawanya ke kamar.
Sampai di kamar, Bu Sarti mengganti pakainnya. Setelah itu mengusap wajahnya dengan air hangat berusaha menyadarkan Marni.
“Bangun nak. Ini ibu.” Teriak Bu Sarti dengan nada sedih.
“Marni di mana bu ?” ucapnya setelah siuman.
“Kamu sudah siuman ndu ? Kamu ada di rumah.” Kata Bu Sarti lalu memberinya air hangat.
Setelah meneguknya, Marni menangis histeris, dan berusaha menceritakan peristiwa yang baru saja menimpanya.
“Ibu…, ibu…” Ucapnya lirih, napas tersengal-sengal.
“Udah nak udah. Ceritanya nanti saja. Sekarang kamu istirahat ya.” Ucapnya lalu menyelimuti Marni.
Marni kembali meneguk air hangat kemudian menangis. Napasnya tersengal-sengal turun naik tak beraturan. Bu Sarti memandang anaknya sambil tersenyum lalu membelai rambutnya. Sampai akhirnya Marni merasa tenang dan tak menangis lagi.
“Sekarang kamu mandi ya ndu. Ayo ibu bantu memapahmu.”
“Tidak usah bu. Marni sudah kuat jalan sendiri kok.” Ucapnya lalu pergi ke kamar mandi.
Setelah itu pergi ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang sudah sejak tadi menunggunya. Marni duduk di sebelah ibunya menghadap ayahnya. Sementara Pak Warto terlihat tenang sambil menatap anaknya yang baru saja datang. Kemudian Marni menghelai napas, lalu menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada kedua orang tuanya.
“Mas Tangguh meninggal pak.”
“Apa ?” tanya Pak Warto.
“Kamu tidak sedang bercanda kan ndu ?” timpal ibunya.
“Benar Pak, bu. Setelah pesta selesai, saya dan Mas Tangguh masuk ke kamar. Sampai di kamar, entah mengapa saya ngantuk sekali, dan akhirnya saya pun tidur. Tiba-tiba saya mendengar jeritan Mas Tangguh, dan pas saya lihat Mas Tangguh sudah meninggal pak.” Ucapnya sambil berderaian air mata.
“Terus kenapa kamu pulang ndu ?” tanya Bu sarti.
“Saya diusir oleh ibu mertua saya bu. Saya dituduh telah membunuh Mas Tangguh.”
“Betulkan kamu tidak membununhnya ndu ?” timpal Pak Warto.
“Saya tidak pernah membunuhnya pak.”
“Kenapa kamu tidak menjelaskan kalau kamu tidak membunuhnya ?” sela Bu Sarti.
“Sudah bu. Saya sudah menjelaskannya. Tapi ibu mertua saya tidak percaya kalau saya tidak membunuhnya. Malah dia marah dan mengusir saya dari rumahnya.” Terangnya sambil menangis terisak-isak.
“Yang sabar ya ndu. Mungkin sudah takdirmu harus begini.” Timpal Pak Warto, matanya berkaca-kaca.
“Ya pak. Mungkin ini sudah nasib saya.” Ucapnya.
“Sekarang kamu istirahat ndu. Jangan banyak pikiran ya, nanti malah kamu sakit.” Kata Bu sarti.
“Ya bu, terima kasih.” Ucapnya lalu Marni pergi ke kamarnya.
Berita tentang meninggalnya Tangguh menjadi buah bibir warga di Desa Dadap. Warga menganggap meninggalnya Tangguh sangat tidak wajar dan patut dicurigai. Oleh karena itu di kalangan warga tersebar berita bahwa meninggalnya Tangguh karena dibunuh Marni. Ada juga yang beranggapan bahwa kematiannya karena menjadi tumbal pesugihan Juragan Markum.
Bukan hanya itu saja, Marni yang dituduh sebagai pembunuh suaminya saat itu juga dicap sebagai perempuan pembawa sial. Kematian Tangguh bukan saja menyisakan duka yang sangat mendalam bagi keluarga Juragan Markum, akan tetapi membuat Marni hidupnya menjadi terkucil. Sejak Marni dicap sebagai pembunuh dan perempuan pembawa sial, dia dijauhi dalam pergaulan di masyarakat. Sehingga Marni enggan keluar rumah dan lebih banyak mengurung diri.
Karena setiap Marni keluar rumah, ada saja orang yang menggunjingnya. Akibatnya Marni merasa malu dan minder serta jiwanya merasa tertekan. Hal itu membuat Marni merasa putus asa dan berusaha mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Untung saja percobaan bunuh diri itu segera diketahui Pak warto. Semenjak itu mereka selalu mengawasi Marni dan memberikan motivasi, agar dia kuat dan segera bangkit dalam hidupnya. Melihat jiwa Marni yang putus asa dan sangat tertekan, Pak Warto dan Bu Sarti sangat sedih.
Namun disaat Marni sedang dalam keputus asaan, Bagus datang dan berusaha menghibur Marni. Kedatangan Bagus kali pertamanya membuat bibir mungil itu tersenyum dan secercah harapan kembali bersinar. Bagus berhasil meyakinkan hati Marni dan perlahan-lahan mulai melupakan kesedihannya. Benih-benih cinta yang pernah tumbuh di hatinya mampu mengubah Marni menjadi pribadi yang sangat kuat.
Perubahan yang terjadi pada diri Marni setelah hadirnya Bagus di tengah-tengah mereka, membuat Pak Warto dan Bu Sarti yakin bahwa Bagus akan mampu mengubah Marni seperti dahulu kala. Semenjak Bagus mendengar Marni melakukan percobaan bunuh diri, dia lebih sering mengunjungi Marni.
“Eh Nak Bagus, silahkan masuk nak.” Sapa Bu Sarti ramah.
“Ya bu terima kasih. Ngomong-ngomong kok ibu duduk sendiri di luar. Dek Marni mana bu ?” tanya Bagus.
“Itulah nak yang membuat ibu sangat sedih. Marni selalu mengurung diri di kamar. Coba temui sana. Siapa tahu dengan kedatangan Nak Bagus dia mau keluar.”
“Oh ya bu. Mudah-mudahan Dek Marni kembali seperti dulu lagi ya bu.” Ucapnya penuh percaya diri.
“Mari nak ibu antar ke kamar Marni.” Ajak Bu Sarti diikuti Bagus.
“Ndu, ini ada Nak Bagus ndu.” Ucap Bu Sarti memanggilnya.
“Dek Marni, ini saya Bagus. Yuk kita ngobrol di luar.” Timpal Bagus.
Tak lama kemudian Marni pun keluar dari kamar. Dengan mata sayu, Marni menatap Bagus yang masih berdiri di depan pintu ditemani Bu Sarti.
“Eh Mas Bagus. Sudah dari tadi mas ?” sapa Marni dengan suara sedikit parau.
“Baru saja datang dek. Apa kabar Dek Marni ?” tanya Bagus.
“Baik mas.” Jawabnya.
“Silahkan duduk nak. Ibu ke dalam dulu ya ?”
“Ya Bu.” Jawab Bagus sambil mengangguk.
“Saya harap kedatangan ku ini tak mengganggu istirahat dek Marni ya.”
“Oh tidak mas. Saya malah senang mas Bagus masih mau main ke sini. Pedahal banyak sekali orang yang memandang saya sebelah mata.”
“Tidak usah perdulikan mereka dek. Kamu harus cepat keluar dari masalah ini. Kamu harus semangat ya.”
“Ya mas terima kasih. Tapi saya malu loh mas, kalau saya harus keluar rumah.”
“Coba dulu dek. Jangan menyerah begitu. Gimana kalau mulai besok dek Marni bantu-bantu ibu di pasar.”
“Oh ya mas. Ide bagus itu. Saya juga sudah sangat jenuh di rumah terus mas. Terima kasih ya mas atas dukungannya.”
“Ya dek sama-sama. Sekarang saya pamit dulu ya. Tolong sampaikan salam saya untuk Bapak.”
“Oh ya mas. Bu…? Ini mas Bagus mau pamitan.”
“Loh kok buru-buru nak ? Terima kasih loh sudah mau main ke sini ?”
“Ya bu sama-sama. Maaf kalau kedatangan saya ini merepotkan.”
“Merepotkan apa loh nak. Ibu malah senang kalau Nak Bagus mau main ke sini. Jangan kapok main ke sini ya ?” ucap Bu Sarti lagi.
Setelah Bagus main ke rumah, semangat Marni pun tumbuh kembali. Pagi-pagi sekali Marni sudah berpakaian rapih. Bu Sarti merasa heran tak seperti biasanya pagi itu Marni ingin ikut ke pasar. Sambil tersenyum Bu Sarti menyapa Marni.
“Duh, aduh cantik sekali anak ibu. Pagi-pagi sudah dandan rapih. Kamu mau ke mana sayang ?” sapanya.
“Mau ikut ibu lah.” Jawabnya manja.
“Apa ibu tidak salah dengar ndu ?”.
“Tidak bu. Pagi ini saya mau ikut ibu ke pasar. Saya suntuk di rumah terus bu.” Ucapnya lalu meraih barang dagangan ibunya.
“Jangan ndu, biar ibu saja yang bawa. Kamu temani ibu saja ya.”
“Biar saya yang bawa bu.”
“Biar ibu saja yang bawa. Nanti kamu malah capek loh.”
“Nggak apa-apa bu. Biar saya saja yang bawa.”
“Biar ibu saja yang bawa. Nanti kalau ibu capek gentian ya ndu.” Ucap Bu sarti.
“Tapi saya merasa malu bu kalau lenggang kangkung begini. Gimana kalau sebagian barangnya saya yang bawa bu.” Usulnya.
“Ya udah kamu bawa yang ini saja ya. Sebagian lagi biar ibu yang bawa.”
“Ya bu.” Jawab Marni sambil menggedong barang dagangan ibunya.
Yuk sekarang kita berangkat.” Ajak Bu Sarti.
Keduanya lalu berangkat sambil menggedong barangnya dagangannya. Selama di perjalanan tak sedikit Marni menjadi pusat perhatian warga. Ada yang berbisik membicarakan Marni, dan ada juga yang merasa kasihan kepadanya. Namun Marni berusaha cuek dan pura-pura tak mendengarnya.
“Rasanya banyak sekali yang sedang memperhatikan kita ya bu.”
“Sudah biarkan saja ndu. Kita pura-pura tak melihatnya.”
“Ya bu.”
Sampai di pasar, lalu mereka menjajakan barang dagangannya. Selain ramah, Bu sarti juga menjual barang dagangannya lebih murah dari yang lainnya. Maka tak heran jika setiap harinya barang dagangannya selalu ludes oleh para pembeli.
“Pisang jantannya masih ada bu ?” sapa salah satu langganannya.
“Masih bu. Mau beli berapa sisir ?” jawab Bu Sarti ramah.
“Dua sisir saja ya bu.” Ucapnya sambil melirik ke Marni yang sedang tersenyum kepadanya.
“Oh Si Eneng. Ikut ke pasar Neng ?’’ sapa pembeli itu.
“Ya bu, ikut menemani ibu.” Jawab Marni ramah.
“Saya ikut senang loh kalau Si Eneng kembali seperti dulu lagi. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan ya Neng.” Ucapnya memberi semangat kepada Marni.
“Ya bu terima kasih. Ini bu pisangnya.”
“Terima kasih Neng. Main loh ke rumah ibu. Kebetulan ibu juga punya anak gadis seumuran Neng Marni. Diah sangat pemalu dan selalu di rumah saja. Ya siapa tahu setelah kenal dengan Neng Marni, Diah mau bergaul.”
“Oh namanya Diah ya bu.”
“Diah Purwati nama lengkapnya Neng.”
“Salam ya bu untuk Mba Diah. Sekali-kali ajak dia ke pasar. Saya sendiri kalau di rumah terus rasanya jenuh sekali. Dari pada mikirin yang enggak-enggak, kan lebih baik temani ibu di pasar. Bukan begitu bu ?” kata Marni.
“Ya betul Neng. Lain kali akan ibu ajak. Kan di sini bisa ngobrol dengan Neng Marni hehehe… Oh ya Neng, ibu pamit dulu ya. Masih ada yang belum ibu beli. Mari Neng, mari bu.” Ucap pembeli itu lalu pergi.
“Siapa nama ibu tadi bu ? Orangnya ramah sekali ya bu ?” tanya Marni kepada ibunya.
“Dia Ibu Jamilah, tetangga kampung kita. Memang Bu Jamilah sangat baik dan ramah. Dia adalah salah satu langganan tetap kita ndu.”
“Oh… namanya Bu Jamilah. Ibu tahu rumahnya Bu Jamilah ?”
“Persis rumahnya ibu belum tahu ndu. Kalau ngga salah sih, dia tinggal di Kampung Waru. Dia hanya tinggal berdua saja loh dengan anak gadisnya itu.”
“Terus suaminya ke mana bu ?” tanya Marni lagi.
“Katanya sih suaminya pergi dari rumah saat Diah masih kecil. Saat itu ayahnya berpamitan untuk merantau mencari pekerjaan. Semenjak itu tak pulang lagi sampai sekarang.”
“Kasihan Bu Jamilah ya bu. Pasti dia sangat berat membesarkan Diah sendirian.” Ungkap Marni lalu terdiam.
Ada butiran air mata yang menetes di pipinya. Pandangannya hampa seolah Marni sedang mengingat sesuatu yang telah menimpa dirinya. Bu Sarti melihat ada guratan pilu di wajah anaknya. Dia segera mengalihkan pembicaraan agar Marni tersadar dari lamunannya. Karena tak mau lagi melihat anaknya berlarut dalam kesedihannya.
“Kalau sudah capek kita pulang ya ndu ? Kebetulan barang dagangan kita sudah habis semua.” Bisik Bu Sarti lembut.
“Capek sih nggak bu. Tapi kalau ibu sudah mau pulang, nggak apa-apa. Oh ya bu, besok saya ikut lagi ke pasar ya ?”
“Boleh. Tapi apa kamu nggak capek ndu ?”.
“Tidak bu. Malah saya senang loh, kalau ikut ke pasar lagi. Di sini asyik loh bu. Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu. Beda kalau saya di rumah. Hem…, rasanya setahun deh bu. Hehehe…”
“Ah kamu bisa aja ndu. Hehehe…” Timpal Bu Sarti sambil tertawa.
Bu Sarti sangat senang melihat Marni sudah kembali tersenyum. Bagaimana tidak ? Marni yang selama ini selalu murung dan mengurung diri di rumah, kini wajahnya tampak berbinar-binar. Bak bunga yang baru mekar setelah tersiram hujan.
“Kita cari ojek ya ndu.”
“Nggak usah lah bu, kita jalan kaki saja.”
“Memangnya kamu nggak capek ?”
“Tidak lah bu. Kan rumah kita tidak terlalu jauh dari sini. Kalau kita jalan kaki selain ngirit ongkos, kita juga menjadi sehat kan bu. Itung-itung olahraga lah bu. Apa lagi jalan yang akan kita lalui tampak sejuk dan asri. Kita bisa melihat pemandangan gratis bu, Hehehe…”
“Kamu terlihat semakin pinter saja ndu. Baiklah kita jalan kaki. Siapa takut, hehehe…” Ajak Bu Sarti.
Lalu keduanya berjalan menelusuri perkebunan warga. Disela-sela kebun itu berdiri batang kelapa yang kokoh dan rimbun. Sehingga daunnya tampak melambai-lambai saat tertiup angin. Di atas perkebunan itu terlihat awan hitam mulai bergelantungan. Membuat suasana disiang itu tampak sejuk. Sesekali Marni berlari dan berputar-putar ke sana dan ke mari. Kedua tangannya direntangkan sambil menatap langit. Kemudian dia berteriak sekencang-kencangnya memanggil ibunya.
“Ibu…, ibu…., ibu…” Teriaknya sambil melompat kegirangan.
Seolah dia baru saja terbebas dari masalah yang telah membelenggunya. Bu Sarti yang melihatnya hanya mesem-mesem saja. Dia pun berharap Marni akan kembali ceria seperti sedia kala.
Saat keduanya sedang berjalan, dari arah belakang terdengar suara motor yang menghampirinya. Seorang pemuda gagah dan ramah menyapanya dan menawarkan tumpangan kepada Bu Sarti dan Marni.
“Ibu mau pulang ?”
“Eh Nak Bagus. Ya Nak, kami mau pulang.”
“Kebetulan saya juga mau pulang bu. Mari saya antar.”
“Nggak usah nak, terima kasih. Kami memang sengaja jalan kaki. Bentar lagi juga sampai kok nak.”
“Ya sudah bu nggak apa-apa. Saya duluan ya bu ? Mari Dek Marni ?.”
“ Ya mas. Hati-hati di jalan ya.” Jawab Marni sambil melempar senyum.
“Dia pemuda yang baik ya ndu. Meskipun dia anak orang kaya, tapi Nak Bagus tetap ramah. Dia juga rendah hati. Tutur katanya lembut dan tidak sombong. Sesuai dengan namanya, yaitu Bagus. Gimana menurut kamu ndu ?” tanya Bu Sarti.
“Maksud ibu tentang Mas Bagus ?”.
“Ya lah ndu. Memangnya ada orang lain lagi di sini, hehehe…”
“Saya sependapat dengan ibu. Mas Bagus sangat baik bu. Dialah yang selalu menyemangati saya. Kalau bukan karena Mas Bagus, mungkin saya masih mengurung diri di rumah bu.” Jawab Marni.
“Menurut ibu, kayaknya nak Bagus itu suka deh sama kamu ndu.”
“Ibu tahu dari mana kalau Mas Bagus itu suka dengan saya ?”
“Dari sorot matanyalah ndu. Biar begini-begini, ibu juga pernah muda loh ndu, hehehe…”
“Ah ibu bisa saja, he…, he…” Ucap Marni sambil tersipu malu.
“Kita sudah sampai rumah bu.” Ucapnya mengalihkan pembicaraan ibunya.
“Sekarang kamu istirahat dulu sana.” Kata Bu Sarti.
Marni tersenyum memandang ibunya. Diraihnya sapu lidi lalu membersihkan halaman rumahnya. Bu Sarti menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Nggak ada capeknya kamu ndu. Biar ibu saja yang nyapu. Sana kamu istirahat saja dulu.” Bisik Bu Sarti.
“Nggak apa-apa kok bu. Nanti saja istirahatnya.” Jawab Marni samar-samar dari halaman rumah.
Kemudian Bu Sarti pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siangnya. Tak lama kemudian Pak Warto pulang dari sawah. Dia merasa heran melihat anak semata wayangnya sedang menyapu halaman rumah. Sementara Marni, begitu melihat ayahnya datang, dia buru-buru menyambutnya.
“Bapak sudah pulang ? Sini cangkulnya biar Marni saja yang naro ?”
“Tadi pagi kamu ke mana saja ndu ? Bapak cari-cari kok nggak ada.”
“Saya ikut ibu ke pasar pak. Maaf saya lupa memberi tahu bapak.”
“Ya tadi Marni membantu ibu jualan di pasar pak. Katanya di rumah jenuh.” Sela Bu Sarti.
“Kalau baru pulang dari pasar, kenapa nggak istirahat dulu ndu ? Kok malah menyapu halaman. Sana istirahat dulu.” Bujuk Pak Warto.
“Ibu sudah melarangnya pak, tapi Marni nggak mau mendengarkan ibu.”
“Nggak apa-apa loh pak, mumpung saya lagi mau. Apa bapak nggak senang melihat Marni membantu ibu ? Hehehe…” Celoteh Marni.
“Bukan begitu ndu. Tapi kan kamu masih capek ?”
“Sudah nggak usah diributkan. Kan nyapunya sudah selesai. Yuk kita makan siang dulu. Sudah ibu siapkan loh, nanti kalau dingin nggak enak.” Ajak Bu Sarti.
“Oh ya, kebetulan perut bapak sudah keroncongan nih. Bapak sudah nggak sabar makan masakan ibumu yang tidak ada tandingannya, hehehe…”
“Ah bapak bisa saja, hehehe…” Jawab Bu Sarti dengan senyum semringah.
Rasa letih Pak Warto mendadak hilang seketika. Setelah melihat kedua kesayangannya menyambutnya penuh hangat. Keluarga kecil itu pun kini tampak bahagia kembali. Tawa dan canda selalu menghiasi rumah kecil berdinding geribik bambu itu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar