Navigasi Web

TERPASUNG KATA

Junaedah

Part 54 Gatot! Gagal total! Ternyata semua belum berakhir. Urusan jauh dari selesai. Indah melenggang saat pulang sekolah. Suara deru motor mengejar di belakang. Berhenti tepat di depannya. Menghalangi jalan yang akan dilaluinya. Terlihat jelas, sengaja mencegat langkahnya. "Ayo naik! Aku mau ngomong." Ketus sekali nada suaranya. Agha nangkring di atas motor gedenya. "Ngomong saja, tak perlu aku naik ke motormu." balas Indah, sama ketusnya. "Bodoh kamu. Ini di jalan. Tak mungkin aku ngomong di sini. Apa kata orang nanti?" "Katakan, kamu mau ngomong di mana. Nanti aku menyusul." Indah tetap menolak dibonceng Agha. "Kutunggu di rumahku!" Agha melajukan motornya secepat kilat. Suaranya meraung memekakkan telinga. Tak lama berselang, Indah sudah tiba di depan rumah Agha. Dedaunan yang meneduhi halaman, melambai. Seolah menyatakan kangen padanya. Pohon jeruk bali memamerkan buahnya yang besar-besar. Meminta dipetik seperti kebiasaannya dulu. Ah, sekarang bukan saatnya untuk mengulang semua itu. Melainkan waktu untuk menuntaskannya. Indah memilih duduk di kursi teras, saat Agha mengisyaratkan untuk masuk ke ruang tamu. "Ayo, mau ngomong apa?" tanyanya. "Aku harus buru-buru pulang," tagihnya, sambil berpura-pura melirik arloji di tangannya. "Apa maksudmu memberikan buku diari kamu sama Mira?" Agha mulai menyampaikan maksudnya. "Memangnya kenapa? Kamu malu, ketahuan pernah mencintaiku? Aku sengaja memberikannya, agar ia tahu perasaanku yang sebenarnya sekarang. Dengan begitu, kuharap, dia berhenti menerorku!" sergah Indah. Suaranya melengking tinggi. "Dia marah sama aku setelah membaca bukumu. Sekarang dia kabur." Suara Agha terjun ke volume terendah. Mirip sebuah keluhan untuk dirinya sendiri. "Itu masalah sepele, tidak usah cengeng. Tinggal disusul saja, beres. Paling dia pulang ke rumah orangtuanya. Kenapa malah ngejar dan nyegat aku? Apa maksudmu ... harus aku yang menyusulnya?" "Bukan itu maksudku. Tapi, dia bilang, tak mau tinggal di sini lagi." "Kalau begitu, kamu tak perlu ajak dia pulang ke sini. Apa salahnya kamu yang mengalah, tinggal di kampungnya." "Tapi, bagaimana mungkin aku menumpangkan hidupku pada keluargamya? Kamu tahu sendiri, aku belum bekerja." "Itu bukan urusanku. Kamu pikirkan sendiri langkah apa yang terbaik. Bicarakan dengan nenek. Kamu yang harus memutuskannya. Kalau bukuku membuat masalah di antara kalian, bakar saja. Aku pulang." Indah bangkit, siap hendak pergi. "Kamu benci aku, Ndah?" tanya Agha mencegah langkah kaki Indah. "Aku tidak membenci siapapun. Aku percaya Tuhan maha adil. Takdir ini yang terbaik untukku. Dia tak akan menyia-nyiakan hamba-Nya." "Maafkan aku ...." "Tak ada yang perlu dimaafkan. Sedari dulu, sejak kecil kita telah terbiasa bersama, seperti saudara. Sudah, aku permisi. Jangan lupa, susul Mira secepatnya. Dia menunggumu." "Terimakasih, Ndah." Cikulur, 12 Maret 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus

13 Mar
Balas

Terimakasih sudah mampir, Bapak.

13 Mar

Dua sahabat

13 Mar
Balas

Iya, Bu. Akhirnya jadi sahabat.

13 Mar

Sayang sifat ke kanakanakan mira tidak menyelesaikan masalah.

13 Mar
Balas

Iya, Bu. Mungkin ujian, biar Indah makin dewasa dan kuat.

13 Mar



search

New Post