Navigasi Web

TERPASUNG KATA

Junaedah

Part 42 "Jangan banyak omong, ayo pulang! Aba mencari kamu dari tadi." Kang Mirza menarik tangan Indah, setengah menyeretnya. Tak memberi kesempatan sedikitpun untuk berpamitan kepada Agha. Indah duduk di belakang Kang Mirza. Mukanya tertekuk, dengan bibir cemberut. Tak lama motor menderum, melaju meninggalkan deru yang bergemuruh, meluruhkan sesuatu di hati Agha. Kang Mirza membuka pintu tanpa mengucap salam. Masih sambil menarik lengan Indah, dia memasuki rumah Aba lewat pintu belakang. Nampak Aba dan Umma di meja makan, berhadapan dengan Zahra dan Fathia. "Ini Indah, Ba! Ada di rumah Nek Midah, sedang berduaan sama cucunya ...." Kang Mirza langsung melaporkan temuannya. Aba melambaikan tangan. Isyarat supaya Kang Mirza berhenti berbicara. "Sebaikanya kita makan dulu Mirza, terimakasih, sudah membawa Indah pulang," ujarnya. "Aku sudah makan tadi, Aba. Aku pulang saja." Kang Mirza menolak tawaran Aba. Langsung membalik badan menuju pintu. "Kamu sudah ingin menikah, Ndah?" Tanya Aba, setelah Indah duduk dan menyendok nasi ke piringnya. Suaranya tenang. Setenang hembusan angin siang itu. Yang membisiki dedaunan di luar. Mengalunkan melodi dari derit batang bambu, yang bergesekan di belakang rumah. Namun, sungguh membuat Indah terkejut. "Aaeh ...eeh ..." Indah tergagap. Sejujurnya, dia belum pernah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan seperti itu. Zahra dan Fathia saling pandang, beradu senyum diam-diam. "Kalau iya, Aba akan bilang pada Nek Midah ...." "Eh, tidak Aba! Indah belum siap." Indah menyambar cepat, memotong kalimat Aba yang belum selesai. Indah memang belum berpikir ke sana. Bukankah Zahra juga belum menikah? "Kalau begitu, jangan lagi ke rumah Agha. Jika memang dia jodohmu, Allah yang akan menyatukan. Meski kalian tak pernah bertemu sekalipun. Tak elok, anak perempuan mendatangi laki-laki. Berikhtilat tanpa ada yang menemani," tegas Aba. "Tapi Indah gak ngapa-ngapain di sana, Aba." Indah membela diri. "Setan biasa membungkus hal-hal buruk dengan kemasan yang bagus. Sedang manusia tak menyadari. Bukan maksud Aba menghakimi kamu. Aba hanya ingin, kamu mampu menghindari, peluang masuknya bisikan-bisikan manis dari setan. Sebab, itu bisa mencelakakan dirimu sendiri." Indah terdiam. Mencoba merenung, untuk mencerna maksud kata-kata Aba. Hatinya kini terasa sejuk dan tenang. Kata-kata Aba seumpama air es. Menyiram bara api yang dinyalakan Kang Mirza sebelumnya. Cikulur, 29 Februari 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren bu

01 Mar
Balas

Terimakasih, supportnya, Ibu. Salam kenal.

01 Mar

Terimakasih, supportnya, Ibu. Salam kenal.

01 Mar

Sungguh sangat bijak aba, andai semua ayah seperti aba, maka sungguh indah kehidupan anak2

01 Mar
Balas

Iya, Bu. Sudah langka, ayah seperti itu jaman sekarang.

03 Mar



search

New Post