BENGKEL KARAKTER DI SEKOLAH
#Tantangan Gurusiana 30 Hari Menulis# (Tantangan Hari Ke 11)
BENGKEL KARAKTER DI SEKOLAH
Oleh. Jumriyah, S.Pd, M.Pd
Mendengar cerita para guru kita terdahulu sungguh menyenangkan. Ada yang bisa petik sebagai dasar kehidupan di era milenial ini, namun juga ada yang sudah tak relevan lagi. Hal paling kuat dalam benakku adalah cerita tentang keteladanan seorang guru. Sosok guru begitu tinggi dimata masyarakat. Mas guru adalah sebutan kebanggaan masyarakat terhadap posisi seorang guru saat itu. Meski nominal gaji tak seberapa dibanding guru sekarang namun keberkahan yang mereka rasakan jauh lebih nyata.
Sebagai ilustrasi perilaku unggah-ungguh dan karakter sudah tercetak sejak dahulu. Ketika guru hadir ke sekolah siswa langsung berebut untuk membawakan tas yang ditinting dan menuntunkan sepedanya untuk dibawa masuk ke sekolah. saat ditanya guru siswa selalu menjawab dengan santun dengan kepala menunduk. Pembelajaran di kelas berjalan tertib, tenang dan damai. Penjelasan guru diperhatikan dengan khidmat. Siswa duduk dibangkunya dengan tegap, kedua tangan bersedekap diatas mejanya. Budaya bertanya selalu diawali dengan menunjukkan jarinya terlebih dahulu, setelah disebut namanya barulah pertanyaan dilontarkan.
Begitu juga keseharian guru di keluarga atau di kehidupan bermasyarakat. Guru selalu menjadi panutan dalam segala hal. Kehidupan bersopan santun sudah terbudaya. Saat menempuh perjalanan dengan sepeda ontel berpapasan dengan orang lain, maka dengan segera tururn dari sepeda sambil menuntun sepedanya mereka menganggukkan kepala sembari menyapa dan meneruskan perjalanan. Begitu kuat mereka untuk saling menghargai dan menghormati.
Begitu juga ketika ditemui siswa yang kurang tertib di sekolah, dan guru memarahinya tak ada siswa yang mengadukan kegalakan gurunya kepada orang tua di rumah. Kalaupun ada justru anak itu sendiri yang mendapati marah ayah atau ibunya. Jadi tak ada peristiwa guru diadili atau yang lainnya.
Nilai hasil ulangan yang diberikan guru setiap harinya ditempelkan di pipinya sebagai laporan kepada orang tua ketika pulang sekolah. ini terjadi tanpa kecuali. Baik yang nilainya 0 maupun nilai 100. Sebegitu kuat semangat siswa bersaing untuk pulang ke rumah dengan pipi tercetak angka 100 sebagai kebanggaannya.
Semuanya itu membuktikan bahwa pendidikan karakter sudah sangat ditekankan dalam pembelajaran sejak saat itu. Sedangkan di kehidupan sekarang ini pendidikan karakter hanya tinggal mengingatkan dan menguatkan saja. Karakter yang diajarkan dan ditekankan saat ini sudah terbudaya sejak dahulu kala.
Sasaran pendidikan karakter bukan semata-mata harus dikuatkan kepada para siswa saja, namun terlebih kepada para guru dan seluruh personal yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Baik itu pendidikan formal maupun non formal. Semua komponen harus menjunjung tinggi nilai karakter sebagai dasar pembelajaran dan kehidupan sehari-hari.
Katika semua sudah memahami betul nilai karakter dan mengimplementasikan dalam kehidupan, maka tak akan ada lagi siswa atau orang tua yang melaporkan gurunya ke polisi. Tak akan terdengar lagi guru mati karena dikeroyok oleh siswanya SMA. Atau sebaliknya tak ada lagi guru yang berlaku kasar di sekolah atau guru yang melecehkan siswanya.
Sekolah sebagai media untuk mngembangkan diri. Sekolah menjadi tempat untuk mengimplemantasikan nilai-nilai budaya yang berkarakter. Sekolah juga menjadikan masyarakatnya untuk saling membantu satu sama lain. Mengurai kebodohan yang membelenggu kehidupan. Sekolah semestinya menjadi tempat yang dirindukan oleh siswa sekaligus oleh gurunya. Sekolah bukan tempat yang memberi tekanan kepada siswa karena kegarangan guru atau perundungan siswa lainnya.
Jadikan sekolah kita sebagai rumah kita sendiri. Dengan tenaga-tenaga senior yang siap membengkeli kerusakan-kerusakan kecil yang dihadapi siswa hingga menjadi pribadi santun dan berkepribadian. Siap menyingsong hidup dengan tatapan yang mantap. Tak ada galau, tak ada diskriminasi dan selalu menjunjung tinggi keberagaman. Karena sejatinya berbeda itu menjadi indah. Dengan berbeda maka akan nampak warna. Tanpa perbedaan tak akan berwarna.
Menyadari hal itu guru harus mampu memanajemen hati dan siap mengelola kelas. Mindset harus diubah. Guru siap menjadi pelayan masyarakat dalam pembelajaran. Siap menjadi gurunya manusia. Memanusiakan manusia. Mampu menciptakan kelas untuk manusia dan sekolahnya manusia. Artinya sisi lebih dan kurang harus kita olah dengan hati ikhlas.
Ditulis oleh:
Jumriyah, S.Pd, M.Pd (Kepala SD Negeri Bergaskidul 03, Bergas, Kab Semarang, Jateng)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar