Bab 7 Menjaga Jarak, Menyulam Harap (T421)
Sejak kunjungan itu, hubungan antara keluarga Afkar dan keluarga Ustaz Salman mulai menghangat. Meski belum ada kepastian, tapi adanya ruang untuk saling mengenal memberi napas baru bagi hati Afkar. Ia tetap datang ke masjid setiap sore, membantu merapikan sajadah, menggulung karpet, atau sekadar menyapu halaman. Kadang-kadang, Aisyah terlihat di serambi, membaca atau membantu ibunya membuat kue. Pandangan mereka sesekali bertemu, tapi tak lebih dari sekadar senyum penuh pengertian.
Di kampung, bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa tetangga mulai bertanya-tanya, dan sebagian memberi senyum mencibir setiap kali melihat Afkar melewati jalanan. Tapi Afkar belajar untuk tidak ambil hati. Ia sadar, cinta yang diperjuangkan harus dibarengi dengan kesabaran yang tak pendek.
Suatu sore, saat hujan baru saja reda, Afkar duduk di beranda rumah, menatap jalanan basah yang mulai mengering. Ibunya duduk di sampingnya, menyulam kain kecil untuk taplak meja.
"Bu, kalau aku bisa membahagiakan Aisyah... apakah orang-orang tetap akan melihatku rendah hanya karena aku anak penjual tempe?"
Ibunya menoleh pelan, lalu tersenyum:
"Nak, yang dilihat manusia itu bungkus. Tapi yang dilihat Allah adalah isi. Jika kau baik, maka Aisyah akan tahu. Dan siapa pun yang benar-benar mencintaimu takkan peduli dengan bungkusmu."
Afkar mengangguk pelan. Kata-kata itu menenangkannya lebih dari apa pun. Ia tahu, perjuangan ini belum selesai. Bahkan mungkin, baru saja dimulai.
Malam itu, ia kembali menulis. Bukan surat, bukan puisi, tapi doa. Ia tuangkan semua harapannya dalam lembaran kecil yang ia lipat dan simpan di bawah bantal. Ia tahu, tidak semua doa harus terdengar oleh telinga manusia. Cukup Allah yang tahu, cukup langit yang menjadi saksi.
Di sisi lain, Aisyah pun merasakan hal serupa. Ia semakin sering memandang langit malam dari balik jendela kamarnya. Tak ada kata, hanya desah napas dan degup hati yang tak menentu. Ia tahu, pilihan hatinya bukan yang paling mudah. Tapi ia juga tahu, Afkar bukan sembarang lelaki. Ada kesungguhan, ada niat yang lurus, yang tak semua lelaki bisa tunjukkan.
Mereka tetap menjaga jarak. Tidak saling kirim pesan, tidak saling bicara langsung selain sapaan sewajarnya. Tapi hati mereka perlahan menyulam harap—seperti benang tipis yang mengikat dua sisi kain, perlahan tapi erat.
Dan malam itu, di langit yang sama, dua hati yang berbeda tempat berdoa pada Tuhan yang sama. Minta diberi jalan, minta diberi kekuatan, untuk cinta yang tak biasa ini.
=====================================================
Garahan, 20 April 2025 / Ahad, 21 Syawal 1446 H, 09.14 WIB
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Amin...smga mereka berdua berjodoh. Keren crt nya mas gr
Matur sembah nuwun Oma tercinta
Keren ceritanya Pak Guru. Saya kmarin ke Jember Pak Guru. Tapi saya belum tahu Garahan.
Terima kasih lhoooo iya kah bund? boleh pakai WA bund kalau mau ke rumah