Tantangan menulis 30 hari day 10

Sekolah di mana aku belajar masih dalam tahap pembangunan. Karena keterbatasan tenaga, pihak sekolah pun mencerahkan kami, murid-muridnya dua Minggu sekali. Jam olahraga digunakan untuk kerja bakti.

Untuk membangun pondasi, diperlukan batu kali yang jumlahnya banyak. Alam telah menyediakan gratis buat kami.

Akhirnya, hari Sabtu kami diminta membawa wadah untuk mengambil batu di kali. Warga kampung menyebut kali yang berarti sungai.

Sungai yang membatasi kampung Bakalan dan Leban menyediakan batu hitam yang melimpah. Baik batu kerikil, pasir, hingga batu yang besarnya melebihi kerbau. Bahkan ada yang lebih besar lagi yang bentuknya seperti lumbung padi. Hingga kami menyebutnya Watu Lumbung.

Karena saking besarnya batu itu, bisa diduduki rame-rame saat bermain di puncaknya.

Kerjabakti mengambil batu-batuan itu pun dikerjakan oleh siswa dan guru tanpa pandang bulu. Tak ada yang mengeluh. Semua dilakukannya dengan ikhlas, dengan harapan pembangunan sekolah cepat selesai. Gedung pun jadi, mereka bisa belajar di gedung yang bagus dan nyaman.

Untuk menuju sungai ada dua alternatif. Yang pertama melalui jalan raya, tetapi jarak tempuhnya lebih jauh karena memutar. Alternatif kedua, lewat pematang sawah yang terletak di belakang bangunan SD ini.

Posisi sungai sebenarnya tidak begitu jauh kalau ditarik garis lurus ke bawah. Namun, karena medan yang menanjak maka sawah dibuat terasiring, atau berundak-undak.

Jalanan kecil yang membatasi antara satu undakan dengan undakan yang lainnya biasa disebut galengan.

Galengan yang kami lewati lama-lama menjadi licin. Tak ayal, banyak yang jatuh kecebur di sawah.

Mereka tak menangis, melainkan tertawa. Yang lainnya pun menyorakinya. Yang diledeki tak marah, malahan ikutan tertawa lalu bangkit lagi, sambil membawa batu yang diambilnya dari sungai.

Mereka berjalan berbaris dari kali hingga sekolah. Rasa gotong royong telah tumbuh di hati mereka sejak dini.

Usia mengambil batu, mereka memanfaatkannya untuk bermain. Istilahnya "JEGURAN" yaitu bermain air, mereka melompat dari atas batu besar dan terjun ke bawah.

Tentunya tidak semua tempat bisa dipakai untuk terjun. Karena batu-batu kali yang hanya, jika tidak hati-hati bisa terantuk batu tersebut.

Mereka memilih Kedung, yaitu bagian kali yang telah dibendung airnya. Biasanya airnya deras dan lebih dalam dari yang lainnya.

Di desa tidak mengenal kolam renang saat itu. Ya Kedung inilah yang mereka jadikan kolam renang gratis, air yang jernih dan segar.

Disamping kanan kiri terhampar tanaman padi yang menghijau.

Bagi yang tidak ikut jeguran, hanya duduk-duduk di atas batu sambil menunggu baju-baju mereka.

Tak ada kesedihan terpancar dari mata kecil mereka. Bermain dengan alam. Sungguh suasana yang nyaman dan elok. Kini semua tinggal kenangan.

Tak ada lagi batu-batu kali hitam yang besar. Nyaris hilang dari pandangan. Pengrusakan alam dengan dalih mengisi perut menjadi pemicu kerusakan lingkungan. Sungguh sangat disayangkan.

Keindahan sungai dengan hamparan air yang mengalir di antara bebatuan kini telah menghilang.

Siapa yang salah????

Mereka yang berdalih demi pembangunan. Entahlah.

Tantangan Menulis 30 Hari

Day 10

Purwodadi, 8 Juni 2020