Tantangan hari ke-4. Sepenggal Ingatan (1)
Siang itu sepulang sekolah, aku bergegas berganti pakaian untuk segera makan. Hari sangat terik dan aku sudah sangat lapar. Saat sudah selesai berganti, sayup kudengar di kamar sebelah suara tangisan. Oh, itu kamar ayah-ibuku. "Siapa yang menangis?" Batinku. Sepertinya ibu. Jantungku berdegup kencang. Ada apa gerangan ibu menangis? Aku bergerak menuju kamar orangtuaku.
Klek
Pintu kubuka perlahan, kulihat ibu memunggungi pintu, duduk ditepi ranjang kayu. Bahunya naik turun, namun tangisnya terdengar pilu. Kudekati dengan langkah pelan dan berdiri di samping ibu. Menyadari kehadiranku, ibu menghapus air matanya. Ibu menatapku lalu tersenyum. Sebuah senyuman yang dipaksakan.
"Kamu sudah pulang?" Tanya ibu berbasa-basi.
"Sudah, Bu." Sahutku masih menatapnya penuh tanda tanya. Ibu sepertinya menyadarinya. Dia menyentuh lenganku, mengusapnya lembut dan kembali tersenyum. Kulihat matanya kembali berkaca-kaca. Aku duduk di samping ibu
"Kenapa Ibu menangis?" Akhirnya pertanyaan yang sedari tadi ingin kutanyakan keluar juga. Kulihat ibu mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap cuaca yang mulai meredup. Seredup hatinya barangkali. Aku mengikuti arah pandang ibu. Awan yang tadi putih sudah melihat abu-abu. Sebentar lagi akan mendung. Padahal ketika aku tiba di rumah tadi, cuaca masih sangat cerah.
"Ibu tak apa-apa, Nak" satu tangan ibu menggenggam tanganku. "Ibu hanya teringat nenekmu yang baru saja meninggal. Banyak hal yang belum ibu lakukan. Ibu belum sempat membahagiakannya." Kata ibu. Aku berusaha memahami. Remaja sepertiku mana bisa membaca pikiran orang dewasa. Aku saja masih kelas XI. Itu terlalu rumit. Maka kuputuskan untuk memercayai meski sebagian hatiku masih penuh tanda tanya.
Nenek memang baru meninggal sebulan yang lalu. Kisah tentang nenek akan selalu menarik ketika menceritakan jika nenek dulu tidak merestui hubungan ibu dan ayah. Nenek sangat berharap ibu bisa melanjut ke perguruan tinggi menyusul paman. Namun, dengan nekad ibu malah melarikan diri bersama ayah. Istilahnya kawin lari. Ibu dan ayah satu kampung. Begitu waktu bergulir, sedikit demi sedikit nenek menerima ayah, apalagi melihat ketiga cucunya yang menggemaskan. Aku sebagai cucu pertama sangat dekat dengan nenek. Masa kecilku lebih banyak kuhabiskan di rumah nenek daripada di rumahku sendiri.
Ayahku kala itu berasal dari keluarga prasejahtera. Kehidupan sehari-hari hanya mengupah ke ladang-sawah orang. Keunggulan ayah ku saat itu adalah selain pandai bernyanyi dan memainkan gitar, ayah memiliki wajah yang sangat rupawan. Tak heran jika ayah diperebutkan beberapa gadis berdasarkan cerita dari para orangtua yang menjadi saksi hidup ayah ibu. Namun entah malang atau untung, ibulah akhirnya yang menjadi istrinya. Sementara ibuku kala itu berasal dari keluarga terpandang. Kakek nenek dari pihak ibu termasuk orang berada. Saudara-saudara ibu, paman dan tanteku disekolahkan hingga sarjana. Ibu malah memilih nikah muda dan tak mau melanjutkan pendidikan. Semua itu karena cintanya yang begitu besar kepada ayah.
"Kamu sudah makan?" Ibu memecah lamunanku. Aku menggelengkan kepala
"Belum, Bu." Jawabku kemudian
"Makanlah, Nak. Lepas itu kita akan ke ladang, ambil jagung yang sudah bisa di panen." Ujar ibu.
***
Aku baru saja akan turun ke kali untuk mencuci pakaian seperti yang kulakukan setiap akhir pekan ketika kudengar beberapa orang di bawah ditepi kali berbincang. Sesekali kudengar mereka menyebut nama ayah dan seorang perempuan pemilik warung kopi di tempatku. Semakin kudekat semakin jelas perbincangan n mereka terdengar. Disana ada Bu Roma, Bu Lastri, Lena dan Lisna. Mereka begitu asyik bercerita hingga tak menyadari aku sudah dekat.
"Eh.. sudah sering jalan bareng. Minggu lalu kulihat juga dia bonceng Mak Titan itu. Mereka juga pernah kepergok di pasar pegangan tangan." Seseorang yang kukenal Bu Roma mengatakannya
"Hubungan mereka memang bukan hanya baru-baru ini, tapi kudengar sudah 5 tahun. Bayangkan. Kasihan kali Ellis, suaminya selingkuh. Lihat tubuhnya, semakin hari semakin kurus. Kurasa dia tertekan batin." Sahut Bu Lastri. Sedang Lena dan Lisna menimpali sesekali. Lena dan Lisna memang masih gadis, tetapi usia mereka sudah jauh di atasku. Memang berbicara dengan orangtua mereka sudah nyambung.
Kakiku terhenti diujung tangga turun ke kali. Ragu antara meneruskan atau balik pulang. Aku berdiri terpaku dengan perasaan berkecamuk. Ayahku selingkuh. Ayahku selingkuh. Berulang-ulang aku mencerna kalimat itu. Ayah yang kubanggakan, pahlawanku, yang kukagumi karena kepiawaiannya main gitar dan seruling, yang kupamerkan karena kutampananya, selingkuh. Mataku memandang kosong ke depan. Hingga kudengar suara dari belakang menyapaku.
"Tiara?"
"Tiara?" Mataku akhirnya mengerjap. Aku menoleh kebelakakang, kulihat Risma akan turun juga. Kemudian, aku beralih melihat Bu Lastri dan Bu Roma, orang yang sedang mencuci pakaian tadi membalikkan badan terkejut melihatku. Mereka tentu menduga aku sudah mendengar cerita mereka.
Aku tersenyum singkat lalu meneruskan niatku mencuci pakaian, berpura-pura seolah tidak mendengar perbincangan tadi.
"Cucianku banyak. Mungkin akan lama disini." Ujarku memecah keheningan. Namun tak ada sahutan dari mereka.
"Gimana denganmu, Ris?" Aku melirik Risma yang sedang sibuk mengucek cuciannya.
"Tidak begitu banyak sih, tapi tenang saja, Ra, nanti kita pulang sama-sama."
"Tiara," kudengar Bu Roma menyebut namaku. Aku menoleh.
"Iya, Bi..."
"Apapun yang kamu dengar tadi, kami minta maaf ya," kata Bu Roma. Aku tersenyum. Malu sebenarnya. Ayahku seorang tukang selingkuh.
"Kami sarankan tetap hibur ibumu, Ra. Kasihan ibumu tertekan seperti itu. Ibu tertekan batin karena ulah ayahmu." Kata Bu Lastri.
Aku terdiam.
Bersambung......
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar