Mirna (19)
Bunyi kodok bersahut-sahutan menyambut turunnya hujan tadi malam. Sampai pagi masih ada yang berbunyi. Barangkali dia kerajinan atau kesiangan. Biarlah yang penting dia sudah menunjukkan keberadaannya dan loyalitasnya akan suatu tugas yang dia emban.
Eee kok ngomong kodok sih, enggak nyambung kali pagi-pagi ngomong kodok. Iya, meskipun tidak nyambung tapi anggap lah itu intro tulisan ini yang akan bercerita tentang sebagian emak-emak dengan rasa bahagia dan sebagian di landa galau.
Masih ingat kah dulu ada cerita tentang Mirna , kisah seorang pedagang kecil yang berusaha mencari tempat tinggal yang nyaman untuk anak-anaknya. Meskipun lokasinya sangat jauh dari kota dengan akses jalan yang memprihatinkan. Tapi dia tetap bahagia. Kesederhanaan yang terkadang jadi cemoohan tidak dia pedulikan. Yang penting dia berusaha menyelamatkan anak-anaknya dari rayuan syaitan masa kini.
Bunyi kodok itu seakan menertawai Mirna ketika hujan lebat sudah menguyur tempat tinggalnya. Hujan semalam cukup menciptakan lautan lumpur sepanjang 470 meter di jalan yang biasa dia tempuh keluar masuk perumahan. Mengantar anak pulang pergi sekolah, habis tu berjualan mencari segenggam rupiah.
Penuh perjuangan dia membawa sepeda motor untuk selamat sampai di ujung jalan yang beraspal. Berusaha menghindari cipratan lumpur agar tidak mengenai baju. Merah putih yang berkibar diseragam anak-anaknya.
Wah perjuangan yang dilematis agar anak yang di gendongan dan yang dibonceng di belakang aman sampai tujuan.
Tempat tinggal yang nyaman dan asri itu, dikelilingi kebun sayur yang tumbuh subur, jauh dari kebisingan kota, jauh dari pergaulan remaja yang tidak baik ternyata tidak akan bertahan lama.
Pernah sebelumnya diceritakan kalau tempat tinggalnya di sebuah komplek perumahan itu menjadi target pembangunan jalan tol trans Sumatera. Dengan peta yang ditunjukkan akan menghantam rumahnya.
Hikmah atau kah sebaliknya. Karena isu dan iming-iming ganti kerugian membuat mata tak lelap tidur malam. Proses yang panjang dan berbelit membuat posisi Mirna menggantung di awan.
Seminggu, dua minggu prosesnya masih mengambang. Di hiasi isu di sana-sini yang membuat masalahnya belum juga terselesaikan.
Bulan berganti bulan, sekarang sudah masuk hitungan tahun tapi semua masih serba menggantung. Dan perjuangan Mirna masih panjang. Diantara ribuan cita-cita dan harapan.
Hidup Mirna harus terus berjalan, meski di pelupuk matanya tersimpan banyak harapan untuk hidup yang lebih mapan dari uang ganti rugi yang dijanjikan.
“Mohon maaf Bapak ibuk, ada kemungkinan jalur/ trace akan melintasi tower tegangan tinggi (sutet) dan ada beberapa orang yang tidak setuju, dan berkemungkinan membutuhkan waktu yang agak lama. Mohon bersabar”, pesan singkat itu membuat detak jantung Mirna tidak karuan setelah sekian lama dalam penantian panjang.
Akankah pemerintah akan betul-betul memperhatikan nasib Mirna pedagang asongan. Diantara gemuruhnya kepentingan dan keangkuhan pemangku jabatan. Yang mana nasib Wong cilik seringkali di abaikan oleh hasrat dunia segelintir orang yang haus uang dan jabatan.
Semoga Mirna adalah salah satu sosok diantara banyak sosok lain yang beruntung. Mengejar impian dan menatap masa depan yang gemilang.
Bersambung....
Pekanbaru, 19-01-2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ceritanya, Bunda. Salam literasi