Intan irawati

Intan Irawati, mengajar sejak tahun 2001. Mulai menulis artikel ilmiah dan populer sejak tahun 2008. Menempuh pendidikan S-1 UNJ jurusan pendididikan fisika dan...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEKOLAH UNTUK AJI

SEKOLAH UNTUK AJI

Sore menjelang maghrib, Dini sedang asyik di dapur memasak sayur bayam kesukaan putranya Aji. Aji yang berusia 6 tahun sibuk bermain lego di ruang tengah bersama Ati adiknya yang baru bisa berjalan. Mereka asyik sekali bermain, tertawa dan saling menggoda dalam menyusun lego mereka.

Tiba-tiba Dini teringat sesuatu. “Ya, ampun… besok tanggal berapa, ya?”

Mata Dini segera diarahkan ke kalender yang tergantung dinding dapur. Matanya membulat melihat tanggal hari ini yang menunjukkan 21 Januari. Dini menepuk dahinya, dan tergesa mematikan kompor, menuju kamar dan mencari brosur Penerimaan siswa baru sebuah SD swasta dekat rumahnya. Dini membolak balik tumpukan kertas di atas meja kerja suaminya dan akhirnya apa yang dicarinya ketemu.

Dibacanya lamat-lamat tanggal pengambilan, pengembalian formulir, dan tanggal tes.

“Alhamdulillah…” Dini menarik nafas lega. “Masih ada waktu dua hari lagi untuk mengambil formulir,” senyum tipis tersungging di bibir Dini.

Ya, dia adalah satu dari orang tua yang akan mendaftarkan anaknya ke SD. Sebelumnya Dini sudah survei ke beberapa sekolah serta melakukan dialog dengan beberapa sahabat. Itulah sebabnya, Dini memutuskan akan mendaftarkan anaknya ke SD swasta terdekat dari rumahnya.

Dini kembali ke dapur dan mempersiapkan kembali masakannya. Tak lama, adzan magrib berkumandang. Aji menghentikan permainannya dan segera berwudhu mengikuti jejak ayahnya yang sudah selesai berwudhu. Mereka akan ke masjid untuk menunaikan salat Magrib berjama’ah. Ati kembali menangis seperti biasa karena akan ditinggal ayah dan kakaknya. Dengan sigap, Dini menggendong Ati dan segera mengajaknya salat.

Aji dan ayahnya biasa di masjid hingga ‘Isya. Joko, ayah Aji mengajarkan beberapa anak tetangga mengaji selesai magrib. Sambil menunggu kepulangan mereka, Dini mulai menyuapi Ati sambil mengajaknya mengobrol dan bercanda.

Selesai ‘Isya, mereka mulai makan malam sambil bercengkerama. Saat itulah Dini kembali bertanya pada Aji tentang kesiapannya bersekolah.

“Mas Aji sekarang sudah TK B, ya. Tahun ajaran besok, Mas Aji sudah siap masuk SD belum ?” Dini memulai percakapannya.

“Iya, Mas Aji sudah besar nih, sudah mulai lancar membaca Iqra’nya, Ummi, “ sahut Joko memotivasi.

“Ehm…” sambil mengunyah makanan, Aji tersenyum

“Ummi, Abi, Aji mau sekolah bareng teman-teman Aji di SDN 01. Boleh, kan ?” jawab Aji.

“Bukankah kemarin Mas Aji sudah Ummi dan Abi ajak ke SD Yasmin yang dekat rumah itu?”, Dini menyelidik.

“Mas Aji senang, kan, melihat halamannya yang luas dan perpustakaannya yang lengkap ? Beberapa gurunya juga sudah Mas Aji sapa kemarin …”

“Iya, tapi Aji enggak punya teman di sana…” Aji menghentikan makannya, wajahnya sedih dan bibirnya mulai cemberut.

“Habiskan makannya dulu, Nak, “ Joko membujuk anaknya.

Ati yang sudah makan bermain boneka di atas kursi makan dengan lucu. Walaupun Dini kecewa mendengar jawaban Aji, tetapi ia masih tersenyum melihat tingkah polah Ati.

“Kita bobo yuk !” ajak Dini kepada Ati.

“Mas Aji selesaikan makannya dengan Abi ya, Ummi ke kamar dulu.”

Dini menidurkan Ati dengan menyenandungkan shalawat. Pikirannya mulai mengingat beberapa percakapan tentang memilih sekolah.

Kiki sahabatnya bercerita ,“Bulan November kemarin, saya baru dapat kabar bahwa SD Al Hikam telah melakukan seleksi siswa baru di bulan Oktober ! Jelas saya terlambat. Mau di mana anak saya bersekolah, ya?”

“Oh, berarti sama dengan SD Bintang. Sekolah itu sudah mengumumkan nama siswa-siswa yang diterima pada bulan Desember. Ada 100 anak yang diterima dan ada 25 anak yang dinyatakan sebagai cadangan!” Eri ikut bercerita.

“Saya juga sudah survey ke SD Ceria, no anak saya adalah 153. Sedangkan formulir hanya akan dijual 175 dan siswa yang diterima adalah 150. Padahal sekarang baru Januari, kan? Tahun ajaran baru, kan masih lama, ya?” tambahnya.

Dini hanya tersenyum kecut mendengar percakapan itu. Sebenarnya hatinya jadi resah mendengar kabar tentang sulitnya memilihkan sekolah untuk anak. Dan ternyata benar. Anaknya menginginkan sekolah yang bukan pilihan orang tua. Dini menarik nafas dalam-dalam, mengatupkan mata dan berdo’a dalam hati agar Allah memudahkannya memberi pendidikan terbaik untuk buah hati mereka.

Jam di ruang tengah menunjukkan pukul 9. Malam semakin larut, Aji dan Ati sudah tertidur pulas. Dini dan Joko mulai bersiap tidur.

“Bi, bagaimana dengan Aji ?” tanya Dini kepada suaminya yang tampak mulai akan terlelap. Joko kembali membuka matanya, badannya digeser menatap wajah istrinya yang cemas.

“Tenang Ummi, besok Aji kita bujuk lagi, ya,” Joko menenangkan istrinya.

“Tapi pendaftaran akan segera ditutup di SD Yasmin, Bi.”

“Ya, memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak memang tugas kita sebagai orang tua. Tapi jangan sampai kita memilih sekolah yang salah, Mi. Sekolah kan, mitra kita dalam mendidik anak-anak.”

“Ya, Ummi tahu. Terus Abi maunya Aji di sekolahkan di mana?”

“Coba Ummi ingat kembali, apa alasan Ummi memilih SD Yasmin.?” Joko balik bertanya

“Ya, sekolahnya bagus, dekat dengan rumah dan kita kenal guru-gurunya, Bi. Memang Abi, enggak setuju?”

“Setuju. Tapi Aji itu baru 6 tahun. Tentu saja dia memilih sekolah yang banyak temannya.”

“Memang tidak ada SD lain yang dekat sini, Mi? Kesiapan mental anak untuk sekolah sangat penting, loh, untuk keberhasilan pendidikannya kelak !” Joko menjawab dengan mata setengah tertutup.

“Aah, Abi ini diajak diskusi malah tidur. Terus bagaimana dong?” Dini mulai merajuk, tak sabar melihat respon suaminya.

Joko kembali membalik badannya, melihat dahi istrinya yang mulai berkerut tanda berpikir keras.

“Tenang, sayang. Abi akan konsultasikan dengan Allah dulu. Abi perlu istikharah untuk memilih sekolah yang cocok untuk putera kita. Apakah Ummi siap home schooling buat Aji ?”

Dini menggelengkan kepalanya. “Ati bagaimana? Siapa yang pegang, kalau Aji home schooling ?”.

“Kita ajak lagi Aji ke SD Yasmin, Mi. Juga ke SDN 01 yang dipilihnya. Kita beri pengertian pelan-pelan. Pasti Aji, mau ikut kita, ya !” Joko membujuk isterinya.

“Kita bobo yuk, Mi. Nanti jam 3 kita tahajud dan istikharah kepada Allah.”

Dini menganggukkan kepala, meletakkan kepalanya di atas bantal, memejamkan matanya dan berdo’a :

"Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Aamiin

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post