Seorang teman bertanya, “Mana yang lebih baik, mencintai atau dicintai?” Bagi saya, keduanya tak ada pilihan. Mencintai adalah tentang persembahan seluruh hati dan perasaan, mengabdikan diri dalam keikhlasan atas nama cinta. Sementara dicintai adalah tentang kebebasan hati menerima seluruh hati dan perasaan seseorang (lain), melegakan diri dalam keikhlasan atas nama cinta seseorang (lain). Mungkin ini hanya sekedar kata “cinta” yang tak sedemikian luar biasa untuk terlalu kita agung-agungkan. Tetapi cinta adalah akar dari kebertahanan sebuah ikatan, niatan bersama sehidup semati hingga maut memisahkan. Mungkin, cinta bisa kita ciptakan. Tapi, seberapa lama kita bertahan dalam cinta “buatan” pabila faktanya impack dari usaha kita hanya sebatas sunggingan senyum atau rengkuhan pelukan. Ingat! Yang kita bicarakan adalah waktu. Waktu yang tak pernah menunggu. Dia akan terus berlari, tak peduli kita masih berfikir atau sehanya menghela nafas. Mencintai tanpa dicintai, rasanya akan seperti sampah dalam kesia-siaan. Berjuang sendirian dalam kokohnya pondasi cinta tanpa sokongan yang seimbang. Akan menjadi apa di saat harapan hanya sebatas larik indah tanpa makna? Pun dicintai tanpa mencintai. Tidakkah jua sama? Membelenggukan diri dalam lingkaran tak berujung, bertaburan kasih sayang tetapi kita tak merasa berdiri nampak di sana. Akan menyisakan apa di saat hati berontak tetapi ada kungkungan tak kasat yang menahan kita untuk tetap tinggal? Jadi masihkah bertanya mana yang lebih baik, mencintai atau dicintai? Dan masihkah ragu dalam pijakan, pada sisi mana kita melayakkan diri.. Gunung Padang, 27 Agustus 2017