Belajar Matematika, Itu Asyik!
Anak saya yang kedua ini baru duduk dikelas 3 sekolah dasar. Sepertinya tidak ada masalah dengan belajarnya, dan selalu gembira saat berangkat dan pulang sekolah. Akan tetapi, suatu saat wali kelasnya memberi kabar melalui pesan watshapnya.
“Bapak, anak Bapak sepertinya tertinggal pelajaran matematika, tentang operasi bilangan,” terang guru kelas 3 melalui pesan watshap.
“Baik bu, terimakasih informasinya, saya coba untuk banyak latihan dirumah.” Begitu jawabku. Sekarang era canggih jika ada masalah dengan anak, informasi bisa langsung disampaikan dengan mudah dan cepat.
Saya langsung croscek pelajaran matematika anakku kelas 3. Pesan Ibu Guru walikelas segara saya tindaklanjuti, sekaligus ada rasa penasaran. Bada magrib setelah tadarus Al-quran, mulailah belajar pelajaran sekolah.
“Nak, 3 + 4 berapa?” tanyaku penasaran.
“ Gak tau Abi,” jawabnya dengan polos.
“Ayo coba dihitung, biasanya bagaimana menghitungnya,” aku mendesak penasaran, karena ini pertanyaan yang mudah bagi anak kelas 3, seharusnya dijawab dengan mudah.
“Lima Abi,” jawabnya dengan ragu.
“Lah, kok kurang tepak,” aku mulai mengeraskan suara, sebab saya heran kenapa kok salah.
“Gak taulah Bi,” jawab anakku, sepertinya sudah pasrah dan menyerah.
Sebagai orang tua juga sekaligus guru, dalam hati saya bertanya-tanya ada apa gerakan dengan anakku. Apakah anakku tergolong anak yang jauh tertinggal, tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah, apakah anakku termasuk anak yang “bodoh” sehingga sudah kelas tiga penjumlahan sederhana saja tidak mampu.
Sejarus kemudian saya coba putar otak. Saya ambil beberapa pazel, permainan yang biasa digunakan untuk membuat susunan rumah-rumahan dan yang bisa dibuat sesuai imajinasi anak.
“Coba sekarang perhatikan Abi contohkan, ambil pazel itu tiga, setelah itu ambil lagi empat jadikan satu. Hitung semua pazelnya jadi berapa?” Saya coba memahamkan penjumlahan secara nyata melalui benda.
“Tujuh Abi!” dijawab dengan lantang, setelah dihitung sebanyak dua kali dan yakin dengan jawabannya.
“Oke, benar,” jawabku, dengan perasaan agak sedikit lega mendengar jawaban anak putriku yang kedua ini.
Saya coba berkali-kali mengajukan pertanyaan penjumlahan, pengurangan dan bahkan perkalian dengan bantuan media pazel. Ternyata dengan mudah dapat dijawab dengan cepat dan tepat. Media pazel sangat mambantu mempermudah untuk memahami bentuk-bentuk operasi bilangan.
“Bagaimana sekarang, susah gak belajar matematika?” tanyaku, berharap ada tanggapan.
“Enak Bi, mudah dan asyik ternyata. Enaknya belajar sama Abi saja!” menjawab ternyataanku dengan polosnya.
Ternyata butuh media pembelajaran untuk memudahkan belajar matematika, mungkin guru di sekolah kurang memanfaatkan media pembelajaran agar anak dapat lebih mudah memahami pelajaranmi, apalagi pelajaran matematika. Matematika membutuhkan hal-hal yang riil (tidak abstrak), sesuai perkembangannya. Anak usia sekolah dasar, dalam usia perkembangannya masih berfikir kongrit, dan belum mampu berfikir abstrak.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ini saya sukak, Pak. Saya pernah praktikan pada anak saya juga. Tapi saat itu saya pakai alat peraga habis pakai, itu lo makanan kesukaannya. Jadi, setiap selesai belajar langsung habis dimakan he he he . Tulisan Bapak ini siip!
Setuju pak..data juga guru matematika....salam kenal bapak
Salam kenal kembali, ibu Dyahni...
Terimakasih pak, masih pemula, perlu banyak belajar menulis.
Betul Pak...