Pelajaran dari Film 'Tilik'
Film berjudul “Tilik” yang ternyata diproduksi tahun 2018, akhir-akhir ini sedang menjadi perbincangan diberbagai media sosial, mungkin juga diberbagai tempat-tempat kerja. Film yang mengambil seting di Jogja ini, selain memang isi ceritanya yang mengambarkan budaya masyarakat Jogja, tetapi ternyata film ini juga tidak kalah lucu dengan film-film komedi lainnya. Bagi kalian yang belum menonton, alangkah baiknya sebelum meneruskan untuk membaca tulisan saya ini, silakan luangkan waktu 30 menit untuk menontonnya. Saya yakin, kalian tidak hanya akan gemes dan terbawa emosi dengan karakter Bu Tejo dalam film tersebut, mungkin kalian juga akan membayangkan seseorang yang entah itu siapa? tetangga atau teman kerja yang memang karakternya kok persis “plek” dengan Bu Tejo. Bu Tejo ini adalah cerminan orang-orang yang memang pasti ada di sekitar kita. Bu Tejo ini sebagai pemancing untuk berkumpulnya ibu-ibu rumah tangga dalam melepaskan penatnya tatkala sedang disibukan dengan berbagai urusan pekerjaan rumahnya. Tak bisa dipungkiri, ketika ibu-ibu rumah tangga sedang lelah dengan pekerjaan rumahnya, mereka akan mencari teman curhat yang awalnya akan bercerita tentang kondisi keluarganya, tetapi kemudian muncul ide untuk “ngrasani” orang lain. Hal yang sepertinya sudah menjadi sesuatu yang wajib karena "ngrasani" dirasa sebagai bumbu agar betah dalam sebuah obrolan.
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari film “Tilik” tersebut. Apa itu?
Tunggu situasi yang tepat
Kita tidak bisa menyalahkan seratus persen kepada Bu Tejo atas situasi perghibahan di atas truknya Gotrek ketika mereka hendak menjenguk bu Lurah di rumah sakit. Salah besar kalau menuduh terjadinya perghibahan di atas truknya Gotrek itu yang memulai adalah bu Tejo. Semua ghibahan tentang si Dian yang renyah dan gurih itu justru diawali oleh Yu Sam. Ya... Yu Sam, ibu-ibu berjilbab merah marun yang dengan “makcletuk” memulai pembicaraan dengan melontarkan pertanyaan kepada Bu Tejo.
“Fikri ki karo Dian opo bener sesambungan to, Bu?”
Duarrrrr!!!
Seperti orang bertamu dengan situasi perut yang sedang lapar-laparnya dan disuruh oleh pemilik rumah untuk menyantap hidangan yang sudah tersaji, Bu Tejo yang mendengar pertanyaan tersebut langsung memberikan jawaban dengan goal dialog yang jadi alasan kenapa film “Tilik” tersebut layak untuk ditonton. Diawali dari pertanyaan Yu Sum yang penasaran (mungkin tidak sepenuhnya pertanyaan penasaran juga, tapi hanya merupakan pertanyaan pancingan), akhirnya truknya si Gotrek menjadi saksi bisu atas ghibah yang penuh hikmah melebihi pengajian Ibu-ibu Seloso Kliwonan.
Apa yang kita bisa ambil dari poin tersebut?
Cak Lontong pernah berkata “sukses itu perencanaan yang matang dan bertemu dengan situasi yang tepat”. Saya pikir apa yang dikatakan Cak Lontong ini memang benar, apapun perencanaan matang, kalau memang belum bertemu dengan situasi yang tepat, maka tak heran kalau hasilnya tidak memuaskan. Dalam hal ini Bu Tejo sangat pandai menunggu waktu yang tepat untuk memulai menghibahi si Dian. Suasana naik truk yang pasti sangat melelahkan dan membosankan karena harus berdiri, dengan adanya ghibah, maka suasana tersebut berubah menjadi suasana yang asyik dan menarik. Menghibahi si Dian pun akhirnya sukses.
Akhiri pernyataan dengan sebuah pertanyaan
Hampir setiap celetukannya Bu Tejo saat menghibahi si Dian itu adalah pernyataan-pernyataan yang sulit dibantah. Bu Tejo selalu memberikan penyataan-pernyataan dengan disertai data-data yang valid. Hal inilah yang membuat semua ibu-ibu yang sedang berada di atas truknya Gotrek tersebut mudah untuk terpengaruh. Bu Tejo selalu memberikan pertanyaan disetiap akhir celetukan-celutukannya. Pertanyaan yang digunakan sebagai penutup celetukan ini juga sangat spesifik, dimana hanya ada dua alternatif pilihan jawaban, yaitu “ya” atau “tidak”. Jawaban dari pertanyaan itu pun selalu diarahkan oleh Bu Tejo agar ibu-ibu yang lain menjawab “iya”. Hal tersebut kemudian dijadikan sebuah pembenaran bagi Bu Tejo bahwa celetukannya makin valid karena di”iya”in oleh ibu-ibu lain.
Contoh dialog Bu Tejo dalam hal tersebut;
“Nembe nyambut gawe. Handphone anyar, motor anyar. Ho’o ra?”
“Kuwi ki nek ra mergo muntah meteng, ngopo kok ndadak nginggati aku? Yo ra?”
Apa yang kita bisa ambil dari poin tersebut?
Dalam berkomunikasi dengan orang lain, memang diperlukan cara agar senantiasa komunikasi kita hidup. Memberikan pertanyaan yang jawabnya hanya “ya atau tidak” pada setiap akhir pernyataan, menurut saya itu salah satu alternatif cara membantu komunikasi kita agar dapat bertahan lama. Mari kita bayangkan, ketika kita berkomunikasi dengan orang lain dan tidak dibumbui dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan, bisa jadi lawan bicara kita akan diam, tidak merespon, merasa bosan, atau malah lawan bicara kita akan merasa ngantuk kalau memang apa yang kita bicarakan itu ternyata sesuatu hal yang tidak menarik baginya.
Posisi menentukan prestasi
Bu Tejo memilih berdiri di bak truk bagian depan tengah. Ia lebih memilih pegangan pada tali daripada pegangan kayu bak truk sebelah sisi kanan maupun kiri. Padahal kalau dipikir-pikir pegangan kayu bak truk akan lebih nyaman dan kuat daripada pegangan tali ketika truk tersebut sedang berjalan, terlebih jalannya goyang-goyang. Ternyata ini bukan tanpa alasan kenapa Bu Tejo memilih untuk berdiri di tengah-tengah bak truk, ya tentunya dengan ia memilih berdiri di tengah-tengah bak truk, ia akan menjadikan pusat perhatian semua. Apapun itu celutakan bu Tejo, maka akan jelas terdengar oleh ibu-ibu lain yang ada di sisi kanan maupun sisi kiri bak truk. Sebuah pemilihan posisi yang sangat pintar bukan?
Apa yang kita bisa ambil dari poin tersebut?
Bayangkan ketika kita bicara di depan banyak orang, tetapi posisi kita tidak tepat, bisa jadi suara kita tidak menjangkau ke orang-orang tersebut. Apa yang kita sampaikan akan percuma, karena mungkin tidak terdengar dengan jelas. Disinilah poin pentingnya sebuah posisi menentukan prestasi. Sebagai contoh lain, seorang siswa akan lebih jelas mendengarkan penjelasan guru ataupun melihat tulisan di papan tulis, ketika ia duduknya paling depan dan berada di tengah-tengah.
Harus solutif
Setelah sampai di rumah sakit dan ternyata Bu Lurah belum bisa dijenguk karena masih di ruang ICU, rombongan ibu-ibu tersebut merasa kecewa. Bu Tejo yang paham dengan kekecewaan ibu-ibu tersebut, akhirnya memberi saran yang menurut saya pasti disukai oleh hampir semua kaum ibu-ibu, yakni…
…mampir pasar!!!
Ya..sebuah solusi yang lekat dengan hobi ibu-ibu bukan? Pergi ke pasar mau beli apa itu urusan nanti, yang penting sampai pasar dulu. Urusan barang-barang yang sudah dibeli ternyata tidak terpakai di rumah itu tidak masalah. Yang penting beli barang yang sekiranya murah dan tentunya bisa ditawar seenaknya.
Apa yang kita bisa ambil dari poin tersebut?
Memberikan solusi itu memang susah-susah gampang, kadang sekali nyletuk menawarkan solusi, bisa saja langsung diterima. Tetapi juga terkadang apa yang sudah kita pikirkan matang-matang untuk sebuah solusi, ternyata masih saja belum bisa diterima orang lain. Setidaknya ada keberanian untuk mencoba menawarkan sebuah solusi terhadap permasalahan adalah hal yang patut untuk diapresiasi. Dengan kata lain, mari biasakan berani untuk mencoba memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang kita hadapi.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ulasannya komplit plit...pak Imam mmg keren.
Betul sekali pak,ada banyak pelajaran yg bisa diambil dr film pendek ini
Solutif. Satu kata yang juga berkesan dalam TILIK. Top Pak.