Takdir Cinta di Grand Bazaar (20) Kumpulan Cerpen Rembulan di Atas Hagia Sophia
Takdir Cinta di Grand Bazaar (20)
Sarah, mahasiswi semester akhir jurusan sastra Indonesia, berdiri terpana di tengah hiruk pikuk Grand Bazaar. Cahaya matahari sore menyelinap melalui kubah-kubah megah, menyinari labirin lorong yang dipenuhi aneka barang antik, karpet Persia yang lembut, dan rempah-rempah harum. Ia sedang mencari oleh-oleh khas Turki untuk keluarganya di Indonesia, namun yang ia temukan justru lebih dari sekadar benda mati.
Ia tengah larut dalam labirin Pasar Grand Bazaar. Harum rempah dan kulit menguar, membuai indranya. Ia tengah mencari oleh-oleh khas Turki untuk keluarga di rumah.
Di sudut sebuah toko kecil, Sarah bertemu dengan seorang pemuda Turki.
“Assalamualaikum,” sapa seorang pemuda. “Sedang mencari sesuatu yang istimewa?”
Sarah tersentak. “Waalaikumsalam. Iya, saya mencari karpet tangan Turki yang bagus. Tapi jujur saja, saya bingung sekali.”
Pemuda itu tersenyum ramah. “Nama saya Emir. Memilih karpet memang membutuhkan ketelitian. Mari saya bantu.”
Emir dengan sabar menjelaskan berbagai jenis karpet, dari segi bahan, motif, hingga kualitas. Sarah kagum dengan pengetahuannya yang luas. Mereka berkeliling dari satu toko ke toko lain, berdiskusi tentang sejarah dan budaya yang terukir dalam setiap helai benang karpet.
"Oleh-oleh dari Turki tidak hanya karpet, masih banyak yang lainnya. Seperi ini, teko kopi Turki," kata Emir sambil menunjukkan sebuah teko kecil yang terbuat dari tembaga. "Orang Turki sangat menyukai kopi. Mereka percaya bahwa kopi adalah minuman yang bisa membuka pikiran dan hati."
Sarah tersenyum. "Aku akan membawakannya untuk ibuku. Beliau sangat suka kopi."
Pertemuan mereka berlanjut setiap hari. Emir mengajak Sarah menjelajahi setiap sudut Istanbul, dari Masjid Biru yang megah hingga Istana Topkapi yang penuh sejarah. Mereka berdiskusi tentang sastra, filsafat, dan cinta. Sarah merasa seperti menemukan belahan jiwanya.
Hari demi hari, pertemuan mereka semakin sering. Emir bukan hanya panduan yang baik, tapi juga teman yang menyenangkan. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi setiap sudut Istanbul, dari Masjid Biru yang megah hingga kafe-kafe kecil di tepi Bosporus.
Emir dan Sarah duduk di sebuah kafe di tepi bosporus, memandangi siluet Masjid Biru yang indah saat matahari terbenam.
Emir: "Cobalah baklava ini, Sarah. Ini adalah salah satu kue tradisional favoritku. Rasanya manis dan gurih."
Sarah: "Wah, rasanya lezat sekali! Aku belum pernah merasakan baklava seenak ini."
Emir: "Senang kamu suka. Baklava sering disajikan pada acara-acara khusus, seperti perayaan pernikahan atau festival."
Sarah: "Aku masih tak percaya betapa beruntungnya aku bisa bertemu denganmu, Emir. Setiap hari bersamamu terasa seperti mimpi."
Emir tersenyum: "Aku juga merasa sangat beruntung, Sarah. Kau membawa warna baru dalam hidupku."
Sarah: "Ingatkah kau saat kita pertama kali bertemu di Grand Bazaar? Aku begitu gugup, tapi kau membuatku merasa nyaman."
Emir: "Tentu saja. Matamu bersinar saat melihat semua keindahan di sekitarmu. Aku tahu saat itu juga, kau adalah wanita istimewa."
Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana.
Sarah: "Aku sangat menikmati diskusi kita tentang sastra dan filsafat. Kau membuatku berpikir lebih dalam tentang hidup."
Emir: "Begitu juga denganmu. Kau menginspirasiku untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda."
Sarah: "Aku merasa seperti menemukan belahan jiwaku bersamamu, Emir."
Emir menggenggam tangan Sarah.
Emir: "Aku merasa hal yang sama, Sarah. Aku ingin kita selalu bersama."
Beberapa hari kemudian, mereka sedang berjalan-jalan di Istana Topkapi
Sarah: "Istana ini begitu megah. Aku bisa membayangkan bagaimana kehidupan di sini dulu."
Emir: "Aku pernah membayangkan kita tinggal di sini bersama. Kita bisa menjelajahi setiap sudut istana setiap hari."
Sarah tertawa: "Itu akan menjadi mimpi yang indah."
Mereka terus berjalan, menikmati keindahan istana. Tiba-tiba, Emir berhenti dan menatap Sarah.
Emir: "Sarah, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu..."
Emir terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian.
Emir: "Aku sangat mencintaimu."
Sarah tertegun. Jantungnya berdebar kencang.
Sarah: "Aku juga mencintaimu, Emir."
Suatu hari, Emir mengajak Sarah ke sebuah tempat yang spesial baginya. Sebuah perpustakaan tua yang penuh dengan buku-buku kuno. Terdengar musik sufi, mengalun indah menenangkan hati. Liriknya berupa ungkapan cinta kepada Sang Pencipta, dan nasihat-nasihat spiritual. Ketika mendengarnya kita seperti melakukan sebuah perjalanan spiritual yang menggabungkan keindahan suara, kata-kata, dan gerakan untuk membawa pendengarnya lebih dekat kepada Tuhan.
Di sana, Emir menunjukkan sebuah buku tua yang berisi puisi-puisi cinta karya penyair Persia.
“Ini adalah puisi favoritku,” kata Emir sambil membacakan salah satu puisi tersebut. “Aku selalu merasa bahwa cinta sejati dapat mengatasi segala rintangan.”
Hati Sarah tersentuh. Ia menyadari bahwa cinta yang ia rasakan kepada Emir adalah sesuatu yang sangat berarti. Namun, takdir berkata lain. Emir ternyata memiliki rahasia yang besar. Ia adalah pewaris sebuah perusahaan keluarga yang sangat besar dan harus segera kembali ke kotanya untuk mengurus bisnis keluarga.
“Aku sangat mencintaimu, Sarah,” ujar Emir dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku tidak bisa egois. Aku harus bertanggung jawab atas keluarga dan perusahaanku.”
Emir ternyata memiliki rahasia yang besar. Ia adalah seorang keturunan keluarga kaya yang diatur pertunangannya dengan seorang gadis pilihan keluarganya.
Hati Sarah hancur. Ia tidak menyangka cinta mereka akan berakhir seperti ini. Namun, ia tidak ingin memaksa Emir untuk memilih antara dirinya dan keluarganya. Jika ini memang takdir cintanya, ia serahkan semua kepada Tuhan sang pemilik rasa cinta.
Beberapa hari kemudian, Sarah memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Di bandara, ia bertemu dengan Emir untuk terakhir kalinya. Mereka berpelukan erat, air mata membasahi pipi mereka.
"Jangan pernah melupakan aku, Sarah," bisik Emir.
"Aku tidak akan pernah melupakanmu," jawab Sarah.
Kembali ke Indonesia, Sarah merasa hampa. Ia mencoba untuk melupakan Emir, namun bayangannya selalu menghantuinya. Suatu hari, ia menerima sebuah surat dari Emir. Dalam surat itu, Emir mengatakan bahwa ia telah memutuskan untuk mengikuti hatinya. Ia memutuskan untuk menolak pertunangannya dan akan menyusul Sarah ke Indonesia.
Sarah sangat bahagia membaca surat itu. Ia tidak menyangka cinta mereka akan sekuat ini. Beberapa bulan kemudian, Emir tiba di Indonesia. Mereka menikah dengan sederhana dan hidup bahagia bersama.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mohon saran dan kritiknya.
Mantap ceritanya, Bu.