CALO (Pentigraf 113)

Oleh I Ketut Widiastawa

T576#H17

Para pengembang telah menyerbu desa kami. Tanah tegalan, tanah kebun, tanah sawah, tanah warisan, bahkan tanah laba pura jadi sasaran. Bukan tanah produktif saja yang jadi sasaran. Tapi juga tanah milik umum, yaitu tanah aset pura juga jadi bidikannya. Anehnya, semua dibuat tak berkutik. Bila Pan Pocol bergerak, korban akan berjatuhan. Pemilik tanah yang awalnya tegas tak akan menjual tanah pun dibuat tunduk. Saat ini aku mulai takut. Ketakutanku bukan tanpa alasan. Putu Jaya, tetanggaku yang terkenal garang mempertahankan tanah warisan, kini telah bertekuk lutut. Tanah sawahnya yang berjejer di pinggir jalan raya telah dicaplok pengembang. Usut punya usut, semua kesuksesan menaklukan tetanggaku berkat kecerdikan Pan Pocol, calo tanah berbakat. Pagi ini, secangkir kopi luak hangatkan tubuhku. Anak tertuaku memang rajin membuatkan aku kopi. Saat sedang asyik menyeruput kopi, datang Pan Pocol. Tanpa basa-basi dia langsung menyampaikan tujuannya. Demi kemajuan desa dia berjuang menggandeng pengembang, begitu awal pembicaraannnya. Aku dengarkan semua kata-katanya. Lalu dia mendesakku, "Mang, jual aja tanah sawahmu!"

Bangli, 3 Februari 2022