KESETIAAN YANG PAHIT
Seperti biasa aku terseok menyusuri gang sempit menuju petak kontrakan. Sudah terbayang wajah anak kembarku menunggu jiwa dan raga lelahku. Ya Allah, seharian ini aku hanya bisa membawa pulang uang lima belas ribu rupiah; Bu Wati belum bisa membayar tenagaku untuk baju yang sudah aku cuci dan setrika karena suaminya belum pulang dari luar kota.
“Maaf ya Bi Ening saya belum bisa ngasih bayaran buat cuciannya. Suami saya belum pulang dari luar kota” Bu Wati berkata sambil tersenyum padaku kemudian membuka kotak sepatu yang baru dibelinya. Masih ada label harga tertulis disitu yang jelas tertangkap mataku, Rp 225.000!
Aku menelan ludah. Bu Wati yang cantik, pekerja kantoran, istri seorang kolonel, berbelanja sepatu hari ini dua ratus ribu lebih tetapi enggan membayar sepuluh ribu rupiah yang sudah menjadi hakku. Aaahh, sesaknya dadaku! Aku tersenyum dan segera menunduk menahan air mata yang sudah mulai mengembang.
“Saya permisi kalau begitu bu. Assalaamu’alaikum.” “Ya Bi Ening besok lagi aja ya kesininya” ucap bu Wati sambil terus mematut diri dengan sepatu barunya.
“Ayo Ening, Tidak ada waktu untuk menangis. Kamu harus kuat! Tiga tahun kesedihan dan kemalangan sudah cukup membuat air matamu kering ” batinku berkata. Aku berjalan cepat mengejar rumah kedua, rumah Bu Wildan untuk melakukan tugas menyetrika baju-baju keluarga itu. Ya setiap hari aku mengetuk rumah tetangga untuk meminta kerelaan mereka agar aku bisa mencuci baju mereka di pagi hari dan kembali di siang hari untuk menyetrikanya. Aku berharap banyak pada istri pak ustad ini. Bu Wildan yang solehah, luar biasa baik, yang tidak pernah menolak ketika aku memintanya agar memberi aku pekerjaan. Pak dan bu Wildan bukan keluarga kaya. Pak Wildan hanya seorang guru ngaji yang pendapatannya tidak tentu tetapi Bu Wildan tahu aku tidak pernah mau diberi uang tanpa bekerja. Rasanya malu sekali kalau aku harus menerima uang karena orang iba padaku. Aku memang miskin tetapi tidak perlu rasanya mereka memandang rendah dengan hanya memberiku uang tanpa bekerja.
Bu Wildan ternyata sudah berada di depan pintu rumahnya yang sederhana menyambutku.
“Assalaamu’alaikum. Sudah kering cuciannya, bu?
“Wa’alaikum salam warahmatullah. Sudah Bi Ening. Yuk, masuk.” Dengan ramah Bu Wildan menuntunku masuk ke rumah mungilnya.
Dengan sigap aku menyiapkan peralatan untuk menyetrika di ruang yang sekaligus menjadi ruang tamu. Tanganku mulai sibuk dengan baju-baju sementara pikiranku pun sibuk membayangkan dua kembar buah hatiku. “Sedang apa kalian, nak? Maaf, ibu tidak bisa selalu menemani kalian. Jaga selalu mereka ya Rabb.., batinku”
(bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ditunggu sambungannya bu...:D
mangga bu Rima. nuhun pisannnnn...
Entertaining..i like it
You do? alhamdulillah. thanks for following.