Ibnu zul

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pentingnya Kolaborasi dan Komunikasi (Tantangan Menulis - H12)

Pentingnya Kolaborasi dan Komunikasi (Tantangan Menulis - H12)

Pekan ini, dunia perserikatan facebook dibuat terkejut dengan sebuah status yang berbunyi, "Libur 14 hari, guru makan gaji buta". Sebuah majas yang telah lampau dan didengungkan lagi. Tak perlu emosi menghadapi ucapan tersebut. Hadapilah dengan cinta dan senyuman. Semua orang memahami, salah satu kenikmatan yang luar biasa bagi guru, dapat melihat wajah muridnya secara langsung. Dapat berkumpul dan bermain bersama mereka. Tapi, di Tahun 2020, negeri kita tercinta sedang terlanda wabah virus corona yang mematikan. Oleh sebab itu, Kementerian Pendidikan membuat kebijakan agar seluruh sekolah melakukan pembelajaran secara online. Tentu hal ini didasari sebagai bentuk kecintaan terhadap generasi muda Indonesia. Nyawa mereka sangat berharga untuk diselamatkan. Meskipun sejatinya pembelajaran dapat dilakukan di mana saja. Entah di sekolah, di rumah, atau tempat yang lain. Namun, jika bisa memilih, hati ini jauh lebih bahagia melakukan pembelajaran secara tatap muka, dibandingkan pembelajaran secara online. Kini, tanganku tak mampu menyentuh wajahnya. Diriku tak mampu lagi memeluk tubuh mereka. Sebuah kebahagiaan yang harus kami relakan sebagai seorang guru. Kembali kepada pembahasan ucapan guru memakan gaji buta. Sebenarnya, ucapan tersebut muncul tidak lepas dari dua faktor. Yaitu faktor psikologi dan pola pikir (mindset). Nah, mari kita uraikan dua faktor tersebut.1. Psikologi Manusia memiliki batas kemampuan mengerjakan berbagai macam hal dalam waktu bersamaan. Sehebat-hebatnya seseorang melakukan multitasking, akan ada masa yang membuat mereka merasa letih. Sehingga menimbulkan perasaan jenuh dan meluapkan emosi tanpa mereka sadari. Mungkin, itulah yang dirasakan oleh pembuat status "Libur 14 hari, guru makan gaji buta". Bayangkan, pekerjaan rumah yang begitu banyak harus dikerjakan. Ditambah dengan kewajiban menemani sang anak mengerjakan tugas online dari sekolah. Belum lagi tekanan mental yang dirasakan akan kekhawatiran terjangkit virus corona. Sebuah kondisi yang tentu menggangu psikologi manusia. Sekali lagi, tak perlu ada emosi diantara orang tua dan guru. Jika hal itu terjadi, yang akan menjadi korban adalah generasi anak bangsa.2. Pola Pikir (mindset) Faktor inilah yang terpenting untuk mencetak generasi bangsa yang hebat. Entah dilaksanakan melalui pembelajaran tatap muka atau pembelajaran online. Sebagian dari orang tua siswa memiliki pola pikir, urusan anak mereka dalam hal pendidikan seluruhnya terletak pada pundak guru. Berapapun biaya sekolah anak, mampu dibayarkan. Setelah itu, mereka lepas tanggung jawab dan menyerahkan seluruhnya kepada guru. Mulai dari pendidikan kognitif anak, maupun afektifnya. Intinya, orang tua hanya ingin menerima produk akhir yang berkualitas. Oleh sebab itu, tidak heran jika muncul sebuah ungkapan yang mengatakan, "Jika anak suskes, siapa dulu orang tuanya. Tapi, jika anak nakal, siapa dulu gurunya".Tentu mindset seperti ini keliru. Orang tua, terkhusus ibu, merupakan madrasah pertama untuk anak mereka. Porsi tanggung jawab pendidikan anak, lebih besar berada di pundak orang tua dibandingkan di pundak guru. Nah, disinilah arti penting kolaborasi dan komunikasi antara orang tua dan guru. Jika menginginkan anak yang berkualitas, dibutuhkan kolaborasi diantara keduanya. Idealnya, orang tua mengetahui program kerja guru di sekolah. Jika perlu, dalam melakukan penilaian dan penyusunan RPP, orang tua aktif terlibat dalam hal itu. Di sisi lain, guru perlu mengetahui bagaimana perkembangan siswa selama di rumah. Tentu informasi ini berasal dari orang tua siswa. Sehingga terjadilah sinkronisasi dan korelasi yang baik antara aktivitas siswa di sekolah dan di rumah. Karena tidak menutup kemungkinan, terkadang terjadi perbedaan sikap pada anak saat berada di sekolah dan di rumah. Sang guru merasa, anak tersebut baik-baik saja selama di sekolah. Tapi, orang tua belum melihat ada perubahan. Begitu pun sebaliknya. Selain itu, faktor komunikasi sangat memengaruhi keberhasilan anak. Jika orang tua enggan di ajak berdiskusi soal perkembangan anak mereka, atau hanya ingin berkomunikasi tatap muka dengan sang guru saat penerimaan rapor, tentu akan terjadi tumpang tindih dalam mendidik.Bagaimana mungkin ingin mencetak anak yang berkualitas, jika memandang keberhasilan pendidikan anak dengan cara yang keliru? Ku akhiri tulisan ini dengan sebuah pantun

Ada panas di korek api

Hati-hati saat bicara

Guru makan nasi

Tidak makan gaji buta

Semoga Allah memberikan kebaikan dan kemudahan bagi kita semua. #SatuHariSatuTulisan #TantanganGuruSiana #TantanganMenulisHari_12

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantul pak, semangat virus menulis terus mengalir

28 Mar
Balas

Alhamdulillah. Makasih, bu

28 Mar



search

New Post