Ketika Ranking Menjadi Tujuan (Tantangan Menulis - H11)
Salah satu pendidikan karakter yang orang tua tanamkan kepada anak-anaknya adalah disiplin. Bahkan, sejak memasuki usia sembilan tahun, sesuatu yang berkaitan dengan diriku, dikelola secara mandiri. Mulai dari menyetrika pakaian sekolah, membersihkan kamar, menyampul buku, bahkan menyimpan seluruh dokumen pendidikan. Siang kemarin, aku mencari dokumen SK guru. Tanpa disengaja, mataku tertarik melihat rapor sekolah dasar beserta piagam penghargaan yang ku terima saat itu. Wah, ternyata sudah dua puluh tahun rapor ini bersamaku. Kondisinya masih utuh dan bagus. Seolah-olah kondisi dua puluh tahun silam, teringat kembali di dalam memori otak. Aku pun membuka halaman rapor secara saksama. Ternyata, sewaktu menempuh pendidikan di SDN Unggulan Mongisidi 1, saya memiliki dua kepala sekolah. Tahun 2000-2005, dipimpin oleh Bapak Drs. Muhammad Asaf. Sementara di Tahun 2006 (saat aku tamat), dipimpin oleh Ibu Hj. Siti Rosnadi, S.Pd. Adapun nama guru yang pernah mengajariku selama di SD sebagai berikut. Kelas 1A: Ibu Dra. Saenab S Kelas 2A: Ibu Siti Sidrah Kelas 3A: Ibu Franciska P Kelas 4A: Bapak Abdul Rahim Kelas 5A: Ibu Hilma, S.Pd Kelas 6A: Ibu Dra. Siti Rohani S Terima kasih guruku. Jasa kalian sungguh besar kepadaku. Kalian adalah pahlawan. Semoga Allah menjaga kalian dan memberikan kesehatan dimana pun kalian berada. Kini ku sadari, besar juga yah manfaat menyimpan dokumen-dokumen pribadi. Bisa tersenyum sendiri mengingat kejadian di masa tersebut. Hehe. Hmm... jika mengingat pengalaman di sekolah dasar, teringat dengan istilah kelas A dan B. Saat itu, siswa yang berada di kelas A adalah kumpulan siswa yang memiliki nilai tinggi. Yah, bisa dibilang sebagai kelas unggulan. Kondisi siswa di kelas A dan B sangatlah mencolok. Jika kelas A identik dengan memegang buku, maka kelas B identik dengan bermain (meskipun tidak semua siswa seperti itu). Sekat dalam berkomunikasi pun tampak diantara kami. Mungkin, ini salah satu sebab diadakannya kelas unggulan dan non unggulan. Wallahu a'lam. Tak hanya itu, istilah ranking sangat membekas saat berada di sekolah dasar. Perjuangan untuk masuk sepuluh besar adalah sebuah tuntutan dari orang tua agar mereka merasa bangga. Maklum, masuk peringkat sepuluh besar dari 35 siswa, tentu membuat diri siswa merasa senang dan tertantang. Apalagi saat momen penerimaan rapor, terdapat istilah 'makan-makan'. Tentu menjadi kesempatan besar menceritakan prestasi yang didapat apabila bisa masuk sepuluh besar. Yah, kondisi seperti ini terjadi karena sistem yang ada, menuntut siswa seperti itu. Mengedepankan prestasi ranah kognitif yang diukur dengan angka-angka di rapor. Salah satu buktinya adalah, ketika ingin melanjutkan pendidikan di SMP favorit, maka yang pertama kali di cek adalah nilai rapor. Lebih lucunya lagi, terkadang sesama teman kelas, kami berkompetisi dengan elok. Rasa cemburu muncul ketika nilai ujian teman mendapat 100. Bahkan, terkadang air mata menetes apabila ranking di ambil alih oleh teman. Itulah anomali yang terjadi dalam dunia perankingan di kelas. Oleh sebab itu, suatu kesyukuran bagiku atas kebijakan pemerintah yang meniadakan ranking saat penerimaan rapor. Saat ini, sistem pendidikan yang ada, mengedepankan kolaborasi pada diri siswa. Suatu hal yang positif dan perlu didukung secara bersama. Sehingga menghasilkan empati antar sesama. Semangat gotong royong pun lebih kental jika mereka lebih mengutamakan semangat kolaborator. Selain itu, mereka akan berusaha menjadi tim yang produktif untuk menghasilkan karya. Namun, kondisi ini belum dipahami baik oleh orang tua. Pengalaman saya menjadi guru, saat penerimaan rapor berlangsung, yang pertama kali ditanyakan dan ingin diketahui adalah angka kognitif anak mereka. Anaknya ranking berapa. Padahal, jauh hari sebelum penerimaan rapor, sudah dijelaskan bahwa di kurikulum 2013, tidak ada lagi sistem perankingan. Luar biasa yah mindset perankingan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sepertinya sudah mendarah daging, hehe. Semoga tahun ini, saat momen penerimaan rapor, yang pertama kali ditanyakan oleh orang tua adalah tentang perkembangan karakter anak mereka. Bagaimana jiwa sosial anak mereka selama di sekolah. Dan hasil karya apa yang telah diciptakan. Ketiga hal ini tak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan nilai kognitif. Bahkan sangat diperlukan di dalam dunia kerja. Semoga Allah memberikan kebaikan dan kemudahan bagi kita semua. #SatuHariSatuTulisan #TantanganGuruSiana #TantanganMenulisHari_11
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar