PERMINTAAN TERAKHIR
Covid-19 semakin banyak memakan korban. Cuaca tak menentu, hujan badai bahkan petir turut mewarnai kecemasan. Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Mulai dari berkurung di rumah, melarang mudik, selalu memakai masker, sering mencuci tangan, dan menjaga jarak. Setiap hari bahkan setiap detik himbauan itu didengungkan melalui media elektronik dan media cetak. Namun pasien Covid-19 yang positif tetap meningkat tajam. Di situasi yang sedang mencekam itu ibu dan ayah mengharapkan aku mudik. "Rara, Walaupun kau pegawai negeri, takkan turun pangkatmu walaupun meminta izin agak dua hari, pulanglah nak." Ini mungkin mudik terakhir kita bisa berkumpul bersama. "Apakah jika kau tidak pulang, di kampung kita tidak akan ada kematian, anakku ?" Takdir Allah SWT tak ada yang tahu. Aku terenyuh, selama ini ibu dan ayah tidak pernah berkata seperti itu.
Keesokan harinya aku bermimpi ibu dan ayah berpakaian serba putih sambil melambai-lambaikan tangannya padaku. Kusapa, mereka berpaling. Bayangan ibu dan ayah terus menerpa sunyiku. Hatiku cemas dan bimbang. Di satu sisi anak-anakku masih belajar dari rumah, belajar jarak jauh, tak tega meninggalkan mereka dalam situasi bencana nasional Covid-19 ini. Di sisi lain ibu dan ayah mendadak menyuruhku mudik. Dari dulu, ibu dan ayah memang tidak mau diajak tinggal di kota bersamaku. Padahal aku anak perempuan tunggal kesayangan satu-satunya. Suamiku memberi saran , “Lihatlah ibu dan ayah, mungkin mereka sangat rindu padamu Rara, anak-anak biar aku yang jaga.” Ucap suamiku sedih karena tidak mendapat izin dari perusahaannya untuk menemaniku mudik.
Dengan berat hati kulaksanakan saran suamiku.Ia memberikan semangat agar aku tak ragu melangkah. Akhirnya aku mudik ditemani oleh Cici asisten rumah tanggaku. Dari dulu, suamiku memang baik orangnya, berhati mulia, dan memiliki empati yang luhur. Setelah dua belas jam diperjalanan bus yang kami tumpangi sampai juga di depan rumah orangtuaku. Malam itu hujan turun sangat deras dan petirpun saling bersahutan. Kulihat pagar rumah tertutup rapat, tak ada yang menyahut panggilanku. Di sisi pagar tersisa papan bunga yang sudah kuyup diguyur hujan. Jantungku berdegup kencang , firasatku tidak enak, dan lututku goyah tak mampu melangkah. Ternyata jenazah ayah dan ibu baru saja dimakamkan sesudah shalat Dzuhur siang tadi. Tiba-tiba dadaku sakit, penglihatanku nanar, dan bumi terasa gelap.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren bunda, sedih bgt tu
Twist yang sangat mengena. Sukses selalu
Terimakasih doanya ibu ....masih tahap belajar,disela-sela kesibukan luar biasa.....