Jalan Macet
Seperti biasa, Andi berangkat ke tempat kerja lebih pagi dari pada tetangganya. Hal itu dilakukan karena dia berusaha menghindari kemacetan lalu lintas. Dia sudah hapal lokasi yang sering atau bahkan bisa dikatakan pasti akan menimbulkan tersendatnya jalannya kendaraan yang melewati wilayah itu. Ganepo adalah di antaranya, yaitu sebuah pasar tumpah di jalan raya. Lokasinya berada di awal masuk daerah Mranggen. Perlintasan rel Kereta Api dengan jalan raya Semarang – Purwodadi banyak dirasakan pemakai jalan sebagai tempat kemacetan. Namun sebenarnya bukan rel Kereta Api yang menjadi penyebab kemacetan. Ketidaktertiban manusia dalam menempatkan posisi dirinya adalah sebagai penyebab utama kesemrawutan itu.
Aku yang harusnya lebih dahulu. Tidak masalah. Aku sudah lama di sini. Buru-buru. Hanya kali ini saja, lain kali tidak. Berbagai pernyataan ini seringkali yang dipakai oleh pemakai jalan, sehingga menyebabkan kemacetan, kesemrawutan dan permasalahan lainnya. Bahkan bukan hanya yang ada di jalan raya atau lalu lintas saja, tapi juga di berbagai ‘jalan’ dalam kehidupan ini. Bisa jadi jalan masuk surga pun manusia berebut untuk ingin lebih dahulu karena merasa lebih berhak.
Padahal, semua ketentuan dan petunjuk sudah ada. Ketepatan dan ketetapan pemberlakuannya juga sudah ada. Namun kita sebagai konsumen atau pemakai aturan sendiri yang sering melanggarnya. Lebih dari itu kita juga sudah tahu, kalau aturan itu ada adalah untuk melindungi para pemakai jalan. Baik itu pemakai jalan raya maupun jalan kehidupan.
Marka jalan berupa garis putih sudah demikian jelas tercetak di tengah jalan raya. Semua pemakai jalan hampir bisa dipastikan tahu maksudnya. Itu untuk pembatas dan pembagi di antara pemakai jalan yang berlawanan arus. Posisi jalan adalah di jalur kiri. Palang rel Kereta Api berwarna merah putih, dipasang, adalah untuk memberi tahu kalau akan ada Kereta Api yang lewat. Rel Kereta Api itu untuk lewat Kereta Api. Jalan raya itu untuk lewat kendaraan. Trotoar itu untuk lewat pejalan kaki. Itu semua pemakai jalan sudah tahu. Namun karena pemakai jalan, baik jalan raya maupun jalan kehidupan itu merasa lebih berhak dari pada orang lain sehingga langkah saling berebut terjadi, akhirnya kemacetan dan permasalahan menjadi akibatya.
Bagaimana tidak ?, Ketika palang pintu telah ditutup, ketika Kereta Api akan tiba. Jaraknya kira-kira masih 5 KM. Jarak itu masih perlu ditempuh yang cukup lama bagi pengendara sepeda onthel, apalagi pejalan kaki. Namun bagi Kereta Api itu hanya butuh beberapa menit sudah tiba di lokasi. Dalam kondisi palang KA tertutup seperti itu, masih ada juga pengguna jalan yang berusaha menerobos. Cara yang dipakai adalah dengan menyisir ke samping karena palangnya tidak menjangkau seluruh lebar jalan. Ada juga yang dengan sedikit mengangkat palang tersebut dengan tangan bahkan mengungkitnya dengan kepalapun dilakukan, kemudian dengan kendaraannya mereka menelusup lewat bawah palang tersebut. Rasa malu walaupun dilihat pemakai jalan yang lain, agaknya sudah tidak dipakai lagi. Alasannya buru-buru. Kalau pemakai jalan itu tidak menerobos palang Kereta Api, mungkin karena takut atau khawatir terlindas Kereta Api. Namun, seluruh jalan di samping rel tersebut terisi penuh dengan kendaraan pemakai jalan tersebut. Padahal marka jalan berupa garis putih sebagai pembatas jalur kanan dan kiri sudah tercetak dengan demikian jelasnya. Sehingga, begitu Kereta Api lewat, palang pintu dibuka, dua arus lalu lintas pemakai jalan akan bertemu. Kesemrawutan dan kemacetan akan terjadi di pelintasan rel dan jalan itu. Permasalahan lain juga ada. Pedagang yang semestinya berjualan di pasar yang sudah disediakan, juga memilih pinggir jalan untuk menjajakan dagangannya. Bahkan relpun digunakan untuk duduk dalam menjajakan dagangan. Sehingga begitu sirine berbunyi, sebagai tanda Kereta api akan lewat, mereka tunggang langgang berlarian memboyong dagangannya untuk pindah dalam beberapa menit. Setelah Kereta api lewat, pedagang itu kembali ke posisi semula.
Itulah wujud kesemrawutan, kemacetan dan permasalahan yan terjadi di jalan dan di persimpangan rel kereta api dekat pasar Ganepo. Barangkali itu menggambarkan kesemrawutan dan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan atau jalan kehidupan yang ditempuh manusia. Saling ingin mendahului, saling menerobos, tak peduli dengan aturan yang diwujudkan dalam bentuk marka jalan, palang kereta api dan tempat yang telah disediakan.
Seandainya semua pemakai jalan itu berada di posisi sebelah kiri marka, demikian juga dengan yang berada di arus berlawanan. Mereka tetap berada di sebelah kiri marka jalan. Sekiranya sudah tidak muat, juga mau berada di belakang pemakai jalan yang sudah ada di depannya. Ketika palang sudah tertutup juga tidak ada yang mau menerobos, walapun semestinya bisa. Yang berjualan juga mau menempati los pasar yang sudah tersedia, kesemrawutan, kemacetan dan permasalahan lalulintas di situ tidak akan terjadi. Begitu palang kereta api dibuka, kedua arus lalu lintas tidak akan berpapasan. Hal itu karena mereka sudah berada di jalan masing-masing dengan pembatas marka jalan yang jelas. Arus lalu lintas di jalan pun akan lancar. Demikian juga dengan pedagang, sekiranya tetap berada di lokasi yang sudah ditentukan sesuai dengan ketentuan dan aturan, dirasa akan tetap laku dagangannya. Pembeli akan tetap datang menemui penjual karena merasa butuh terhadap barang yang dijualnya. Keamanan, keselamatan dan kenyamanan dalam kehidupannya pun akan tetap terwujud.
Demikian juga yang ada dalam ‘jalan’ kehidupan pada umumnya. Sekiranya marka jalan yang diwujudkan dalam bentuk aturan dan etika itu ditaati, rasa malu dan menghargai orang lain yang datang lebih dulu perlu mendapat penghargaan untuk lebih dahulu melewati, jalan, tentu permasalahan, perselisihan dan ketidaknyamanan tidak akan terjadi. Permasalahan dan perselisihan atau perkelahian itu terjadi karena di antara berbagai pihak yang ada saling merasa lebih penting, merasa lebih berhak karena merasa lebih baik, lebih benar, lebih hebat dan merasa lebih utama dari pada pihak lain. Keberadaan kawan, saudara, sahabat bisa saja terkalahkan oleh ego yang tinggi.
Dalam perjalanan tiap hari menuju ke tempat tugas sejauh 37 KM kegelisahan seringkali menyelimuti perasaan ini. Bahkan di lingkangan kerja dan kampung juga sering menyelimuti perasaan ini, tuturnya suatu saat. Ajaran atau kiat apa dan dari mana kiranya yang dapat digunakan sebagai obat atau solusi atas permasalahan itu.
Pernah, suatu saat, ketika pulang dari Semarang, kemacetan luar biasa terjadi di jalan raya sebelah pasar Mranggen. Untuk menghindarinya dengan menunda perjalanan pulang atau menyisir jalan sudah tidak bisa lagi. Terlebih jika seperti saat itu. Kendaraan berupa motor bututnya sudah terjebak dalam kerumunan aneka kendaraan di jalan raya yang semestinya begitu luas namun ternyata terasa begitu sesak tersebut. Walaupun belum paham betul liku-liku jalan kampung itu, dengan penuh spekulasi, kendaraannya diarahkan belok ke kiri sebelum sampai pada pasar Mranggen. Ternyata walaupun harus dengan hati-hati sekali, terus saja roda kendaraannya menggelinding menyusurui kampung sebelah utara pasar itu. Namun sebelum keluar kampung, sempat juga hatinya tertegun dengan penuh keheranan. Yaitu saat melihat adanya kerumunan orang-orang yang sudah cukup usia berada di masjid di komplek pesantren sebelah utara pasar tersebut. Karena diselimuti perasaan yang penuh tanda tanya, dia menyempatkan diri bukan hanya untuk berhenti, tapi bahkan menyusup ke dalam kerumunan itu. Ternyata ada seorang yang berceramah di tengah-tengah kerumunan para jamaah yang ada. Kata demi kata dicermati untuk mencuri dengar isi ceramah itu. Ternyata begitu nyaman untuk didengar dan dipahami. Tidak ada yang menyinggung atau mengkritik perasaan pihak lain. Selain menyimak isi ceramahnya, diperhatikan juga jamaah atau para pendengarnya. Menurut pengamatannya bisa dikatakan semua adalah para manula, atau sudah berusia lanjut. Sulit sekali menemukan jamaah itu yang terkategori berusia muda.
Dalam kondisi begitu, di antara mereka ada yang memperhatikan keberadaan orang yang dirasa asing di situ. Terlontarkan sebuah pertanyaan dari mulut orang tersebut, “Mbah, ini pengajian apa ?”,
“pengajian thoriqoh”, jawab laki-laki tua.
“Ooo, thoriqoh ? Apa thoriqoh itu mbah ?”, kata pemuda itu menyaut,
“Wah, saya jamaah biasa, sebagai murid, tidak berani, takut salah. Coba silahkan tanya pada Kyai, datang ke rumah untuk menerima penjelasan secukupnya”, jawab laki-laki berbaju putih itu berargumentasi.***
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar