Ayah, Kenapa Pukul Aku?
(Tantangan hari ke-33)
#TantanganGurusiana
Wanita muda itu melangkah mendekatiku, sepertinya ada sesuatu yang sangat penting akan disampaikan.
"Bu guru, maaf, ada waktu sebentar?" tanyanya saat jarak kami sudah dekat.
"Iya, bun, ada apa ya?" tanyaku.
"Ada yang ingin saya bicarakan, bu guru, tentang anak saya dan saya juga, sepertinya saya dan anak saya harus pindah dari kota ini." ucapnya.
"Loh, kenapa ya, bun? sebentar lagi akan ujian semester." ucapku heran.
"Rifan, bu guru, Rifan semalam ditampar ayahnya, sakit hati saya saat pulang kerja saya lihat pipi Rifan lebam, hari ini Rifan ijin tidak masuk karena akan dibawa ke rumah sakit untuk visum." jelasnya sambil terisak.
"Bun, baiknya kita bicara di ruangan konseling saja ya!" ajakku sambil mempersilahkan beliau menuju ruang konseling.
Kami pun berjalan beriringan dengan penuh kebisuan, sementara selama perjalanan menuju ruang konseling, ku dengar isak tangisnya yang berusaha untuk ditahan.
"Mari, bun, masuk!" ucapku mempersilahkan.
Bunda Arman, wanita muda yang sangat manis dan ayu, kecantikannya khas wanita priyangan. Wanita 26 tahun itu pun duduk setelah saya persilahkan.
Setelah kami duduk saling berhadapan, Bunda Rifan pun bercerita setelah berhasil menguasai emosi sesaatnya.
"Monggo, bun, jika ingin bercerita!" ucap saya mempersilahkan dengan sangat hati-hati.
"Sebelumnya saya minta maaf, bu guru, sudah merepotkan, sebetulnya ini persoalan rumah tangga, tapi ternyata korbannya Rifan, jadi terpaksa saya menemui bu guru sekalian minta pertimbangan untuk kelanjutan pendidikan Rifan." ucapnya.
"InsyaAllah, jika ada yang bisa saya bantu, akan saya bantu, bun." jawab saya.
"Suami saya terlalu overprotect terhadap saya, tapi dia tidak berani bicara langsung atau marah pada saya, jadi korbannya Rifan, emosinya dilampiaskan pada Rifan, kasihan Rifan, yang tidak tahu apa-apa tetiba menerima tamparan atau pukulan keras, dan yang terjadi kemarin sudah yang kesekian kali, saya tidak bisa tinggal diam, makanya saya visum sekaligus melaporkan ayahnya Rifan." jelas Bunda Rifan yang mulai tenang.
"Maaf, bun, kalau boleh saya usul, apakah tidak dipertimbangkan dulu untuk melaporkan Ayah Rifan? mungkin bisa rembug dua keluarga, apalagi sudah ada anak, Rifan. Kasihan Rifan, bun, masih butuh kasih sayang dari kedua orangtuanya."ucap saya.
"Kejadian seperti ini sudah lama bu guru, selama ini saya diam, bahkan bu guru juga pernah bertanya pada saya waktu wajah Rifan lebam, maafkan saya kalau saat itu terpaksa berbohong, sebetulnya itu bukan jatuh tapi habis dipukul oleh ayahnya." ucap Bunda Rifan.
Terkejut saya mendengar penjelasan Bunda Rifan. Memang beberapa kali wajah Rifan lebam saat masuk sekolah, dan Rifan beralasan lebam karena terjatuh.
***
Rifan, siswa kelas 3 SD yang biasanya ceria, dengan pancaran mata yang berbinar, kulit putih, dan selalu punya cerita baru setiap hari. Tapi beberapa bulan ini, Rifan sering terlambat, bahkan pakaiannya pun tidak beraturan, lebih banyak diam dan menunduk saat proses kegiatan belajar, tidak konsentrasi, lebih banyak melamun. Ternyata hari ini kutemukan jawabannya.
"Bu guru, kalau besok Rifan tidak masuk, berarti kami sudah pindah ke Bandung, karena keputusan keluarga saya sudah bulat bahwa kami memutuskan pindah ke Bandung, kalau masih berada di Jakarta, kami khawatir keselamatan Rifan." jelas Bunda Rifan.
"Baiklah, bun, pada prinsipnya mana yang terbaik untuk bunda dan Rifan saja, sebelumnya secara pribadi, saya mohon maaf jika ada ucapan atau sikap yang kurang berkenan selama menjadi guru Rifan." ucap saya.
"Saya juga mohon maaf bu guru, sudah banyak merepotkan selama ini, saya juga mohon pamit, bu guru." ucap Bunda Rifan seraya berlalu.
Dan keesokan harinya Rifan tidak hadir di kelas, begitu pun hari-hari selanjutnya, hingga pada hari ketiga, aku menerima pesan singkat dari Bunda Rifan yang mengabarkan jika Rifan sudah pindah ke Bandung dan segala urusan di Jakarta dipercayakan pada pengacara keluarganya.
Empat belas tahun sudah berlalu, mungkin Rifan sekarang sudah selesai studynya.
Dalam setiap perselisihan, yang lemah akan menjadi korban, dan anak selalu menjadi korban dari keegoisan manusia dewasa.
Jika saja untuk menjadi orang tua membutuhkan sertifikat kelulusan, mungkin akan banyak yang gagal untuk lulus menjadi orang tua.
Jakarta, 16 Februari 2020
#TantanganGurusiana
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar