Hibatun Wafiroh

Biasa dipanggil Wafi. Nama lengkap Hibatun Wafiroh, Guru di SMPN 2 Lamongan. Sedang belajar dan ingin terus belajar di kampus kehidupan ini. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Bebaskan Diri dari Tuhan Lain

Bebaskan Diri dari Tuhan Lain

Berharap atau berambisi meraih impian, karir, atau popularitas adalah hal yang wajar bagi setiap insan. Namun, mimpi atau ambisi yang terlihat mulia, belum tentu menjadi mulia saat kita meraihnya. Karena terkadang semua itu justru menjadi tuhan-tuhan lain dalam diri kita.

Pengakuan, penghargaan, penilaian tinggi, kekaguman, dan pujian manusia bisa saja menjadi berhala atau tuhan -tuhan lain tanpa disadari. Saat masih ada rasa harap pada penilaian manusia semacam itu, maka pribadi yang demikian akan mudah kecewa, tersinggung, marah, dan bahkan bisa mendengki. Semua itu akan terasa melelahkan. Resah dan gelisah sering memenuhi jiwa.

Imam Syafii pernah berkata, "Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang, maka Allah timpakan atasmu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kami mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap kepada selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kembali berharap kepada -Nya."

Ada satu impian yang akan membuat hidup manusia terasa ringan dan bahagia. Impian yang membingkai semua keinginan dan harapan. Impian tersebut adalah meraih rida-Nya. Jika impiannya sudah demikian, maka tak ada lagi keinginan mengalahkan orang lain. Tak ada perasaan ingin menonjolkan diri. Pun tak ingin selalu tampil terdepan. Tak ada keinginan menjadi yang terbaik dalam urusan dunia. Hilang sudah egoisme dan pemaksaan kehendak.

Yang ada adalah keinginan meningkatkan peran, bersinergi, berkolaborasi, berkontribusi, dan bisa bermanfaat bagi ummat. Yang ada adalah ikhtiar-ikhtiar berbingkai tawakkal dan berbalut ketenangan dalam naungan-Nya. Jika impian semacam itu yang hadir, maka tak ada lagi perasaan kurang. Hati pun dipenuhi perasaan syukur dan damai. Ketika yang diinginkan hanya rida-Nya, maka hal lain akan terpenuhi dalam jaminan-Nya.

Ada beberapa hal yang tak terlupakan dari pengalaman di Masjidil haram dua tahun silam. Salah satunya adalah fakta bahwa hampir setiap jamaah haji pasti ingin bisa mencium hajar aswad. Bahkan sebagian tidak hanya ingin, tapi sangat berambisi. Tak sedikit yang berdesakan membahayakan nyawanya demi hal yang sunnah.

Saat itu, saya begitu gembira ketika ada teman yang menceritakan kesuksesannya mencium hajar aswad dengan bantuan empat rekannya. Ada juga yang dengan bangga bercerita mendapatkan bantuan calo. Lho, ada calonya? Ya. Banyak. Karena harus berdesakan dan mempertaruhkan nyawa, mereka minta bayaran sesuai kesepakatan.

Dengan penasaran, berkali-kali saya berusaha meraih hajar aswad. Beberapa kali sudah hampir sampai tujuan, tetapi selalu terpental oleh desakan. Walhasil, saya pun menyerah. Meski masih ada ambisi kesana lagi. Dan itulah kesalahan saya: berambisi.

Ketika saya minta bantuan teman untuk bisa ke hajar aswad, mereka angkat tangan. Suami yang saat itu menjadi ketua rombongan, juga tidak bersedia. Hingga suatu ketika, secara tak sengaja saya bertemu lelaki yang bukan muhrim. Teman lama yang pernah dekat di hati. Beliau pembimbing haji yang sudah berpengalaman.

"Mau kubantu ke hajar aswad?" tanyanya. Dengan senang hati saya mengangguk. Saya akan bertemu dengannya esok setelah dhuha. Ini kesalahan saya lagi: berharap pertolongan orang lain.

Setelah kembali ke penginapan, saya termenung. Bagaimana mungkin saya berduaan dengan lelaki lain untuk ke hajar aswad? Hati saya menolak. Saya mengurungkan tawaran teman tadi. Malu rasanya mengotori ibadah 0dengan perilaku tak sopan tersebut.

Esok hari setelah thawaf sunnah, saya menuju multazam. Seorang lelaki dengan logat Madura menyapa, "Ibu mau ke hajar aswad? "

"Maaf, saya mau ke multazam"

"Ibu tidak mungkin bisa ke hajar aswad sendirian! " teriaknya.

Saya terus melangkah merapat ke multazam. Mengakui sangat malu dan menyesal atas niat yang terbersit kemarin hanya karena ambisi ke hajar aswad. Saya ikhlaskan ambisi itu. Sepenuhnya memasrahkan diri kepada Allah dan berharap rida-Nya.

Tanpa berdesakan, tiba-tiba seperti ada yang memberi jalan untuk mencium hajar aswad. Bismillahi Allahu Akbar. Semua seperti mimpi. Bertahan beberapa lama mencium hajar aswad tanpa desakan. Anugerah yang sangat indah. Rasa syukur tiada terhingga.

Hasbunallah wani'mal wakiil. Cukup Allah saja harapan kita. Sungguh hanya kepada-Nya jiwa kita layak berharap dan bersandar. Saat kita sudah mengikhlaskan yang kita inginkan, dan hanya berharap rida-Nya, ternyata Allah justru menganugerahkannya. Subhanallah wal hamdulillah walailaha illallah wa Allahu Akbar.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah, barokallah Bu Guru

21 Jan
Balas



search

New Post