SOCIAL DISTANCING VS BUDAYA SEKOLAH
Oleh : Hermuning Puspita Sari, S.Pd
Pandemi kali ini sungguh mengubah tatanan kehidupan sosial budaya di Indonesia. Kami yang dulu terkenal dengan keramahtamahan terhadap sesama kini kian pudar. Kami yang dulu murah senyum dan ringan menyapa kini enggan bersikap demikian. Obrolan santai yang mulanya bisa terjadi begitu saja dalam sebuah bis kota kini tak lagi ada. Bahkan, sikap peduli untuk sekadar mengingatkan standar sepeda motor orang lain yang lupa dinaikkan di jalan raya pun nyaris tak ada lagi. Untaian kata dibatasi. Nasihat dikebiri. Mulut dibungkam oleh sehelai masker. Meski jarak pandang dekat dengan hiruk pikuk, namun silaturahim kian menjauh. Bahkan untuk sekadar bersilaturahim dengan sanak famili saat lebaran pun rasanya sudah was-was bukan main. Ditengah gemerlap tatanan kota-kota di Indonesia dengan segala fasilitasnya, ada hati yang menepi dalam sepi.
Begitu juga dengan kondisi di lingkungan sekolah. Guru-guru dipaksa untuk mengindahkan teknologi. Sedangkan para siswa dikebiri hak-haknya untuk mengeksplorasi lingkungan. Pun orang tua siswa dituntut untuk lebih peduli dan telaten mendidik putra putrinya di rumah. Semua berjalan dengan serba ketidaktahuan dan ketidakpastian kapan semua ini akan berakhir. Berlakunya budaya sekolah tanpa senyum, sapa, salaman, tanpa basa-basi dan haha-hihi.
Kikuk rasanya ketika saya yang semula mengajar dengan pola student centered dimana siswa selalu saya ajak interaksi dan membangun hubungan secara lebih terbuka dan nyaman, harus mengajar dengan to the point. Apersepsi yang semula diberikan dengan berbagai variasi dan gestur agar terkesan menarik, kini hanya sekadar gambar. Mimik muka yang semula diusahakan tampak segar dan sumringah di depan anak-anak, kini percuma karena hanya kain penutup muka yang mereka lihat.
Yang lebih meresahkan saya adalah ketika budaya salaman dan sapa yang baru mulai dirintis di sekolah tempat saya mengajar, harus dikesampingkan untuk sementara waktu. Sungguh saya takut anak-anak jadi lupa akan sopan dan budi. Takut mereka sudah terbiasa hidup seperti ini. Khawatir jikalau budaya ini telah tertanam dalam jati diri mereka hingga dewasa nanti. Menjadi pribadi yang berego tinggi dan tak mengindahkan keramahtamahan. Mungkinkah Indonesia tak lagi dijulugi negara yang penduduknya ramah?
Belum lagi masalah jarak. Kami diberikan jarak 1,5 meter dalam belajar. Masih harus bermasker, dan rajin cuci tangan. Maka di dalam kelas, tak ada lagi kisah tentang Maya yang menangis karena pensilnya dipatahkan Doni. Pun lenyap sudah cerita Siti bingung mencari pengraut pensil yang disembunyikan Edo. Semua harus dilakukan sendiri. Tidak ada saling memberi dan berbagi. Padahal saya pun mengajarkan pengamalan pancasila sila ke 2 dan ke 5, bahwa kita haruslah saling menolong dan saling berbagi.
Pandemi oh... pandemi. Segeralah berlalu. Jauhkan gusar dan cemas dalam hati ibu pertiwi. Hilangkan keraguan dalam benak generasi penerus kami.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar