Paradok Budaya di Kalangan Pelajar
Paradok Budaya di Kalangan Pelajar
Oleh: Herlan Firmansyah, S.Pd.,M.Pd., ME
Sedih, pilu, dan menyanyat hati; itulah perasaan yang mencuat ketika penulis melihat tayangan berita di televisi tentang peristiwa tawuran antar pelajar di Jakarta baru-baru ini. Pelajar sebagai insan yang sehari-harinya menikmati racikan kurikulum sekolah, sejatinya tampil sebagai sosok terpelajar dengan sekeranjang karakter sebagaimana disebutkan dalam UU No 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3. Realitasnya pelajar justru tampil brutal dengan performance nyaris tanpa nalar kritis U.dan hati nurani. Hal yang lebih menyedihkan lagi sebagaimana diberitakan Republika bahwa enam puluh persen remaja perkotaan pernah berhubungan suami istri. Sedangkan untuk remaja pedesaan, jumlahnya diperkirakan sekitar empat puluh persen. Hal ini didasarkan pada survei yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (Red.Republika. Co.id). Sungguh menyayat hati penulis sebagai penggiat pendidikan di persekolahan, pun mungkin bagi stakeholder pendidikan yang memiliki empati tinggi terhadap realitas masa depan generasi bangsa.
Salah satu faktor yang disinyalir menjadi penyebab fenomena di atas diantaranya adalah belum berhasilnya misi pendidikan akhlak yang jalankan sekolah. Dewasa ini proses pendidikan akhlak, baik melalui Pendidikan Agama Islam (PAI) maupun Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) baru sampai pada proses knowing dan doing, belum sampai pada proses being, artinya bahwa transformasi nilai-nilai agama, etika, sopan santun, dan norma-norma di sekolah belum sampai kepada bagaimana agar anak menjalani hidup dan kehidupannya sesuai dengan tuntutan agama, etika, sopan santun, dan norma-norma yang diajarkan guru. Pendidikan akhlak baru sampai pada proses pembentukan struktur kognitif. Tidak heran jadinya jika terdapat paradok budaya di kalangan komunitas pelajar. Karakter-karakter agung yang terdapat dalam rumusan tujuan dan fungsi pendidikan nasional masih menggantung dilangit ketujuh.
Tidak bijak memang jika sekolah menjadi satu-satunya kambing hitam, interaksi sosial pelajar di sekolah tidak lebih banyak dari interaksinya di rumah dan masyarakat. Sekolah hanya sebagai salah satu lingkungan edukasi formal yang menjadi katalisator dalam mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan pelajar. Lingkungan keluargalah yang mestinya menjadi lingkungan pendidikan pertama dan utama, sekolah dan masyarakat menjadi media pengembangan atas dasar-dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan yang disemai orang tua di rumah. Dengan demikian, ketiga lingkungan edukasi tersebut tidak bisa tidak, wajib menjadi tripusat pendidikan yang mesti menanggung resiko kolektif atas kualifikasi kepribadian pelajar dewasa ini.
Dahaga keteladanan dari elit bangsa tentang prilaku terpuji mungkin menjadi salah satu sisi yang mesti menjadi renungan bersama. Tontonan prilaku elit bangsa yang secara terbuka banyak di ekspos oleh media, realitasnya tidak menjadi tuntunan yang baik. Malah justru menjadi edukator prilaku buruk yang kian semerbak dikalangan pelajar. Tidak berniat menyalahkan pemerintah, namun menjadi keharusan pemerintah untuk segera melakukan evaluasi mendasar atas kian melorotnya akhlak generassi bangsa, khususnya pelajar sebagai insan yang sehari-harinya menikmati kurikulum yang dikembangkan sekolah.
Jalan keluar yang kiranya dapat menjadi obat penawar problematika di atas adalah pihak sekolah, masyarakat, keluarga dan pemerintah mesti duduk bersama untuk merumuskan kontrak politik edukatif tentang langkah emergensi atas kian membahayakannya kondisi keperibadian pelajar sebagai generassi harapan bangsa. Dicanangkannya Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (pbkb) oleh pemerintah di setiap satuan pendidikan memang bisa menjadi salah satu solusi jangka panjang, namun hal tersebut perlu ditindaklajuti secara serius, bukan sekedar slogan politik pemerintah semata, melainkan perlu secara konsisten direncanakan, diorganisisr, digerakan, dan dievaluasi secara berkelanjutan.
Menjadi ironis jika sekolah diwajibkan untuk mengembangkan PBKB, sementara 60 % yang menjadi indikator kelulusan siswa sebagai produk pendidikan di sekolah hanya aspek kognitif semata. Budaya dan karakter bangsa tidak bisa diukur hanya dengan melihat Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) siswa dari ranah kognitifnya semata, melainkan harus sampai kepada performance afektif keseharian yang dipancarkan oleh siswa di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Jika merujuk kepada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1974) yakni pertama berupa kompleks ide, norma, dan nilai-nilai, kedua berupa kompleks aktivitas kelakuan yang berpola, dan ketiga berupa simbol-simbol fisik. Setidaknya terdapat tiga tataran jalan keluar pengembangan misi pendidikan akhlak di sekolah hingga menjadi bagian dari budaya sekolah yang diharapkan sampai pada proses being. Artinya nilai-nilai agung tersebut dapat menjadi bagian dari budaya komunitas pelajar. Pertama tataran nilai, warga sekolah mesti segera duduk bersama untuk merumuskan seperangkat nilai dan menguatkan komitmen kolektifnya. Kedua tataran praktik keseharian, nilai-nilai yang telah disepakati diwujudkan dalam bentuk sikap dan prilaku keseharian, dalam hal ini perlu adanya sosialisasi, penetapan action plan, dan pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah. Ketiga tataran simbol-simbol budaya, diwujudkan dengan mengganti simbol-simbol budaya sekolah yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai akhlak.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren banget tulisannya pak Herlan.....