7 Ayat Resiliensi Koperasi Syariah
7 Ayat Resiliensi Koperasi Syariah
Oleh. Herlan Firmansyah, M.Pd., ME
Sejuta gempuran terus menghantam keberadaan Baitul Mal wa Tamwil (BMT) atau Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) dewasa ini. Tak sedikit BMT yang semula tampil sebagai BMT skala besar, kini kritis menunggu malaikat penjemput maut, lumpuh tah berdaya diserang komplikasi penyakit yang tak sembuh dengan sekadar obat generik.
Secara eksternal, gempuran datang dari berbagai penjuru mata angin, mulai dari program Layanan Keuangan Tanpa Kantor untuk Keuangan Inklusif (Laku Pandai) bagi industri jasa keuangan yang digagas Otoritas Jasa Keuangan (OJK), program Kredit Usaha Rakyat (KUR), hingga mewabahnya lebaga jasa keuangan “siluman” yang mengatasnamakan Koperasi Simpan Pinjam (Kosipa) dengan gerakan membabi buta, menjerat para mustadh’afin di tingkat akar rumput dengan skema bunga berbunga.
Program Laku Pandai merupakan program keuangan inklusif yang memungkinkan masyarakat membuka rekening tabungan, menabung, dan menarik dana melalui perantara agen bank. Program tersebut telah menggerakan perbankan besar untuk membuka layanan tanpa kantor hingga level terpencil, terluar dan level masyarakat terbawah, program ini memang menjadi akselerator inklusi keuangan tanah air. Namun, menjadi eksternalitas negative bagi keberadaan BMT yang semula eksis dalam zona nyamannya. Dengan harga yang lebih murah dan plafon yang lebih besar dibanding kapasitas BMT pada umumnya, agen layanan terkecil dari bank bank besar, pelan tapi pasti melumpuhkan sebahagian layanan BMT.
KUR dengan bunga murah dan plafon relative besar, menjawab kebutuhan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sehingga membuat mereka berpaling muka dari BMT menuju produk KUR yang diluncurkan pemerintah melalui beberapa bank besar di tanah air. Lagi hal ini menjadi tantangan berat bagi sistem imun BMT di tanah air. Dengan kapasitas permodalan yang tak sebanding dengan permodalan bank-bank besar, BMT berjibaku menghadapi tantangan berat ini. KUR memang berbasis bunga sedangkan BMT berbasis transaksi syariah, jelas dari aspek mashlahah (manfaat + berkah), BMT memiliki nilai tambah (added value). Namun, masyarakat pada umumnya lebih pragmatis, lebih murah harganya dan lebih besar plafonnya, itulah yang paling menjadi pertimbangan.
Secara internal, gempuran datang akibat rapuhnya sistem imun BMT sendiri. Kerapuhan akibat lemahnya Sumber Daya Insani (SDI), indisipliner terhadap SOP, permodalan yang minimalis, sistem informasi akuntansi yang belum sekuat perbankan, skala ekonomi yang kecil, teknologi informasi BMT yang belum menjawab seluruh ekspektasi masyarakat sekarang, partisipasi simpanan dan transaksi anggota BMT yang rendah dan pragmatis, serta kerja sama antar BMT yang rendah menjadi pemicu bagi pelemahan BMT dewasa ini.
Thinking out of the box. Kiranya itulah yang bisa menjadi energi bagi BMT untuk bertahan di tengah serangan komplikasi penyakit dan keluar dari zona kritisnya. Implikasnya bisa dilakukan dengan tujuh ayat resiliensi sebagai berikut. Pertama, Penguatan kerja sama antar BMT. Jika BMT berbadan hukum koperasi, maka salah satu prinsip utama yang mesti diwujudkan oleh para pegiat BMT adalah kerja sama antar koperasi, dewasa ini tampak bahwa perwujudan prinsp ini masih sangat lemah, BMT cenderung berjalan sendiri-sendiri, organisasi simpul BMT pun tak berfungsi maksimal dalam mewujudkan prinsip ini, terlebih kerja sama untuk saling menguatkan dari sisi permodalan. Mesti ada forum rutin bagi para pegiat BMT sehingga kerja sama saling menguatkan bisa terwujud. Saling menguatkan permodalan, saling menguatkan layanan produk, saling menguatkan tata kelola, saling menguatkan energi untuk bertahan dan bangkit dari zona kritis.
Kedua, penguatan jati diri koperasi. BMT yang berbadan hukum koperasi jangan lupa dengan jati dirinya. Member based menjadi identitas yang melekat dari koperasi, sehingga para pegiat BMT mesti fokus pada penguatan gerakan dari, oleh, dan untuk anggota. Partisipasi permodalan dan partisipasi transaksi dari anggota sesungguhnya menjadi modal utama dari BMT. Sebagai badan hukum koperasi, anggota berperan sebagai owner. Adapun dalam konteks bisnis koperasi, anggota berperan sebagai user. Posisi ganda anggota ini secara istiqomah mesti terus ditegakkan oleh pengurus dan pengelola BMT.
Ketiga, penguatan tata kelola. Tata kelola yang baik (good governance) menjadi ikhwal wajib dalam pengelolaan BMT. Hal ini perlu terus diperkuat dalam pengelolaan BMT. Beberapa BMT yang sudah memilki SOM dan SOP yang mapan harus ikhlas melakukan sharing session bagi BMT lainnya. Para pengurus dan pengelola BMT mesti open minded terhadap rujukan-rujukan best practice dari BMT lain yang sudah teruji daya tahannya sehingga prinsip Kaizen model Jepang mesti direflikasi oleh para pengurus BMT dalam menata tata kelola kelembagaan dan tata kelola bisnis BMT.
Keempat, penguatan SDI. Tata kelola yang baik tidak mungkin bisa dilaksanakan dan dipertahankan tanpa SDI yang mumpuni, sehingga upaya meningkatkan kapasitas SDI menjadi program harian yang mesti terus diupakan secara berkelanjutan oleh pengurus BMT. Dalam hal ini, agar efisiensi bisa terjaga, maka upaya saling menguatkan kapasitas SDI melalui penguatan kerja sama antar BMT mesti diwujudkan secara istiqomah. Peran simpul organisasi BMT dalam hal ini sangat penting, sehingga pengurus organisasi simpul BMT apakah berbentuk sekunder atau asosiasi mesti mesti memiliki cukup energi dan berjuang tanpa lelah menggerakan para ponggawa primer BMT.
Penguatan SDI termasuk di dalamnya penguatan misi dakwah. Ada yang meyakini bahwa capaian 5,3 % market share perbankan syariah setelah berjalan 25 tahun sejak 1992 salah satunya diakibatkan motif dakwah dari para ponggawa perbankan syariah yang rendah, bekerja mengejar gaji titik, itulah mayoritas misinya, tak heran karena mayoritas merupakan pindahan dari ponggawa perbankan konvensional yang “dibajak” oleh para elit perbankan syariah. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi pengurus, pengawas, dan pengelola BMT bahwa dalam ekonomi Islam, bisnis adalah bagian inklusif dari syariat Islam, sehingga menjalankan misi bisnis bermakna menjalan misi syariat Islam, jangan ada dikotomi antara bisnis dengan ikhtiar menjalankan syariah, misi inilah yang perlu diperkuat dan dijaga secara istiqomah, memperbanyak kajian dengan memberdayakan dewan pengawas syariah dan organisasi sekunder BMT menjadi kemestian.
Kelima, penguatan teknologi informasi. Era sekarang memang eranya teknologi canggih, revolusi teknologi informasi memberikan imbas besar bagi dunia bisnis. Perkembangan e-commerce atau bisnis online menjadi trending topic dan pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Lebih mudah, lebih murah, dan lebih cepat itulah setidaknya tagline dari revolusi teknologi. Lembaga jasa keuangan berlomba lomba menciptakan layanan yang memenuhi ekspektasi masyarakat tersebut. Mulai dari layanan m-banking, e-banking, e-money, layanan Electronic Data Capture (EDC), hingga layanan ATM yang kian mudah ditemukan. BMT pada umunya masih berjuang keras untuk mewujudkan insfrastruktur padat modal tersebut, selain dibutuhkan modal besar, dibutuhkan pula SDI yang professional dalam menyediakan layanan tersebut, sehingga hanya sebagian kecil BMT yang mampu menyediakan sebagian layanan berbasis teknologi informasi canggih tersebut. Namun demikian, jika ingin memiliki masa depan, BMT secara gradual mesti beradaftasi dengan revolusi teknologi informasi ini.
Keenam, penguatan komunikasi kepada masyarakat. Sudah sangat lama masyarakat berinteraksi dengan lembaga keuangan konvensional, berbasis riba, sehingga tidak mudah untuk langsung support dengan layanan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) seperti BMT. Masayarakat masih banyak yang meyakini bahwa layanan LKS lebih mahal, mayoritas masyarakat masih bersifat pragmatis, yang penting lebih mudah, lebih murah, dan lebih cepat, tak banyak yang memiliki motivasi idiologis, bahwa dengan memanfaatkan layanan BMT berarti mendukung ikhtiar nyata membumikan ekonomi Islam, sekalipun itu para pemuka agama dan para cendekiawan, urusan keuangan cenderung lebih pragmatis. Oleh karena itu, berbagai instrument komunikasi kepada masyarakat mesti ditingkatkan dan disebarkan lebih masif. Literasi keuangan syariah masyarakat yang rendah menjadi tantangan berat bagi BMT. Mengembangkan media komunikasi yang kreatif dan berkelanjutan mesti diprogramkan oleh para pegiat BMT. Dalam hal ini, termasuk komunikasi kepada Pemerintah Daerah (Pemda), sehingga Pemda dapat melakukan penguatan dengan melahirkan regulasi yang mendukung keberadaan BMT.
Ketujuh, Penguatan daya inovasi produk. Sebagai bagian dari entitas bisnis, bersaing dalam memberikan layanan produk yang paling bisa menjawab kebutuhan masyarakat bagi BMT adalah keniscayaan. Daya inovasi produk ditandai dengan produk layanan yang terdiferensiasi, adaftabel dengan ekspektasi masyarakat dan tuntutan dunia usaha, serta memiliki nilai tambah (added value) sebagai daya saing. Tentu dengan tetap menjaga prinsip-prinsip syariah sebagai identitas BMT sebagai LKS.
Dengan tujuh ikhtiar tersebut diharapakan terjadi penguatan resiliensi BMT. Dengan demikian, BMT dapat terus tumbuh menjadi penggerak nyata ekonomi ummat dan menjadi nakoda dakwah ekonomi pada tingkat akar rumput. Mashlahah sebagai tujuan antara dalam mencapai falah perlahan namun pasti dapat diwujudkan dengan gerakan-gerakan dakwah ekonomi melalui BMT. Insya Allah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar