Amplop Untuk Guru
Petang menjelang magrib aku sudah tiba di rumah. Kembali dari rutinitas sebagai guru di sekolah swasta. Hari ini Sabtu di penghujung hari, Reina selalu menyambutku dengan ceria. Sebelum aku memarkir kendaraan, dia sudah mencegatku. Tepat di halaman depan pagar. Aku membalas senyumnya. Membiarkan ia berlari kecil mengiringi motor yang kubawa menuju garasi. Seperti biasa, setelah aku memarkirkan motor ia akan mulai bercerita. Aku akan menjadi pendengarnya yang setia. Mendengar semua kisahnya, mulai dari garasi hingga ruang keluarga di lantai dua rumah kami.
“Pa, besok ambilkan rapor Ena, ya!” Ia mengawali ceritanya.
“Emm… iya! jam berapa ambilnya?” aku menjawab sambil bertanya.
“Jam sembilan. Ini ada suratnya,” jawabnya sambil menunjukkan selembar surat.
Ia menyerahkan selembar kertas putih dengan kop sekolah tertera di atasnya. Aku segera membaca surat darinya. Ternyata surat pemberitahuan penyerahan rapor kenaikkan kelas bagi murid kelas satu sekolah dasar. Aku membaca sambil terus mendengarkan kegiatannya di sekolah. Dia juga menjelaskan dengan lancar isi surat di tanganku. Ya, Reina memang baru kelas satu sekolah dasar tapi dia sudah bisa membaca. Dibandingkan dengan teman sekelasnya, dia termasuk anak yang cerdas. Bahkan sebelum masuk sekolah dasar dia sudah dapat membaca dengan lancar. Itu sebabnya dia mampu menjelaskan isi surat tersebut kepadaku.
“Kalau misalnya besok Papa gak bisa ambilkan gimana?”
“Gak mau. Pokoknya harus Papa yang ambilkan!”
“Papa besok mau mengajar pelajaran tambahan di sekolah,” Aku meneruskan sebelum ia memprotes lebih keras.
“Iya, tapi siapa yang mau ambilkan? Mama juga kerja,”
“Ambilkan rapor sekali-sekali aja tak boleh,” Ia terus merengek dan bersikeras agar aku bisa mengambilkan rapornya di sekolah.
“Emmh… jam 9, ya?” tanyaku meredakan kekesalannya.
“Iya…” Ia menjawab sambil menyeka air matanya yang mulai meleleh membasahi pipi.
Aku terdiam sejenak memikirkan bagaimana caranya supaya dapat memenuhi permintaanya. Aku tidak mungkin menolak karena ibunya juga pasti tidak bisa karena pada hari Sabtu masih bekerja. Sementara aku pada hari Sabtu sebenarnya waktu libur. Hanya saja waktu libur itu kupergunakan untuk memberikan pelajaran tambahan bagi siswa-siswaku di sekolah. Akhirnya, aku menemukan cara supaya dapat menemani Reina mengambil rapor di sekolahnya. Jadwal pelajaran tambahan ditunda. Sampai aku selesai dengan urusan rapor Reina. Toh, pasti tidak akan lama pikirku.
Malam selepas salat Isya. Reina kembali mengingatkanku. Kali ini di depan ibunya, ia sekali lagi meminta agar aku bisa menemaninya besok. Mengambil rapor kenaikkan kelas di sekolah.
“Besok jadi kan, Pa?” tanya Reina penuh harap.
“Iya jadi,“ jawabku pasti.
“Memangnya ambil rapor jam berapa besok?” istriku menimpali pembicaraan kami.
“Jam sembilan, Ma,” jawab Reina.
“Oh.. gitu ya? tapi maaf ya sayang. Mama gak bisa temankan Ena karena besok mama masih kerja. Juga gak bisa minta izin,” istriku menimpali sekali lagi.
“Ya udah, gak apa-apa. Biar sama Papa aja,” Reina menjawab sambil menahan kantuknya.
“Terus, besok Ena mau kasih hadiah apa sama ibu guru?” tanya Reina dengan polos.
“Sudah mama siapkan. Nanti mama titip dengan papa. Sekarang Ena tidur dulu sama abang, ya”
“Iya, Ma,” jawab Reina sembari berlalu menuju kamar tidur.
“Hadiah?” aku bertanya dengan kening berkerut. Masih belum paham pada apa yang dikatakan Reina. Memang selama ini yang selalu berurusan ke sekolah adalah ibunya. Mulai dari mendaftarkan Reina masuk sekolah. Mengantar surat izin atau memberitahu wali kelas jika Reina sedang sakit atau izin tidak masuk sekolah. Termasuk urusan mengambil rapor untuk Arasi, abangnya Reina.
“Iya, hadiah,” jawab istriku menghentikan kebingunganku.
“Hadiah apaan?” balasku.
“Biasanya yang ngasih hadiah itu guru kepada muridnya yang berprestasi” aku melanjutkan jawabanku.
“Kenapa sekarang jadi terbalik?” aku bertanya dengan raut wajah penasaran.
“Beda, Pa, jaman sekarang murid yang ngasih sesuatu kepada guru,” istriku membalas pertanyaanku sambil tersenyum.
“Terus, mau kasih hadiah apa?” aku bertanya sekali lagi.
“Apa ajalah… bisa baju batik, bisa set gelas cantik, bisa asesoris, bisa juga amplop,” istriku menjelaskan dengan hati-hati.
“Amplop?? terus berapa isi amplopnya?
“Sepuluh sampai dengan lima puluh ribu, tergantung orangnya,” jawab istriku.
“Amplop dikasih ke siapa?” tanyaku penasaran.
“Ya dikasih ke wali kelasnya lah,”
“Jadi semua murid ngasih amplop atau hadiah ke wali kelas?” tanyaku memastikan.
“Iya… bukan murid aja. Orangtuanya juga malah ada yang memberikan secara pribadi. Langsung kepada wali kelas sebagai ucapan terima kasih,”
“Mungkin juga supaya nilai anaknya bagus terus, gak ada merahnya,” istriku melanjutkan jawabannya.
“Mama juga sering kasih amplop?”
“Seringlah, habis mau gimana lagi? Malu dong sama orang tua murid yang lain. Mereka rata-rata memberi amplop atau hadiah. Jadi ya, hampir semua orang tua murid memberikan itu,”
“Jadi selama ini dibiarkan saja oleh pihak sekolah?”
“Terus kepala sekolah diam aja?” aku terus mencecarnya dengan pertanyaan.
“Bukan hanya dibiarkan Pa, kadang jadi ajang pamer bagi wali kelas yang dapat amplopnya banyak,” istriku menjawab dengan suara yang agak meninggi.
“Astagfirullahhaladziiim,” aku membatin dalam hati.
“Tahun lalu pernah ada pengawas dari dinas pendidikan yang melarang orang tua atau murid memberikan sesuatu kepada guru saat penyerahan rapor,” istriku menambahkan.
“Semua guru tidak ada yang berani menerima hadiah ataupun amplop meskipun ada orang tua yang ngotot memberikan dengan alasan sebagai ucapan terima kasih. Mereka menolaknya dengan halus dan mengatakan hal tersebut dilarang dan tidak diperbolehkan lagi,”
“Tapi sejak pengawas tidak muncul pada saat penyerahan rapor, kebiasaan lama itu kambuh lagi. Tidak bisa juga menyalahkan guru. Kemauan orang tua murid sendiri. Lagi pula tidak ada paksaan,” istriku menjelaskan panjang lebar.
Aku terdiam dan tidak membantah apalagi melarang istriku saat dia menyiapkan amplop dengan selembar uang dua puluh ribuan. Aku juga tidak bisa menyalahkan tindakan istriku. Posisinya memang serba salah. Di satu sisi ia memang enggan memberikan amplop tersebut tapi di sisi lain ia merasa tidak enak hati dengan orang tua murid yang sudah terbiasa memberikan amplop. Aku hanya mengingatkannya saja supaya kebiasaan itu jangan diteruskan meskipun alasannya hanya sebagai bentuk ucapan terima kasih.
Oh, Tuhan! Dunia memang sudah terbalik. Seingatku, saat aku sekolah dulu. Sejak sekolah dasar hingga tamat di sekolah menengah atas tidak sekalipun pernah terjadi siswa memberi sesuatu pada saat penyerahan rapor kenaikkan kelas. Malah sebaliknya, guru khususnya wali kelas akan memberikan hadiah pada murid-muridnya sebagai penyemangat bagi para juara agar dapat mempertahankan prestasi. Meskipun hadiahnya kecil. Hanya beberapa lembar buku tulis dan pensil tetapi itu sudah sangat membanggakan bagi murid. Tetapi kali ini keadaan sudah berbeda. Justru murid yang memberikan sesuatu kepada wali kelasnya.
Malam semakin larut. Istriku telah terlelap di kamar tidur bersama anak-anak. Aku masih di ruang tengah mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Rasa penasaran dan keberatanku jika harus memberikan amplop pada wali kelas membuat aku belum bisa memejamkan mata. Bagiku, memberikan hadiah atau sesuatu kepada guru apalagi jika itu diringi dengan niat untuk mendapatkan nilai bagus adalah tindakan yang tidak pantas.
Jika tujuan pemberian hadiah itu sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada guru tanpa ada maksud tertentu, bagaimana dengan anak-anak yang orang tuanya kurang mampu? jelas mereka akan merasa guru bersikap tidak adil, merasa semakin terlupakan dan dipinggirkan jika acuan terima kasih harus diukur dengan materi. Menurutku, ungkapan terima kasih tidak harus dinyatakan dengan materi. Bisa dalam bentuk lain yang tidak menimbulkan kesan negatif di kemudian hari.
Pemberian materi dengan tendensi untuk mengharapkan balas budi. Jelas merupakan tindakan yang bisa merusak tatanan sosial masyarakat karena bagi mereka yang memiliki materi berkecukupan pasti akan lebih banyak mendapatkan keuntungan. Sementara yang tidak mampu akan merasa dirugikan. Sembari membayangkan ketidakadilan yang akan dirasakan anak-anak yang tidak mampu. Aku memberanikan diri membuka amplop yang disiapkan oleh istriku. Perlahan namun pasti kertas dua puluh ribuan di dalam amplop kuganti dengan selembar kertas putih.
Di situ telah kutuliskan sebuah pesan, “Terima kasih karena Ibu telah mendidik anak kami dengan baik. Salam dari kami orang tua murid. Tertanda orang tua murid.”. Segera setelah melakukan hal itu, hatiku terasa lega. Aku dapat memejamkan mata. Tidur nyenyak malam ini dan berharap yang terbaik untuk esok hari.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hal seperti itu sudah lama terjadi, Pak. Waktu saya sekolah dulu dari TK hingga SMA itu terus berlangsung. Sampai ponakan saya juga mengalaminya. Sejak ada aturan tentang pungli barulah hal seperti itu ditiadakan. Menurut saya kalau untuk ucapan terima kasih itu masih wajar tapi kalau untuk menambah nilai ini tidak pantas dilakukan.
Benar sekali, Bu. Sebenarnya hanya perlu ketegasan dan konsisten dalam mengikuti aturan saja. Saya tidak menampik kalau di tempat saya juga terjadi demikian. Dan cenderung pemberian itu bertendensi utk mendapatkan nilai yang bagus dibanding ucapan terima kasih yang tulus.Tetap semangat mengajar untuk Indonesia yang lebih baik!
Kalau memberi sebagai ucapan terimakasih dan setelah nilai rapor jadi sepertinya tidak masalah. Kecuali hadiah atau amplop diberikan sebelum pengolahan nilai. Bisa jadi ada maksudnya. Yang jelas jangan ada pemaksaan dan diskriminasi. Salam sehat dan sukses selalu Pak.
Salam sehat, salam literasi dan sukses selalu, Bu