Hartoni

Guru Bahasa Inggris SMP IT Cahaya Makkah Pasaman Barat...

Selengkapnya
Navigasi Web
Hargailah Proses

Hargailah Proses

Hargailah proses

            Pernahkah terlintas dibenak kita?, ukiran kayu yang begitu menawan bagi para penikmatnya, hingga para jutawan tak berfikir dua kali langsung merogoh kocek yang mungkn bag sebagian orang melihat itu hanya sekedar menghamburkan uang semata jika melihat dana yang begitu fantastis hanya untuk sebilah ukiran. Tentu aku sebagai manusia awam juga akan berpendapat demikian, tetapi tidak dengan mereka yang mengerti kualitas kayu serta karya pahat yang begitu luar biasa yang tidak semua orang juga mampu berkarya demikian.

            Bukanlah sebatas ketekunan Sang Pemahat yang menghasilkan liukan pisau ukir yang memukau setiap mata yang memandangnya, melainkan ada kerja kolektif di belakang layar sebelum sampai kepada para pecintanya. Lembar demi lembar papan adalah bagian yang terpisah dari balok kayu yang dipikul orang tertentu demi mengharapkan lembaran rupiah meski tanpa menghiraukan berapa jarak tempuh dari hutan hingga mampu dibawa truck sampai ke kota.

            Tak cukup sampai disana, penebang pohon memberanikan diri menerobos hutan yang jadi tempat lalu lalangnya binatang buas demi sebatang pohon yang memiliki nilai jual yang tinggi. Semua itu hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga walau hanya sebatas cukup. Rintangan demi rintangan Ia lalui, dinginnya hujan serta panasnya terik matahari bagai seorang teman sejati dalam kesehariannya. Bahkan tak jarang, kerusakan mesin Chain Shaw sering menjadi kendala sebagai sumber nafkah seakan tak mengerti kebutuhan hidup yang kian hari makin mencekik bagi kaum yang miskin papa. Kadangkala Anton juga mengeluh atas apa yang menimpanya.

            “sudahlah mesin sering rusak, Bos juga tak memberi modal” keluhnya dalam hati sambil mengusap kening yang sudah jadi kebiasaannya.

            Bukan tanpa alasan, si Bos hanya membeli kayu olahan bukan menanamkan modal, sebab sering terjadi jika modal sudah diberikan kadangkala barang yang diminta tidak sesuai pesanan. Sang Pekerja seringkali beralasan kebutuhan yang mendesak misal anaknya yang kuliah minta dikirim uang untuk biaya kuliah semester akhir, maklumlah biayanya sangat besar bagi ukuran Anton yang sehari-harinya hanya sebagai petani. Yang pada akhirnya, modal usaha yang diberikan sering minus ketika ingin mengeluarkan kayu olahan dari hutan, sebab minyak mesin juga upah tukang lansir juga butuh uang yang lumayan. 

            Tak tanggung-tanggung omset hasil kayu olahan bisa mencapai jutaan perminggunya. Siapa yang tak menelan ludah jika melihat lembaran demi lembaran kayu yang teronggok kini sudah berobah jadi lembaran rupiah merah. Tak siapakah kita bermandikan peluh, menguras tenaga disisa-sisa usia?, tentu hanya sebagian orang yang mampu. Tentu bukan itu semata alasannya. Kerja yang sukar didapat, modal usaha yang sedikit, hingga Pak Anton memberanika diri mengambil resiko jika sewaktu-waktu harus berhadapan dengan petugas yang berwajib.

            Ketika olahan kayu sudah dimasukkan kedalam truck maka saat itu juga lembaran rupiah itu masuk ke kantong Pak Anton.

Sambil berdoa ia berucap “Alhamdulillah, anak-anak bisa makan juga ada sedikit untuk biaya sekolah”.

Uang itu beliau titipkan kepada Buk Yuli, sebagiannya digunakan untuk membeli keperluan dapur yang pada waktu tertentu Asap dapur tak mengepul seperti para tetangga di sekitar rumah.

“Makasih ya Pak, besok-besok kasih belanja yang banyak ya Pak” tukas Buk Yuli sambil cengengesan.

“ya Buk” Pak Anton mengiyakan.

Padahal dalam hatinya “syukur-syukur masih ada penghasilan, besok mungkin sudah dibalik jeruji besi”.

Bisa dikatakan pekerjaannya termasuk ilegal logging karena hutan yang jadi sumber nafkahnya belum pasti masih termasuk tanah ulayat atau sudah masuk kawasan hutan lindung. Meskipun tanah ulayat menebang pohonnya juga sangat membahayakan kelangsungan hidup anak cucu di sekitaran lembah yang bisa saja menyebabkan banjir seketika. Kini tanda-tanda itu mulai nampak akibat kerusakan hutan.

Kadang Ia masih berkilah “Hutan memang milik negara tapi yang olah kan saya”, “uang negara milyarankan dirampok mereka yang terdidik” Lagi-lagi muncul alasan klasik hanya sekedar untuk membela diri.

“Benar Bang, kita kan merusak alam untuk nafkahi keluarga”

“Ah …kau ini Ron, tumben nyahut, merasa senasib ya?” sahut si Rudi

Eh kenalkan si Ron, sosok pekerja tangguh sebagai juru angkat kayu yang sudah lama bekerja dengan Pak Anton. Kalau dilihat perawakannya rasa tidak mungkin beliau mampu mengangkat balok kayu yang baru saja diolah. Tapi…., wajarlah sudah lama beliau bekerja demikian  meski bukan tiap hari. Karna sehari-harinya bekerja sebagai Petani Nilam yang kini harga jualnya mulai menurun.

Si Rudi juga bukan orang sembarangan, meski hanya seorang Supir angkut, sangat memiliki andil besar kayu olahan biar sampai ke pengolahan Mebel untuk di Expor ke luar negeri untuk koleksi Saudagar ternama. Jika tanpa si Rudi, rasanya akan mustahil bagi Pak Anton untuk terus bekerja mengolah kayu Hutan. Biasanya hanya sebatas kayu di kebun masyarakat, misalnya pohon durian.  

“Ternyata harus punya Backing juga biar mulus bisnis kotor yang mereka jalankan”

Itulah pendapat anak muda yang baru setahun lulus kuliah, Hendra biasa panggilannya. Ia bukanlah orang asing bagi Para Pekerja karena ia merupakan anak sulung dari Pak Anton. Semenjak bekerja sehabis tamat kuliah meski tidak banyak ia sudah mampu menopang perekonomian keluarga. Juga dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan alam diantara kakak beradik. Pemikirannya yang bertentangan dengan pekerjaan sang Bapak, memang sudah lama ia tunjukkan lewat sikapnya. Namun lagi-lagi hanya mampu terdiam melihat kondisi perekonomin keluarga yang morat-marit. Mengalah sebab belum mampu menjadi tulang punggung keluarga seperti cita-citanya dulu.

“Yah, masih muda bekerjalah yang giat untuk menyekolahkan kami”, “ semoga ketika tua biar kami mampu membantu ayah saat semua kami memiliki pekerjaan layak” kata-kata yang terpatri dalam hati Hendra yang menjadi janji bagi jiwanya.

Namun disisi lain, Hendra masih ragu atas janjinya,  akankah terwujud. Begitu banyak anak yang tak mampu mengurus orangtua meski mereka ada 5 bersaudara. Bukan tak punya pekerjaan, gajinya begitu Wah..namun tak sebanding dengan bukti sayang orangtua kepada anaknya meski dirundung keterbatasan. Jangankan untuk biaya hidup dimasa tua, menelpon orangtuapun jarang.

Keraguan itu berhasil ditepisnya, setelah teringat kenangan manis bersama Sang Kakek yang ketika pergi dan pulang kuliah setelah liburan selalu menangis sambil memeluk si cucu. Karna rindu yang teramat dalam karena harus kuliah di luar Provinsi tepatnya Sumatera Utara. Pernah si kakek bercerita kepada Ibu, suatu saat beliau berharap untuk mencicipi hasil kerja si Hendra setelah tamat kuliah. Namun apa dikata, umur itu berakhir jua kembali kepangkuan Sang Ilahi. Tak ingin terulang kembali kepedihan itu, tekad itu makin membaja untuk membahagiakan orang tua, tak ingin lagi raut wajah yang kian hari mulai menua meneteskan air mata.

Berat hati Hendra melihat Pak Anton yang masih kerja berat di usianya yang sudah masuk kepala lima. Dua tahun kedepan, berusaha diiringi doa untuk memungut pundi-pundi rupiah hingga pada akhirnya mampu memberi yang terbaik. Paling setahun lagi sisa tenaga itu mampu dipaksa, pada saatnya nanti akan meminta rehat untuk berfokus diri mengabdi pada sang khalik. Kondisi ini yang hendra harapkan, jangan sampai sudah tak mampu lagi gigi itu mengoyak makanan lezat baru Ia menunjukkan pengabdiannya.

Hidup itu mesti harus berproses. Jangan hanya terpaku pada Syair-syair para pujangga “Biar lambat asal selamat”. Mari kita robah, cepat juga selamat, tapi kita berupaya menghindari keadaan yang terburu-buru.

Begitu juga dengan perjalanan hidup yang berliku-liku yang dialami hendra. Pernah ia merasa dalam puncak tertinggi pencapaian sebagai seorang Mahasiwa. Mampu menjadi salah seorang pembicara di acara seminar bergengsi yang dihadiri 500 Mahasiswa lintas kampus. Tak cukup sampai disana seluruh peserta itu Ia dapatkan hanya dalam waktu yang singkat. Hanya butuh tiga hari sementara waktu yang tersedia selama satu bulan dengan panitia 15 orang, hanya diselesaikan olehnya seorang saja.

Pernah juga satu ketika, harus melarikan diri, merasa terasing, sendiri ditengah keramaian. Berkecamuk bathin atas semua gejolak yang timbul akibat pernah ambil langkah yang salah berujung fatal. Terlilit hutang, kuliah yang tak tahu kapan akan diwisuda. Terhentak bagai sebatang pohon yang baru jatuh ditengah hutan yang sepi.

Percaya diri yang memudar, hati yang dirundung duka. Semua bertali diwaktu yang sama, hingga melarikan diri layaknya kisah Marga Nasaktion yang dikejar hulu balang sang raja. Meski diakhir hikayat si Nasaktion diselamat seekor ular yang membentang sepanjang sungai. Begitu pula perjalanan si Hendra menemukan kembali Jati Dirinya. Bekerja di Kebun Pak Haji dekat muara Sungai Batang Gadis Mandailing Natal. Berteman dengan binatang malam, hanya seorang diri yang dikelilingi pepohonan rindang yang belum dijamah pemiliknya.

Hingga pada akhirya mampu keluar dari cengkraman masalah yang melilit lehernya. Sebab hutang, biaya kuliah yang sempat tertunda sudah terbayarkan.

Sempat seorang Bapak keturunan Nias berkelakar “Masih bujang kok mau bekerja sendirian, Bapak aja yang sudah berkeluarga tak akan seperti adek”.

Kala itu aku hanya diam seribu bahasa, tak menjawab meski satu kata.

Hendra memahami ada hikmah dibalik semuanya. Kita juga harus pernah menangis untuk memahami indah sebuah senyuman. Berada di puncak bukit untuk merasa manisnya perjuangan melewati rintangan pendakian. Pernah tersakiti untuk merasa kesenangan. Semua dinamika hidup harus dilalui, bukankah ukiran kayu yang begitu indah awalnya hanya sebatang pohon yang ketika dipotong jatuh menghujam ke bumi, dipotong, cincang, terhempas kemudian sampai ke Pekerja Seni dipahat kemudian diberi warna. Semua itu butuh proses yang panjang untuk menjadi karya yang memukau penikmatnya. Begitu juga kita sebagai manusia menapaki pahit getirnya yang tak punya Ilmu, khilaf, kemudian belajar pada akhirnya kembali kepada sang khalik sebagai Insan yang dirindukan keluarga yang ditinggalkan.

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post