PROFESIONAL
Sudah lama sekali TV di ruangan atas itu rusak. Matot—mati total. Dan selalu gatot—gagal total untuk dinyalakan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Lampu indikator yang berwarna merah di bawah bingkai TV, di pojok kanan itu pun tidak menyala lagi kalau kabel listriknya dicolokin ke stop kontak.
“Ini remote TV-nya kanapa ya? Kok gak berfungsi?” istriku memukul-mukulkan remote TV itu ke bantal. Itu kebiasaannya, karena pengalaman TV-nya yang jadul. Baterei remote-nya sering kendor. Nah, makanya dia mengeluh saat itu. Aku gak ngeh dengan kelakuannya waktu dia senewen gara-gara remote control-nya ngadat, mirip anak kecil gak mau makan nasi.
“TV-nya rusak!”
Deeeeeg!!! Degub jantungku naik tiga kali lipat. Kuenceng banget.
“Ah, masa?!” aku auto gak percaya. Lha, kemarin saja masih kutonton kok siaran dari TV itu.
Analisa sementara, rangkaian power untuk menghidupkan TV itu jelas pasti yang rusak. Bukan remote kontrolnya. Itu dugaanku sementara. Maklum, dulunya aku sempat mengajar tentang Elektronika, walaupun sekarang dunia itu sudah lama sekali aku tinggalkan. Ada sedikit-sedikit pengetahuan tentang TV masih kumiliki hingga detik ini. Kata orang sih, tahu kok cuma sedikit…
Pantesan setiap masuk ke ruangan itu selalu mencium bau bangkai terus—hihihi (emang ada tikus yang mati di dalam TV?). Seketika aku teringat dengan salah seorang siswaku yang hampir lulus kuliah, dia sedang menempuh D3, kuliahnya di Jogya (sssstttt, jangan keras-keras, dia belum kelar tugas akhirnya brow).
Sewaktu dia sekolah—di SMK tentunya, dia menjadi adik kelas anakku. Dan ketika dia melanjutkan kuliah di Jogja—melalui jalur PMDK, dia pun juga menjadi yuniornya anakku—si Sulung. Kok bisa ya brow? Aku teringat akan kemahiran dan skill yang dia miliki, terutama di bidang ngoprek benda-benda yang berbau elektronik.
Tak begitu lama, setelah diskusi dengan istriku, aku pun menghubunginya. Karena istriku sudah merasa tersiksa, kalau pingin nonton siaran TV di ruangan atas. Maklum, tugas ibu-ibu, kalau menggosok pakaian minta ditemani acara TV. Dan di ruang atas, dia sudah terbiasa melihat—memelototi TV flat yang ukurannya besar, sambil gegoleran (tiduran) di sofa kalau sudah selesai menggosok pakaian—menyetrika baju, celana, daleman dan lain-lain (biar semua paham). Karena saat ini, TV itu sedang sekarat—bahkan koit mesinnya. Sekarang ini, di ruang itu diganti dengan TV yang seukuran 12 inchi—seperti TV yang di ruang si Bungsu. “Aduuuuuh, bikin tunduh—ngantuk!” ungkapnya.
Semenit yang lalu jemariku lincah menari di atas keypad touch screen HP-ku. Huruf demi huruf sudah terangkai menjadi kata—dan kalimat pun selesai.
"Sedang di Jogja atau Bogor? Bisa nyervis TV?" aku WA dia untuk menanyakan posisinya saat ini, dengan kalimat yang tadi kutulis.
"Bogor. Bisa Pak. Rusak apanya?"
Responnya sungguh cepat mengomentari WA-ku.
"Liat aja ke rumah kalo ada waktu..."
Setelah ber-WA ria dengan dia, tidak ada balasan lagi. Sibuk kali ya?! Batinku sempat menerka-nerka. Aku pun beraktivitas, melanjutkan pekerjaanku yang tertunda.
Tidak lama kemudian, sehari setelah ngobrol via chat itu, anak yang kemarin kuhubungi via WA datang ke rumah. Kalemnya masih belum berubah. Senyumnya selalu sumringah. Tanpa babibu, dia langsung masuk ke dalam rumah dan kusuguhi TV rusak. Maunya dia begitu sih…
Coba dengerin jawaban dia ketika kutanya.
“Ayo masuk! Mau minum apa?”
“TV bapak mana?” potongnya.
Begitu sahutnya. Gak salah kan kalau kusuguhi TV rusak?!
Kuperhatikan sejenak. Dia tekun dalam menganalisa setiap komponen. Cara otaknya membuat alur algoritma dalam mendeteksi kerusakan, sudah jelas dia berdasarkan konsep—SOP (standar operasi prosedur). Analisanya aku anggap bisa menjadi acuan kalau dia seorang profesional di bidangnya. Logika berpikirnya menunjukkan kalau dia menguasai setiap mili, setiap jengkal alur komponen yang ada pada blok modul itu.
"Pak, ini yang rusak, pada bagian IC mesinnya. Kalau ibarat sebuah komputer, yang rusak di bagian prosessornya, ada yang jebol."
"Kudu diganti satu blok itu ya...," tanyaku.
"Iya. Bisa pesen online kok Pak...," begitu sarannya.
Aku dan dia melanjutkan diskusi di ruang tamu. Gitar anak sulungku yang tergeletak di kursi ruang tamu, diraihnya. Sambil ngobrol, jemari-jemarinya lincah memetik dawai-dawai gitar tadi. Aku kagum. Anak itu mahir banget memainkannya. Profesional sekali bermain melodi—teknik fingerstyle-nya begitu mahir.
“Dulu ikutan eskul rohis kan sewaktu sekolah?” tanyaku penasaran.
“Iya Pak?” sahutnya. Jemarinya masih memainkan senar-senar gitar itu.
Anak rohis kok mahir main gitar?! Itu rasa penasaranku. Biasanya rebana—marawis, atau sholawatan. Lha, ini kok jauh dari kodrat?!
“Belajar main gitar dari mana?”
“Pak.., terus terang. Sebenarnya saya ini seusia dengan mas Ryan—putra Bapak. Dulu sewaktu saya duduk di bangku SMP, hobiku main band dengan teman-temanku. Kami sudah memiliki lagu sendiri…,” cerita dia. Aku sedang tertegun mendengarkannya berbicara,”Bahkan saya yang paling getol untuk ngeband dibanding teman-teman di grup bandku. Gara-gara main band yang tidak kenal waktu, belajarku terbengkelai. Saya di DO oleh pihak sekolah…”
“Lha terus kok bisa lanjut ke SMK?”
“Iya Pak. Dua tahun saya menganggur. Menyesal saat itu. Sampai-sampai saya mencium kaki mamah-ku. Karena aku anak paling gede yang tidak dapat memberi contoh adik-adikku. Setelah melalui ujian paket C, saya diterima di SMK. Saya berjanji ke orang tua, terutama mamah-ku. Tidak mau lagi main band dan menyia-nyiakan waktu. Akan mengisi kegiatan di sekolah dengan eskul yang poisitif…,” ungkapnya.
“Ooooh, seperti itu?”
“Betul Pak…,” angguknya.
Anak itu pun pamitan pulang dengan membawa segenap perasaan, di hatinya seakan terpancar. Sebuah perasaan yang tenang. Walaupun belum dapat memperbaiki kerusakan TV-ku. Dia rada sedikit kecewa. Karena saat dia berangkat dari rumahnya menuju ke rumahku, sedang tidak memiliki cadangan modul yang dapat dia bawa untuk mengganti modul yang rusak.
Akhirnya aku pun harus memesan blok rangkaian itu via online. Kudu sabar. Aku mengikuti sarannya. Beberapa hari yang lalu, anak sulungku memesan modul TV via online.
Menunggu beberapa hari pesenanku pun tiba. Sehari setelahnya, aku beri tahu. Alumniku itu pun datang lagi ke rumah. Lagi-lagi dia tidak minta disuguhi minuman. Begitu keingannya. TV rusak yang kemarin yang dia minta untuk disuguhkan, aku keluarkan lagi. Tidak membutuhkan waktu yang lama—GPL, kata orang-orang! Setelah dipasang oleh dia, modul penggantinya ke tempat blok yang rusak. Akhirnya bangkai TV-ku pun bisa menyala kembali. Aku salut dengan tangan dinginnya.
"Berapa ongkosnya?"
"Terserah Bapak saja!"
"Tidak boleh bilang begitu. Kalo kamu punya usaha dan setiap mengerjakan sesuatu hanya dihargai dengan ucapan dan jasa terserah, lambat laun pasti usahamu akan bangkrut!"
"Hmmm, gimana ya Pak. Saya gak enak..."
“Kalau gak enak jangan dimakan..,” candaanku hanya membuat dirinya tersenyum.
Anak itu terdiam sekali lagi. Pikirannya bingung. Sungkan, denganku. Karena menganggap diriku mantan gurunya. Apalagi ada anak sulungku, teman dia juga.
"Kalo setiap ilmu dihargai dengan perasaan, pasti juga gak akan berkembang. Sudah deh, enak gak enak katakan nilainya. Kalau kamu sudah punya job kerja, share aja deh ke WA bapak. Biaya mendeteksi, asembling dan ongkos kerjamu. Itu sebagai patokan harga yang kamu buat. Bapak dikirimin ya via WA. Dan itu konsekuensinya yang harus bapak bayar, sesuai hasil jerih payahmu. Oke..."
Dia menganggukkan kepala.
"Maaf, Pak, kalo begitu biayanya segini....," jari tanganya menunjukan sebuah angka.
"Nah, begitu..., itu namanya kamu profesional!"
“Iya Pak, saya paham.”
Aku pun memberikan nilai rupiah, sesuai yang diungkapkan dengan jarinya.
Ilmu itu mahal. Coba perhatikan, anak-anak lulusan SMA yang diterima kuliah di sebuah fakultas favorite. Barangkali membuat decak kagum dan sangat fantastis nilai rupiahnya yang harus disetorkan, demi bisa kuliah di tempat itu. Bisakah anak orang miskin masuk ke fakultas yang seperti itu?! lha, kok aku malah melamun yang gajebo.
Sejenak aku tersadar. Siswaku sudah mau pamit pulang.
“Itu, airnya diminum…!”
“Suguhannya kan TV rusak Pak, gak ada air minum…”
Aku terbahak. WKWKWK. Oh, iya, ya. Setiap dia kemari, selalu saja yang disuguhkan untuknya hanya TV rusak. Dan akhirnya, sampai TV itu berhasil hidup lagi, anak itu belum minum seteguk air pun. Bahkan nego pembayaran jasa dari hasil servisnya kuberikan, dan barusan dia pamit pulang. Gak meminum air. Kasihan….
*****
Sebuah dialog yang mungkin sering terjadi di antara orang-orang yang sedang merintis usaha dari bawah, dengan rekan bisnisnya. Tapi kebiasaan orang yang memakai jasanya selalu saja menjadi penyebab.
Nah coba tebak olehmu, penyebab apa hayo....?!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ceritanya sangat menarik
Terima kasih...
Sangat menginspirasi Pak,jadi teringat dlu ketika usaha reparasi komputer kalau di tanya soal harga oleh pelanggan selalu dijawab "Seikhlasnya saja Pak / Bu" hehe
Eh, ada Tedy. Gimana kerjanya? Mau lanjut S1 ya setelah lulus IPB? Bismillah semoga lancar untukmu. Iya, kudu bertindak profesional untuk membuka usaha dan bekerja.
Ceritanya keren pak.. sangat menarik