MENYEMAI LITERASI DI SAKOLA ISTRI
MENYEMAI LITERASI DI SAKOLA ISTRI
Wow..., asyik! Aku punya teman baru. Paling tidak aku bisa berkencan, meskipun hanya lewat chat. Selain itu, sisa waktuku, setelah selesai mengerjakan tugas-tugas kepengawasanku, tidak terbuang percuma. Artinya, aku bukan tergolong orang yang merugi, yang menyia-nyiakan waktu. Siapa teman baruku itu? Sejak 6 September 2017, Bu Hj. Nuraeni menambahkan aku sebagai anggota baru group Asosiasi Guru Penulis (AGP) PGRI Jawa Barat dalam whatsapp.
Dua hari menunggu, chat pertama datang dari Bu Badriah, guru Bahasa Inggris SMA Negeri 2 Cianjur. Secara langsung aku belum mengenalnya. Sosok Guru Berprestasi II Tingkat Nasional Tahun 2016 itu lebih banyak kuketahui lewat acara talkshow di salah satu stasiun televisi swasta.
“Assalamualaikum, saya masih terus menulis setiap hari. Sesekali silakan kunjungi http://badriahbadriah.gurusiana.id/article/hari-ke-50-dipaksa-tidak-mengajar 1244661,” begitu sapanya.
Kuambil laptop. Sesuai dengan undangannya, segera kubuka blog milik Bu Badriah. Dengan khusuk aku menyisir baris-baris kalimat tulisannya. Belum selesai aku membaca, sebuah tepukan ringan mendarat di pundakku. Aku tersadar.
“ Waktunya shalat Jumat!” tegur Bu Eny, rekan kerjaku. Kulihat jam yang melingkar di lengan kiriku. Pukul 11.25.
“Astaghfirullah...!” jeritku dalam hati. ”Sekhusuk inikah shalatku?” Aku tertunduk. Malu pada Yang Maha Kuasa. Bergegas aku ke mesjid. Sebuah tekad terpahat di hati. “Aku harus tuntaskan membaca artikel itu.”
Seusai shalat Jumat, aku langsung melunasi sisa utang membacaku.
“Luar biasa!” ucapku saat selesai membaca kalimat terakhir artikel tersebut. “ Guru dipaksa memutar otak agar tetap mengajar di kelas yang siswanya justru enggan belajar karena kelelahan akibat full day dan tugas yang menggunung. Metode impromptu yang digunakan Bu badriah mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Tanpa disadari, siswa belajar tentang konjungsi dengan memanfaatkan gawai android yang tengah digandrungi generasi digital.”
Masih ada 49 artikel lagi yang belum sempat kubaca. Mata plusku terasa lelah. Laptop segera ku-shuting down. Aku kagum pada konsistensi Bu Badriah untuk menulis setiap hari. Tiba-tiba keinginanku untuk menulis menggeliat. Dulu, aku suka menulis. Puisi, cerita pendek, novel, karya tulis ilmiah, bahkan cerita bergambar pun pernah kutulis. Tapi, kegemaranku itu sudah terkubur hampir dua belas tahun lamanya. Otomatis, tak satupun karya tulis terlahir dari tanganku.
Sebenarnya keinginanku untuk menulis bukan datang ini kali saja. Keinginan itu sering muncul ketika membaca tulisan para penulis terkenal. Aku ingin seperti mereka. Lagi-lagi virus malas membunuh keinginanku itu. Pernah kucoba beberapa kali menulis, tapi selalu tak tuntas. Aku sempat berpikir, mungkin otakku sudah tumpul untuk menulis. Akhirnya, menyerahlah aku!
Tiga hari berselang. Aku bermaksud memantau pelaksanaan gerakan literasi sekolah. Aku berkunjung ke salah satu sekolah binaanku. Letaknya persis di samping kantor tempat kerjaku. Tanpa bersusah payah aku sampai di sana. Namanya, Sekolah Dasar (SD) Negeri Cugenang. SD ini dikenal dengan sebutan Sakola Istri yang diambil dari bahasa Sunda. Sebutan itu secara harpiah berarti Sekolah Perempuan, karena semua gurunya bergender perempuan. Hingga kini sebutan Sakola Istri masih tetap melekat, meskipun mulai 17 Juli 2017, Pak Adia Permana bertugas sebagai Guru Olah Raga di SD ini.
“Ada kesulitan, Pak,” ucap Bu Ai, guru kelas 1, saat kami berbincang-bincang sambil menghabiskan waktu istirahat. “Persediaan buku bacaan yang kami miliki sangat terbatas.”
Aku terdiam.
“Saya sudah berusaha mencarinya, tapi toko buku di Cianjur jarang menjual buku cerita. Peminatnya kurang, begitu kata si pemilik toko.”
Kembali aku terdiam. Dalam hati aku membenarkan ucapan Bu Ai . Aku teringat pada anak sulungku, Nada, yang sekarang duduk di bangku kelas XI. Dia merengek minta dibelikan novel. Saat kuajak dia ke toko buku yang berada di sebuah mal terbesar di kotaku, aku kaget. Ternyata toko buku itu sudah tutup beberapa minggu yang lalu.
“Jangan-jangan toko buku itu gulung tikar karena sedikit pembelinya.” Aku menduga-duga. “Sebegitu rendahnyakah minat baca masyarakat Cianjur?”
Seketika aku tersadar. Aku punya beberapa dongeng yang aku unduh dari www.nusantarabertutur.com. Segera aku salin-tempelkan pada laptop Bu Ai.
“Mudah-mudahan ini bisa membantu mengatasi kesulitan itu ,” ucapku.
“Terima kasih, Pak.”
“Oh...,ya! Bolehkah saya membantu kegiatan literasi di kelas 1?” Aku meminta izin.
“Silakan, Pak!” Bu Ai tersenyum lebar.
Di ujung pertemuan, aku dan Bu Ai sepakat. Setiap Selasa aku bertugas mendongeng di kelas 1 selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Tugas baru yang menantang! Aku akan memulainya pekan depan. Aku harus mempersiapkannya, pikirku dalam hati.
Aku membongkar tumpukan buku di lemari perpusatakaan di rumahku. Dulu, saat Nada mulai pandai membaca, dia suka minta dibelikan buku cerita bergambar (cergam). Ternyata buku-buku itu masih ada. Memang beberapa di antaranya ada yang sudah rusak. Sobek atau dicoret-coret. Aku tertarik pada sebuah cergam. Cergam yang sudah tak berjilid itu ditulis Johnny Rinaldi. Rubah, Hakim yang Culas, itulah judulnya.
Beberapa cergam sudah kudapat. Selanjutnya, aku mempelajari bagaimana cara mendongeng yang menarik. Aku tak mau kalau hari pertama mendongengku gagal, tak meninggalkan kesan yang menyenangkan pada anak-anak. Buku-buku tentang trik mendongeng yang baik aku baca. Bahkan, berkali-kali aku berkelana di dunia maya. Aku berkesimpulan bahwa melatih intonasi, volume suara, ekspresi, dan gerak tubuh, wajib aku lakukan untuk menunjang keberhasilan mendongengku nanti.
Aku menyadari. Volume suaraku kecil. Maka, melatih volume suara lebih kuutamakan. Selain itu, kucoba berlatih memainkan beberapa karakter suara tokoh, misalnya suara tokoh burung nuri dan tupai. Kuciptakan kedua tokoh itu dengan karakter suara yang berbeda. Sulit memang. Tapi, aku terus berlatih, meskipun aku tak yakin bahwa aku dapat memainkan beberapa karakter suara tokoh dengan baik. Paling tidak aku telah berusaha untuk menambah kemampuanku mendongeng.
Aku berencana akan memberi hadiah kepada siswa yang berperan aktif saat kegiatan literasi, seperti mau bertanya atau mampu menjawab pertanyaanku dengan tepat. Hadiah yang kusediakan amat sederhana, sebuah gambar bintang. Nama si pemilik akan dituliskan pada bintang itu, lalu ditempelkan di sekitar gambar bulan yang telah tersedia di selembar karton hitam. Aku menamakannya Bintang Literasi.
Tak sabar aku menunggu hari Selasa tiba. Ketika aku merebahkan diri di kasur karena kelelahan, mataku tertumbuk pada foto yang terpajang di dinding kamar, foto kegiatanku saat mengikuti Bengkel Penulisan Cerita Bergambar. Aku salah seorang dari 32 finalis Sayembara Penulisan Cerita Bergambar SD-MI Kelas Rendah 2004. Aku diundang ke Jakarta selama lima hari untuk mengikuti kegiatan tersebut. Dari bengkel ini aku banyak memperoleh ilmu tentang menulis cergam. Mas Sigit banyak mengupas ilmu tentang menulis cerita. Mas Dana Obera melatih kami membuat ilustrasi. Juara tak dapat kuraih.Tidak apa-apa! Aku menyadari bahwa aku masih banyak kekurangan, apalagi membuat ilustrasi.
Ahaaa...! Aku punya ide. Mengapa bukan cergamku saja yang dijadikan bahan untuk mendongeng? Ya, itu gagasan yang bagus. Tapi, bukankah aku hanya punya sebuah cergam? Bagaimana dengan tugas mendongengku selanjutnya? Aku berpikir cukup lama. Berbekal nekat, akhirnya kuambil sebuah keputusan. Aku harus berani berkomitmen pada diri sendiri untuk menulis sebuah cerita setiap minggu!
Hari pertama kegiatanku mendongeng pun tiba. Aku memasuki kelas 1. Anak-anak telah duduk dengan rapi. Kutatap wajah mereka satu persatu. Ada ketegangan di wajah mereka. Aku tersenyum.
“Apa kabar?” sapaku.
“Baik, Pak!” jawab mereka serempak.
“Senang bertemu dengan Bapak?”
“Senang, Pak!”
“Mengapa?” tanyaku ingin tahu.
“Karena Bapak akan mendongeng,” jawab Azka yang duduk dua bangku dari belakang.
“Oh, ya! Kalian mau mendengarkan dongeng dari Bapak?”
“Mau...!”
“Kalau begitu, jawab dulu pertanyaan Bapak. Burung terbang menggunakan apa?”
“Sayap, Pak!”
“Benar!” Aku diam sejenak. “Ayo, semua berdiri! Bentangkan dua tangan kalian. Kita akan menirukan burung terbang.”
Anak-anakpun riuh sambil menaikturunkan kedua tangannya seperti burung yang sedang mengepakkan sayapnya. Mereka tertawa gembira, lalu duduk kembali setelah kuperintahkan.
“Sekarang Bapak akan mulai mendongeng,” kataku seraya mengambil cergam berjilid ungu yang bertuliskan Di Antara Dua Pilihan.
Mulailah aku mendongeng. Kukerahkan semua kemampuanku. Teori-teori tentang mendongeng yang baik aku terapkan. Anak-anak diam. Tak seorang pun yang berbicara hingga akhir cerita.
“Siapa sajakah tokoh cerita tadi?” tanyaku memecah kesunyian.
“Badrun,” jawab Raffi bersemangat.
“Nada,” sambung Salma.
Aku mengacungkan kedua jempolku, kemudian bertepuk tangan. Anak-anak pun ikut bertepuk tangan.
“Saya nggak suka dengan Badrun,” kata Azka tiba-tiba.
“Mengapa?” pancingku.
“Dia jahat! Burung diketapel sampai sayapnya berdarah. Kasihan ‘kan?”
Aku kagum pada Azka. Aku acungkan jempol tangan kananku ke arahnya. Azka tersenyum.
“Tapi, aku suka pada Nada. Dia mau mengobati burung yang terluka itu sampai sembuh dan dapat terbang lagi,” tambah Azka.
Aku semakin kagum pada anak ini. Anak yang cerdas. Kembali aku acungkan jempol tangan kananku ke arahnya.
“Mengapa burung itu tidak dikurung saja?” tanyaku.
Anak-anak diam. Tak seorangpun yang berani menjawab.
“Kalian mau kalau dikurung?” Aku mengalihkan pertanyaan.
“Nggak mau. Sempit! Nggak bisa main, “ jawab Salma.
“Bagus! Burung pun ingin bebas. Ingin bermain, seperti kalian.”
“Kesimpulannya, kita harus menyayangi ,,,,” Pernyataanku sengaja kuputus.
“Binatang!” sambar Azka.
“Hanya binatang yang harus kita sayangi?”
“Tidak! Tumbuhan juga harus kita sayangi,” kata Raffi.
“Air juga harus kita sayangi,” jawab yang lain.
“Siapa yang menciptakan semua itu?” tanyaku.
“Allah...!” jawab anak-anak serempak.
“Ya, aku tahu! Kita harus menyayangi makhluk ciptaan Allah,” Azka menyimpulkan.
“Bagus...!” pujiku.
Aku mengambil gambar bintang. Aku menghadiahkannnya pada Azka. Setelah Azka menuliskan namanya pada bintang itu, lalu ditempelkannya pada karton hitam yang kupasang di dinding belakang kelas.
Lima belas menit tidak terasa. Aku pamit pada anak-anak dengan mengucapkan salam.
“Besok ngedongeng lagi ya, Pak?” tanya Salma.
“Selasa minggu depan, sayang,”jawabku. “Bapak akan mendongeng dengan cerita yang lebih bagus,”janjiku.
Aku meninggalkan kelas dengan perasaan lega. Tapi, di depanku telah menghadang sebuah tantangan baru. Aku harus mendongeng setiap minggu dengan cerita yang kutulis sendiri. Lelah sudah pasti. Tapi, ada sebongkah kebahagian menyelip di hati. Setidaknya aku sudah berupaya menyemaikan benih agar anak-anak gemar membaca. Selain itu, aku “dipaksa” untuk memulai lagi kegemaranku menulis. Kesempatan yang amat berharga! Tidak akan aku sia-siakan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar