SELAMAT JALAN AYAH
Pagi ini aku melayat ke rumah seorang sahabat. Tepatnya rumah orang tuanya. Namanya Ari. Ayahnya pergi untuk selamanya. Meninggalkan semua menuju pemiliknya.
Sejak malam aku sudah berniat untuk ke sana. Tapi, ragu selalu datang menghampiri. Bukan karena rumahnya yang jauh atau gerimis yang tak kunjung reda. Informasi terakhir yang disampaikan olehnya yang membuat aku berfikir ulang.
Sebulan yang lalu, ia menyampaikan kepadaku untuk mendoakan ayahnya yang sedang di rumah sakit karena covid. Dan tiga hari yang lalu, saat kami mengaji virtual. Ia juga memberitahukan bahwa ayahnya sudah pulang karena sudah lebih dari dua pekan isolasi di rumah sakit dan PCR terakhir berbunyi negatif.
Namun kebahagiaan tak bertahan lama. Beberapa menit berselang, ia menceritakan bahwa ibunya juga pulang karena ingin bersama suaminya. Padahal baru sepekan diisolasi dengan sakit yang sama.
"Loh, mengapa pulang? Kan ibu belum sembuh. Kalau di rumah sakit bisa segera ditangani jika ada masalah." Tanya Ustadz Manshur yang juga seorang dokter senior di rumah sakit itu.
Ari pun menjawab dengan nada bingung, "Yah, begitulah dok. Eh, Ustadz. Ibu saya sudah nggak mau di rumah sakit. Katanya mau sama bapak aja."
Ari juga menjelaskan bahwa ibunya masih menggunakan oksigen untuk memperlancar pernafasannya.
"Setiap hari saya juga ke rumah dok. Eh, Ustadz. Pasang oksigen. Jadi saya pakai sarung tangan dan selalu memakai masker agar si virus nggak mau mampir ke badan saya." Tambahnya.
Tiba-tiba, zoom meeting menjadi kelabu saat Ari melanjutkan katanya. Ayah dan ibunya yang hampir memasuki kepala delapan pada usianya merasakan sakit yang sedang viral.
Semua cerita sahabatku itu masih sangat lekat di ingatan. Bahkan aku menceritakan hal ini ke istri setelah ngaji dan berniat untuk menjenguknya.
Oleh karena itu aku sangat kaget saat membaca pesan whatsapp yang mengabarkan bahwa ayah Ari wafat. Padahal ibunya yang sedang sakit. Belum dinyatakan sembuh.
Aku bersama Rimba dan Anshar melayat ke sana. Menyaksikan kesedihan dari anak, menantu, dan cucu mengingatkanku sosok kakekku yang juga telah tiada karena virus itu.
Setelah semua diurus dengan baik. Ayahnya di bawa ke Masjid Al Hikmah. Tak dinyana, sosok almarhum yang bersahaja dan taat beribadah melekat di benak kawan kerjanya sebelum pensiun yang juga tetangga dan ketua lingkungan komplek.
Selain itu, ia adalah penggagas santunan anak yatim yang sampai sekarang terus berjalan setiap bulan di masjid itu an akan terus dijalankan sampai kapan pun. Kata ketua DKM masjid.
Sayang, aku tak bisa melanjutkan ke pemakaman karena tugas sudah memanggil dan hujan mulai menyambut.
"Kematian adalah kepastian. Kematian tidak dapat kita tentukan. Kematian adalah hak Tuhan. Menuju siapa Izrail datang." Kataku dalam hati.
"Siapa sangka yang sembuh tiada dan si sakit tetap berada. Allah, aku bertambah yakin. Usia adalah hak prerogatif-Mu. Hm, aku harus bersiap karena aku tak tahu kapan aku dijemput." Lanjutku dalam perjalanan menuju kantor.
Innalilahi wa innailaihi roji'uun
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Innalillaahi wainna ilaihi rojiun.Kematian adalah misteri. Salam literasi.
Benar, Bu Laili. Terima kasih sudah berkunjung.
Lahir, mati, rejeki ada di tangan-Nya. Semoga kita selalu ingat hal itu. Salam sukses, Pak