Guru Rendra

Guru Rendra atau Rendra Prihandono adalah guru Sociology A Level Cambridge di BINUS SCHOOL Serpong sejak Juli 2016. Sebelumnya Guru Rendra pernah berkarya baik ...

Selengkapnya
Navigasi Web

The Son Becomes The Father, The Father Becomes The Son (2 - End)

Salah satu kata-kata Ayah yang tidak pernah saya lupakan adalah,”Kalau mau hidup, jangan setengah-setengah!” Kata-kata itu sangat konsisten dengan etos kerja beliau selama hidup. Kami sewaktu kecil hampar jarang bertemu Ayah di rumah. Hari Minggu pun ia lakoni dengan bekerja. Cari uang lembur, kata beliau. Ya, uang lembur! Setelah beliau wafat, Mama saya sering bercerita bahwa ia beruntung telah ditinggali Ayah saya sejumlah uang yang cukup besar untuk hari tua, hasil menabung uang lemburannya setiap hari Minggu selama 5 tahun!

Kini saya pun berkata yang sama pada anak saya, Avicenna, ketika ia tampak bermalas-malasan belajar di rumah. The exactly same sentence! Yep, the Son Becomes The Father!

Akhirnya saya menyadari bahwa sebagian besar perilaku saya sebagai seorang ayah adalah apa yang dilakukan Ayah saya dulu. Padahal, saya dulu tidak begitu senang dengan kerasnya watak Ayah. Ayah saya sangat keras bila saya malas. Bila nilai saya jelek akibat kemalasan saya. Dan bila saya tampak kesulitan menguasai materi belajar karena mengantuk sehabis bermain seharian!

Saya dilarang bermain di luar rumah, sehingga teman main sebaya saya tidak banyak.

Saya diposisikan untuk selalu belajar dan jadi nomor satu. Sayangnya, hasil belajar saya tidak selalu mencerminkan ekspektasi Ayah. Karena itulah dia sering memarahi saya. Dulu saya pikir itu memang indikasi ketidakpuasan beliau. Indikasi kekecewaan beliau terhadap saya.

Tapi sekarang saya paham. Tidak. Beliau tidak pernah kecewa pada saya. Beliau hanya cemas bahwa saya menjerumuskan diri saya sendiri ke dalam kegelapan. Beliau takut saya akan gagal. Karena itulah beliau marah. Beliau marah karena tidak bisa menerima kalau saya, anaknya yang diharapkan menjadi tulang punggung keluarga kelak, tidak punya kemampuan bersaing. Beliau takut akan masa depan saya yang tidak beliau pahami. Sungguh sebuah perasaan yang sama dengan yang saya rasakan saat ini!

Akhirnya saya tahu bahwa beliau selalu khawatir bahwa saya mengambil keputusan yang salah.

Ketika saya menolak masuk kedokteran seperti impian beliau, saya mengira itu akan melukai hatinya. Tapi ternyata tidak. Mama akhirnya membuka kartu, dan ini membuat saya tak percaya.

Ia bilang Ayah selalu membangga-banggakan saya di kalangan rekan sembahyangnya di masjid. “Untung dia masuk universitas negeri! Jadi saya menghemat 5 juta yang tadinya untuk masuk Ubaya!” Begitu katanya berulang-ulang, setiap kali orang menanyakan kabar saya padanya.

Saya hanya terharu dan menyayangkan. Mengapa dia tidak mengatakannya di hadapan saya? Bukankah itu akan melangitkan semangat saya? Siapa yang tidak senang dipuji ayahnya seperti itu?

Tapi ya itulah dia, Ayah saya. Dingin dan agak acuh tak acuh dengan perasaan orang lain. Tampak sangat tidak berminat dengan banyak hal. Tidak hangat. Tapi, ternyata Ayah sangat peduli. Dia hanya tidak biasa menyatakan perasaannya. Paling tidak itu yang saya yakini, karena ternyata saya juga begitu! Now, I’m looking this world through his eyes!

Now he’s gone, but I’m still looking at this world through his eyes.

The Father Becomes The Son…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post