The Son Becomes The Father, The Father Becomes The Son (1)
Kalau Anda penggemar film klasik dan pernah menonton Superman 1, pasti Anda tahu sebuah adegan di mana ayah Kal-El (Superman) yaitu Jor-El mengatakan sebuah kalimat yang tidak pernah saya lupakan.
“I’m looking through your eyes. You have my power within you. The son becomes the father. The father becomes the son.”
Mengapa saya begitu sentimental dengan pernyataan Jor-El itu? Toh, itu cuma film, bukan? Well, sejak ayah saya berpulang tiga tahun lalu, saya perlahan-lahan memahami sesuatu, yang selalu menjadi pertanyaan saya sejak dulu.
Ayah saya, The Great Liek Sjachperi Matarib, S.H. (Alm), adalah seorang pria yang sangat keras wataknya. Sumbunya sangat pendek. Kata-katanya lantang. Pemberani. Bahkan, kadang agak berlebihan menanggapi sesuatu. Tapi itu tidak aneh mengingat masa kecilnya yang sangat keras dan penuh penderitaan. Sejak kecil ia sudah tidak berayah. Bukan karena meninggal dunia, tapi karena sang ayah menikah lagi.
Liek kecil hidup sendiri di pinggiran sungai Mahakam bersama ibunya yang pekerja keras. Sejak kecil ia tidak punya figur laki-laki yang pantas menjadi panutan. Ia hanya belajar dari para guru sekolah rakyatnya yang kebetulan seorang guru Belanda. Belajar untuk bertahan hidup, walaupun dengan cara yang keras, tidak kompromi, ulet, gigih dan punya semangat lebih panjang dari sungai Mahakam yang membesarkannya. Ketika ia memutuskan hendak bersekolah menjadi guru di Salatiga, ia malah kesasar ke Surabaya.
Terkatung-katung tanpa saudara di Jawa menempanya untuk mandiri dan tangguh. Akhirnya memang ia pergi ke Salatiga. Ia tidak pernah tahu kemana untuk ke Salatiga. Ia memutuskan untuk hidup di Surabaya dan melanjutkan pendidikan tingginya ke Universitas Airlangga, Fakultas Hukum. Bagaimana ia bisa membiayainya, bagaimana ia bisa bertahan hidup tanpa bantuan famili atau saudara? Jangan tanya! Apapun ia lakukan untuk mencapai tujuannya, walaupun kadang kekerasan hatinya membuatnya menubruk dinding batu! Dulu saya mengira bahwa itulah ayah saya, an sich. Seorang pria berhati keras dan pemarah. Sering melakukan apapun yang ia anggap benar tanpa persetujuan siapapun, termasuk mama saya.
Tapi ternyata ia lebih dari itu. Ayah saya ternyata punya visi jauh ke depan. Ia sangat tahu bahwa di masa depan, masa di mana ia sendiri kelak akan sulit bersaing, diperlukan lebih dari sekedar keuletan, kegigihan, dan hati yang keras menjalani hidup. Masa depan perlu ketrampilan nyata. Ketrampilan yang membuat anak-anaknya kelak bisa bersaing di masa yang lebih berat daripada masanya sekarang.
Itulah sebabnya ayah saya ingin saya bisa berbahasa Inggris. Ia melimpahi saya dengan berbagai komik dan bacaan yang serba berbahasa Inggris, bahkan ketika saya tidak tahu apa yang saya baca. Ia membeli sebuah paket belajar bahasa Inggris mandiri, bahkan ketika saya tidak tahu bagaimana menggunakannya. Paket itupun berdebu bertahun-tahun karena tidak seorangpun di rumah termasuk saya menggunakannya.
Ketika saya kuliah barulah saya menyadari bahwa ayah saya membeli sebuah perangkat belajar luar biasa yang di era saya saat itu sangat mahal untuk dibeli. Jauh berlipat kali lebih mahal daripada saat ayah saya dulu membelinya. Karena itu tidak heran bahwa saya secara tidak sengaja sudah familiar dengan bahasa Inggris, walaupun secara struktur saya belum mempelajarinya. Dan saat ini, di usia 37 tahun, saya sudah sangat lancar berbahasa Inggris (untuk ukuran orang Indonesia), thanks to my Father!!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar