Menulis dengan Hati, Bukan Karena Royalti
Tiba-tiba terlintas dalam benak saya untuk mengangkat topik ini. Berawal dari sebuah diskusi di suatu pertemuan, kami sebagai tim membicarakan perihal pembuatan sebuah buku. Buku yang sesuai dengan bidang kami. Lantas seseorang berkomentar "Wah kalau jadi buku berarti nanti ada royaltinya dong." Disitu saya hanya tersenyum masam menanggapinya.
Seketika itu ingatan saya kembali ke beberapa tahun silam ketika saya masih berada di bangku SMA. Saya membaca sebuah novel, dimana novel yang saya baca itu adalah novel pertama dari sebuah tetralogi. Saya begitu terhanyut dalam menelusuri setiap kata demi kata pada novel tersebut. Dan memang, novel itu kemudian menjadi begitu fenomenal bahkan ketika sudah ditampilkan di layar perak.
Kemudian saya mulai membaca buku kedua, masih saya terbawa suasana. Buku ketiga mulai ada sesuatu yang kurang. Hingga buku terakhir dalam tetralogi itu saya baca, saya tidak mendapatkan feel apapun. Bahkan saya bosan dan hampir-hampir tidak menyelesaikan novel yang begitu saya nanti2kan itu.
Dari situ saya berfikir. Apa mungkin karena dikejar deadline ya? Sehingga novel-novel berikutnya menjadi kurang menggairahkan minat baca saya? Atau mungkin karena royalti?
Lantas saya berlanjut ke buku dwilogi dengan pengarang yang sama. Baru masuk di bab awal saya lantas berhenti dan tidak melanjutkannya kembali. Kenapa? Rupanya sang penulis masih belum bisa move on dari tetraloginya yang begitu fenomenal. Dari situ saya berkesimpulan sepihak bahwa sang penulis sengaja membawa karakter fenomenalnya agar pembaca tertarik dan membeli bukunya. Ujung-ujungnya royalti.
Tapi buku-buku tadi tak lantas membuat saya underestimate dengan novel-novel berseri. Ada banyak pula novel yang bahkan sampai saya tak sabar menantinya untuk saya baca. Sebut saja novel yang mengambil judul dari istilah fisika. Setiap bukunya punya daya magis tersendiri. Sampai berat rasanya menyadari bahwa novel tersebut sudah tamat.
Ada lagi novel yang bahkan tak diduga-duga dibuat sekuelnya setelah 10 tahun berjarak. Dan bukannya kualitasnya menurun justru malah lebih bagus novel keduanya.
Lantas saya hubungkan semua itu dengan aktivitas menulis saya. Pertama kali tulisan saya dicetak di sebuah majalah rasanya berbunga-bunga dan bahagia. Puas sekali. Apalagi saya mendapatkan tambahan untuk jajan saya. Dan ketika tulisan itu, kebetulan cerpen, saya baca kembali, memang ada rasa dalam tulisannya.
Saya lanjut membuat cerpen kembali, namun ada tujuan yang lain yaitu tambahan uang jajan tadi. Ternyata tulisan yang saya buat tidak ada rasa sama sekali sehingga tak bisa dicetak.
Dari situ saya merasakan sendiri bahwa sebuah karya, apapun itu, jika kita buat dengan hati maka akan menghasilkan sebuah karya yang bagus dan dinikmati banyak orang. Namun, jika tujuannya sudah tercemar dengan hal-hal lain seperti materi atau royalti maka sekeras apapun kita buat hasilnya tidak akan mudah untuk dinikmati.
Maka dari itu menulislah dengan hati. Niatkan diri menulis untuk meningkatkan kualitas diri dan membagi ilmu kepada orang lain. Urusan royalti itu hanya bonus kalau memang sudah rejeki.
Selamat menulis dengan hati kawan-kawan semua....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Inilah pembaca yg bakal menjadi penulis sejati. Luar biasa...
Aaamiiin.. perlu bimbingan dari ustzh Min
Setuju bu