PENYESALAN SEKIAN LAMA
PENYESALAN SEKIAN LAMA
Pengalaman pertama menjadi guru sebenarnya sangat menyenangkan. Apalagi SMP 1 Madiun terkenal sebagai sekolah favorit. Hanya murid-murid yang pandai saja yang bisa bersekolah disitu. sehingga mengajar Bahasa Inggris disitu sangat menyenangkan. Karena materi pelajaran mudah diserap oleh mereka dan kemampuan speaking mereka juga sangat bagus.
Lulusan Diploma II yang merupakan kelas “pesanan” pasti mendapat Surat Keputusan untuk mengajar di tempat yang membutuhkan guru. Sebagian besar teman-teman saya alumni Diploma II mendapat SK untuk mengajar di daerah asal mereka. Atau paling tidak mereka mendapat tugas di Kabupaten tempat asalnya. Dari 27 orang teman sekelas, hanya saya yang tidak mengajar di daerah asal saya. Saya berasal dari Jakarta, tapi SK saya menetapkan saya mengajar di SMP 1 Madiun, sekolah kokoh bekas bangunan Belanda yang tidak seberapa luas tapi terletak di pusat kota.
Saya diterima dengan senang hati oleh teman-teman guru disana, karena memang mereka sudah lama kekurangan guru Bahasa Inggris. Hampir semua guru disana berumur jauh lebih tua dari saya. Penduduk Madiun sangat menjunjung tinggi tata krama ketimuran. Mereka juga sangat tertib dan disiplin. Banyak ilmu pergaulan dan pengalaman yang saya dapatkan dari mereka. Ilmu-ilmu yang tidak saya dapatkan di kampus IKIP Malang.
Syarat minimal mengajar pada tahun 1987 adalah 18 jam pelajaran. Berbeda dengan sekarang yang mengharuskan 24 jam pelajaran, bahkan lebih juga boleh. Saya mengajar kelas satu sebanyak 5 kelas. Meskipun saya guru baru, saya juga dijadikan wali kelas 1D karena sudah tidak ada lagi guru lain yang bisa dijadikan wali kelas. Ada beberapa teman yang tidak dijadikan wali kelas dikarenakan beberapa bulan lagi pensiun.
Saya merasa tugas tambahan sebagai wali kelas merupakan memang bagian dari tugas mengajar. Pengetahuan saya tentang tugas yang diemban sebagai wali kelas sangat sedikit. Hubungan saya dengan murid-murid 1D biasa saja, sebatas guru dan murid. Walaupun saya punya data mereka lengkap, tetapi saya tidak pernah membicarakan tentang hal-hal yang menyangkut kehidupan mereka di luar sekolah. Karena saya merasa yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran, maka semua itu bukan urusan saya. karena ketidakpahaman saya, saat itu saya tidak pernah mencoba berakrab-akrab dengan murid-murid 1D.
Saya merasa murid-murid saya tidak bermasalah. Mereka juga bukan murid-murid yang nakal. Tidak ada juga guru-guru yang mengeluh tentang murid-murid 1D. Semua berjalan baik-baik saja. Mulai dari pelajaran sehari-hari, tugas-tugas, ulangan-ulangan harian, ulangan akhir semester satu hingga ulangan semester dua, semua baik-baik saja. Baik itu pada pelajaran saya maupun pada mata pelajaran lain.
Saat pembagian raport semester satu, tidak ada murid yang bermasalah. Walaupun ada beberapa murid ada yang raportnya berwarna merah (nilai dibawah 60), saya yakin nanti pada semester dua pasti ada peningkatan nilai. Lagipula nilai merah itu bukanlah nilai yang mengancam mereka. Artinya bukan pada pelajaran Agama dan Pendidikan Moral Pancasila. Salah satu dari kedua mata pelajaran itu bila nilainya dibawah 60, maka murid dinyatakan tidak bisa naik kelas.
Saat menjelang rapat kenaikan kelas. Pak Hendrik, salah seorang guru senior yang mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah bagian Kurikulum, meminjam buku Daftar Kumpulan Nilai (DKN) kelas 1D. Setelah ditelitinya beberapa saat, dia memberi tahu pada saya supaya nanti saat rapat pleno, saya menyebut nama murid-murid yang memiliki nilai kurang.
Tibalah saat rapat pleno, yang bagi beberapa wali kelas merupakan saat yang mendebarkan. Tapi sekali lagi, karena ketidakpahaman saya, ini merupakan hal yang biasa saja. Bahkan saya menganggap berlebihan ketika menjelang rapat dimulai, pak Sayudi, kepala sekolah saat itu, meminta 2 orang guru Olah Raga untuk mengamankan daerah sekitar ruang rapat. Mereka keluar ruangan untuk melihat apakah ada murid atau orang lain yang tidak berkepentingan di sekitar situ. Bila masih ada murid yang belum pulang saat itu, akan disuruhnya segera pulang.
Wali kelas dua A sampai H menyebutkan nilai murid kelasnya yang ada Nilai Kurang (NK)nya untuk direkapitulasi di papan tulis oleh pak Hendrik. Semua peserta rapat memperhatikan danmengikuti dengan hikmat. Jajaran nilai mulai mata pelajaran Pendidikan Agama hingga Ketrampilan ditulis di papan tulis hitam menggunakan kapur tulis putih, tanpa menyebutkan nama muridnya. Nilai yang dibawah 60 ditulis menggunakan kapur tulis berwarna merah.
Setelah dibahas dengan meminta pertimbangan guru Bimbingan Konseling dan semua guru, diputuskan bahwa Nilai Kurang (NK) kurang dari 3 mata pelajaran, murid bisa dinaikkan ke kelas tiga. Saya lupa saat itu ada berapa murid kelas dua yang dinyatakan tidak naik ke kelas tiga.
Giliran wali kelas satu melakukan hal yang sama. Wali kelas 1A… 1B…1C…dan saatnya 1D…saya menyebutkan jajaran nilai tiga murid kelas 1D. Hanya satu nama dari ketiganya yang saya ingat sampai sekarang. saya tidak ingat lagi siapa nama dua murid yang lain. Proses rapat pleno kelas satu sama persis seperti sebelumnya, bahkan kelas satu diputuskan lebih cepat daripada kelas dua. Murid-murid yang memiliki NK 3 kebawah bisa dinaikkan ke kelas dua. Sedangkan NK diatas 3 harus tinggal kelas. Berarti Wahyudi Purnomo, satu orang murid saya yang memiliki NK 4, harus tinggal kelas! Seperti dilempar bom saat itu, saya langsung lemas.
Saya pulang dengan hati gundah dan sangat sedih. Malamnya saya dahulukan menulis raportnya. Saya dekap dulu beberapa saat foto Wahyudi pada raport bagian depan. Lalu dengan hati-hati saya menuliskan nilai-nilainya. Air mata saya deras mengalir ketika harus mencoret tulisan “naik ke”, dan membiarkan tulisan “tinggal di”.
Besoknya, beberapa orang guru memberitahukan bahwa sebenarnya kemarin saat rapat, saya sebagai wali kelasnya seharusnya bisa meminta tambahan nilai pada guru-guru yang mengajarnya. Sehingga nilainya menjadi nilai yang memenuhi syarat untuk naik kelas. Wah, pelajaran ini tidak pernah saya dapatkan sebelum rapat pleno berlangsung. Sehingga saya tidak melakukannya. Saya tidak mengira juga kalau hal itu bisa dilakukan sebagai pertolongan wali kelas kepada muridnya.
Penyesalan tahun 1987 itu masih saya rasakan sampai sekarang. Pengalaman buruk menjadi wali kelas yang memiliki muridnya yang tinggal kelas akibat ketidakpahaman sebagai guru baru. (Pengajar Bahasa Inggris di SMP Negeri 23 Surabaya.)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar