FREDY HERMAWAN, S.Pd

FREDY HERMAWAN, yang akrab disapa Fredy ini lahir di Cilacap, 15 Februari 1986. Ia adalah putra dari pasangan bapak Suherman, S.Pd.,M.Pd dan ibu Soimatun. Menik...

Selengkapnya
Navigasi Web
BAMBANG SOEGENG, Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibu Kota

BAMBANG SOEGENG, Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibu Kota

Bambang Soegeng (lahir di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, 31 Oktober 1913 – meninggal di Jakarta, 22 Juni 1977 pada umur 63 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia dan pernah menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat ke-3 yang menjabat dari tanggal 22 Desember 1952 hingga 8 Mei 1955.

Selain berkarier di dunia militer, Bambang juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Vatikan, Jepang, dan Brasil.

Bambang meninggal dunia pada usia 63 tahun dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal Anumerta dan dimakamkan di Kompleks Monumen Pembunuhan Massal Pejuang RI Kali Progo, Temanggung, Jawa Tengah. Mulai tanggal 1 November 1997, pemerintah Indonesia menaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal (Kehormatan).

Karier militer Bambang dimulai pada tahun 1943 saat ia mengikut pendidikan perwira PETA Gyugun Renseitai di Bogor. Setelah lulus ia menjadi Cudanco (komandan kompi) dan ditempatkan di Magelang. Pada tahun 1944 Bambang sudah menjadi Daidanco (komandan peleton) di Gombong.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Bambang diangkat menjadi Komandan Resiman TKR di Wonosobo dengan pangkat Letnan Kolonel. Setelah proses Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa) TNI pada tahun 1948, ia diangkat menjadi Komandan Divisi III yang meliputi Banyumas, Pekalongan, Kedu dan Yogyakarta.

Bambang Sugeng pernah memimpin pasukan TKR pada saat Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948). Selain itu ia juga termasuk perwira yang terlibat dalam perencanaan Serangan Umum 1 Maret 1949. Sebagai penguasa teritorial, Bambang mengendalikan jalannya pertempuran di wilayah Divisi III Jawa Tengah dan Yogyakarta pada masa 1948-1949. Dari tangan pria kelahiran Magelang itu muncul Perintah Siasat dan Intruksi Rahasia untuk melakukan perang propaganda terhadap Belanda.

Dengan posisinya yang senior kemudian Pemerintah menunjuknya untuk menjadi wakil Panglima Besar Sudirman atau Wakil 1 Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) mulai 21 September 1944 hingga 27 Desember 1949. Pada bulan Juni 1950 Bambang diangkat menjadi Panglima Divisi I TT V/Brawijaya.[5]

Sosoknya yang bisa diterima semua pihak yang menjadikanya satu-satunya alternatif bagi Presiden Soekarno saat mengangkatnya sebagai KASAD setelah mencopot AH Nasution yang dianggap mendalangi Peristiwa 17 Oktober. Bambang menggunakan pendekatan unik khas Indonesia yaitu musyawarah untuk menyatukan para perwira TNI yang terbelah akibat Peristiwa 17 Oktober dan menghasilkan Piagam Djogja 1955. Piagam yang meredam friksi di dalam militer membuat Soekarno yang pada akhirnya mengangkat kembali AH Nasution menjadi KASAD.

Bambang juga yang memprakarsai pencatatan setiap prajurit TNI atau Nomor Registrasi Pusat NRP yang kemudian ditiru pada pencatatan organisasi sipil atau Nomor Induk Pegawai NIP.[1]

Setelah berhasil menyatukan kembali para perwira TNI Angkatan Darat melalui Piagam Djogja 1955, Bambang mengundurkan diri sebagai KASAD pada tanggal 8 Mei 1955. (Wikipedia Indonesia).

Webinar yang diselenggarakan oleh Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, membawa sisi keilmuan yang lain bahwa segala sesuatu yang telah dibukukan dalam buku mata pelajaran memang nyata tidak ada dan tidak tercetak, makanya menurut saya pribadi banyak generasi milineal sekarang tidak mengetahui sosok atau figure Bambang Soegeng ini, mereka hanya mengetahui dan mengenal sosok kegagahan Panglima Besar Jenderal Soedirman saja. Hal ini tugas kita bersama bagaimana tetap menghargai dan menghormai jasa-jasa para pahlawan lain yang tidak tercetak dan tidak terkenal secara mendalam, seperti Bambang Soegeng ini.

Seperti ulasan di webinar tersebut dari keluarga besar Bambang Soegeng ini yakni ibu Endang Asrahardjo ((Puteri Kolonel Bambang Soegeng) menyampaikan bahwa beliau memiliki peran besar dalam proses perjuangan bertempur melawan kolonial. Bahkan beliau ini adalah wakil dari Panglima Besar Jenderal Soedirman. Di sisi lain beliau sosok yang rendah hati meski memiliki jabatan yang tinggi. Beliau pernah bercerita ketika beliau di tilang oleh Polisi, beliau mengakui kesalahannya waktu itu karena tidak memakai helm, tapi ketika beliau mengeluarkan surat-surat kelengkapan kendaraan bermotor, ketika diperiksa dan diteliti polisi tersebut kaget ternya seorang pensiunan perwira dan menyegerakan untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, beliau tidak mau, dan menginginkan untuk tetap di tilangnya. Inilah salah satu sosok yang patut kita teladani bersama untuk generasi sekarang. Kita sebagai generasi penerus wajib menghormati dan menghargai jasa-jasa para pahlawan yang terlupakan (dalam kutip) dengan tetap memahami mengenal mereka meski sedikit.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post