Navigasi Web
Dinasti Marcos Dan Politik Dinasti

Dinasti Marcos Dan Politik Dinasti

Masih segar dalam ingatan saya, figur Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos, Presiden Filipina ke-10 yang diberhentikan secara paksa dari kursi kepresidenan pada tanggal 25 Februari 1986. Melalui gerakan rakyat semesta telah berhasil menggulingkannya dalam demonstrasi massal tanpa kekerasan atau yang dikenal sebagai Revolusi Kekuatan Rakyat ( Revolusi EDSA) yang klimaksnya 25 Februari 1986.

Marcos yang telah berkuasa selama 20 tahun menyebabkan penderitaan rakyat Filipina karena ia memimpin dengan tangan besi. “ Totaliter “ cocok dikenakan padanya karena semua orang, rakyat, para pejabat, mengamini setiap perintah dan kebijakannya. Tak ada yang melawan. Ia tak pernah menampakkan wajah ramah senyum, tetapi justeru sebaliknya wajah otoriter, diktator, bak harimau yang hendak menerkam mangsa.

Sebelum menjabat presiden, pekerjaannya sebagai lowyer ( pengacara/advokat) sukses praktis mengendalikan pengadilan secara penuh. Selain itu, militer dan kepolisian yang berada di bawah kekuasaan penuh Marcos, sanggup menyiksa, bahkan membunuh lawan-lawan politiknya. Praktik yang terus berlanjut selama kekuasaannya.

Dari Filipina , coba kita mengamati fenomena politik dinasti yang ada di negeri tercinta ini. Masyarakat dunia sudah mengenal, kalau Indonesia adalah sebuah negara kepulauan ( Nusantara ) dengan sumber daya alamnya yang luar biasa, indah seperti Firdaus atau taman Eden. Sampai-sampai negara luar merasa iri dengan keasrian Indonesia. Fakta ! Kita tengok sejarah masa lampau, ketika bangsa Belanda dan Jepang menduduki wilayah Indonesia. Iming-imingnya hanya satu, yakni mengambil kekayaan yang menjadi haknya rakyat Indonesia. Namun kedua negara hebat ini (ukuran pada zaman itu) nasibnya tidak beruntung. Mereka berhasil diusir oleh seluruh rakyat Indonesia.

Dalam kepolosan dan keasrian negeri tercinta ini, ada bercak-bercak/noda-noda hitam yang merusak, mirip-mirip pak marcos mantan presiden Filipina itu. Walau tidak sekeji Marcos. Kecil, kecil, kecil…namun sungguh menodai citra demokrasi. Ada segelintir orang yang mempertontonkan praktik-praktik politik dinasti. Mudah diketahui oleh masyarakat Indonesia. Maklum, Era sekarang, masyarakat Indonesia pintar-pintar karena rajin membaca buku. Mungkin inikah masyarakat milenial? Petani milineal ? Guru milenial ? Pedagang milenial ? nelayan milenial ? atau…. ?

Indonesia tidak saja kaya akan sumber daya alam, tetapi Indonesia kaya akan pengamat politik, pengamat masalah sosial, praktisi hukum, lowyer, pengamat pendidikan, kesehatan dan lain-lainnya. Kalau Eropa ? Mereka hanya kaya dengan pengamat sepak bola.

Kembali ke politik Dinasti. Politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara. Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga (Mahkamah Kosntitusi RI).

Praktik politik dinasti telah dianggap sebagai bentuk penistaan terhadap prinsip demokrasi. Politik dinasti dinilai tidak sesuai dengan citra negara demokrasi karena memang lazimnya praktik politik ini lebih tepat jika dipraktikan pada negara yang berbentuk monarki. Namun, praktik politik dinasti ini telah mewarnai praktik penyelenggaraan pemerintahan di seluruh dunia, hingga pada negara-negara demokrasi terbesar di dunia, seperti Amerika Serikat dengan Dinasti Kennedy, hingga India dengan Dinasti Nehru-Gandhy. Indonesia sendiri sebagai negara demokrasi terbesar ke-tiga di dunia juga tak luput dari praktik penyelenggaraan politik dinasti. Pada negara Indonesia sendiri, praktik politik dinasti bahwasanya telah berkembang sejak masa Orde Baru, di mana saat itu Presiden Soeharto mengangkat secara langsung putrinya sendiri, Siti Hardiyanti Rukmana untuk menduduki jabatan strategis sebagai Menteri Sosial. Memasuki era Reformasi, praktik politik dinasti pun kian subur. Seiring dengan penerapan desentralisasi dan pemberian otonomi bagi daerah-daerah di Indonesia, praktik politik dinasti kian semakin berkembang. Namun, perbedaannya jika pada masa orde baru praktik dinasti politik lebih masif terjadi pada tingkat pusat, maka pasca reformasi praktik politik dinasti lebih masif terjadi di tingkat daerah dalam praktik Pilkada. Terlebih lagi, setelah adanya mekanisme Pilkada secara langsung pada tahun 2005 lalu. Pelaksanaan Pilkada sendiri bahwasanya merupakan konsekuensi penyelenggaraan otonomi daerah dalam negara kesatuan. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara kesatuan menyelenggarakan pemerintahan daerah yang terdiri atas pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, serta kota yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam menjalankan pemerintahan daerah pada setiap provinsi, kabupaten, ataupun kota, dipilih seorang kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih melalui mekanisme Pilkada secara langsung. Adapun sebelum tahun 2004, pemilihan Kepala Daerah ditunjuk langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung di mana setiap partai politik mengusung pasangan calon yang akan dipertaruhkan dalam Pemilihan Kepala Daerah yang akan berlangsung. Deretan kasus yang lahir dari Dinasti Politik di Indonesia ( Sumber : Tempo.co, Jakarta 17 Oktober 2021 ).

1. Kasus dugaan korupsi yang menyeret Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ; Dodi Reza Alex Noerdin,memperpanjang daftar kasus korupsi yang berasal dari dinasti politik. Dodi merupakan putra sulung dari Alex Noerdin mantan Gubernur Sumatera Selatan. KPK menetapkan Dodi sebagai tersangka pada Sabtu 16 Oktober 2021. Sedangkan ayahnya Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka pada pertengahan September 2021.

2. Fuad Amin ( Bupati Bangkalan 2003-2012 ). Terjerat kasus pencucian uang saat menjabat. Kasus itu juga menyeret anak, istri, dan sopir Fuad.

3. Syaukani Hasan Rais ( Bupati Kutai Kartanegara 1999 – 2010 ). Terjerat korupsi pelaksanaan proyek pembangunan Bandara Samarinda Kutai Kartanegara. Anaknya Rita Widyasari yang kemudian mengisi jabatan Syaukani pada 2010, juga terjerat kasus korupsi setahun setelah menjalankan masa jabatan keduanya pada 2017, Rita ditangkap KPK terkait dengan dugaan suap dan gratifikasi.

4. Yan Anton Ferdian ( Bupati Banyuasin 2013-2018) terbukti melakukan suap terkait proyek pengadaan di Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin tahun 2016. Ia anak dari Amiruddin yang merupakan Bupati Banyuasin sebelum dirinya.

5. Sri Hartini ( Bupati Klaten 2016-2021 ). Dugaan suap uang setoran dari para PNS terkait promosi jabatan. Suaminya Haryanto juga pernah terjerat korupsi buku ajar pada 2004 dengan nilai korupsi 4,7 miliar. Haryanto juga menjabat Bupati Klaten pada masa 2000-2005.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post