FITRIANY FEBBY ADIANA GUSTARINY

BIODATA Nama: Ir. Fitriany Febby Adiana Gustariny, SE,MP, M.Pd.E Tempat/Tgl Lahir : Bogor/18 Agustus 1968 NIP &n...

Selengkapnya
Navigasi Web
RUMAH TUO KAMPAI NAN PANJANG BALIMBING (Part 2)
Dokumentasi Foto di tangga pintu masuk Rumah Tuo Kampai Nan Panjang Balimbing (Selasa, 21/1/2020, foto pribadi)

RUMAH TUO KAMPAI NAN PANJANG BALIMBING (Part 2)

RUMAH TUO KAMPAI NAN PANJANG BALIMBING (Part 2)

Tantangan Hari ke-8

#TantanganGurusiana

Hai, Guru Sianer, jumpa lagi dengan tantangan ke-8 Guru Sianer. Kemarin pada tantangan Guru Sianer ke-7 penulis telah menceritakan tentang eksterior (bentuk luar) Rumah Adat Kampai Nan Panjang. Penjelasan tersebut hanya secara garis besar saja, seperti bahan bangunan terdiri dari kayu dan bambu, tidak menggunakan paku, atap bergonjong empat, atap ditutupi oleh ijuk dengan sistem ikat, pintu masuk, tangga pintu masuk, dan jendela.

Selanjutnya pada tulisan ini penulis akan membahas apa dan bagaimana penjelasan rinci bangunan Rumah Tuo Kampai Nan Panjang tentang alasan mengapa rumah adat ini mampu bertahan lama, menggunakan sistem pasak (tanpa menggunakan paku), alasan menggunakan dinding rumah yang berwarna hitam polos, arti filosofis dari atap bergonjong empat, sistem ikat pada pemasangan ijuk, serta jumlah anak tangga ganjil yang berjumlah tujuh (tujuah).

Rumah Tuo Kampai Nan Panjang adalah sebuah rumah adat (rumah gadang) milik Suku Kampai Nan Panjang di Nagari Balimbing. Rumah gadang ini dapat dianggap sebagai cagar budaya karena merupakan kekayaan warisan budaya yang mempresentasikan pikiran nenek moyang berlandaskan adat yang kental dan memiliki kreativitas yang tinggi.

Nenek moyang orang Minang ternyata berpikiran jauh maju melampaui zamannya dalam membangun rumah. Konstruksi rumah gadang ternyata telah dirancang untuk menahan gempuran gempa bumi. Rumah gadang di Sumatra Barat membuktikan ketangguhan rekayasa komstruksi yang memiliki daya lentur dan soliditas saat terjadi guncangan di atas 8 skala Richter. Bentuk rumah gadang tetap stabil menerima guncangan dari bumi. Getaran yang datang dari tanah terhadap bangunan terdistribusi ke semua bangunan.

Rumah gadang tidak menggunakan paku sebagai alat pengikat, tetapi berupa pasak kayu sebagai sambungan. Hal ini menjadi salah satu kunci untuk mencegah kerusakan dinding bila terjadi gempa. Pasak Kayu ini yang membuat bangunan memiliki sifat yang sangat lentur.

Selain itu, kaki atau tiang bangunan bagian bawah tidak pernah menyentuh bumi atau tanah. Tapak tiang dialasi dengan batu sandi. Batu sandi ini berfungsi sebagai peredam getaran gelombang dari tanah sehingga tidak mempengaruhi bangunan di atasnya.

Jika ada getaran gempa bumi, rumah gadang hanya akan berayun atau bergoyang mengikuti gelombang yang ditimbulkan getaran tersebut. Saat daerah Sumatra barat dilanda gempa, tak ada rumah gadang yang rusak.

Paha ahli mengatakan, bahwa pendahulu di Minangkabau seperti telah memperkirakan kalau rumah gadang harus dibangun untuk melindungi penghuninya dari segala ancaman, mulai dari hewan buas, banjir hingga gempa. Darmansyah, seorang ahli konstruksi di Sumatra Barat menyebutkan, dari sisi ilmu konstruksi bangunan rumah gadang jauh lebih maju setidaknya 300 tahun dibanding konstruksi yang ada di dunia pada zamannya.

Batu sandi Rumah Tuo Kampai Nan Panjang berupa batu kali yang berbentuk pipih yang berfungsi sebagai pondasi bangunan rumah gadang. Pondasi yang kokoh inilah yang menompang rumah gadang, sehingga rumah ini kokoh berdiri. Sandi menyiratkan nilai-nilai sosial, suatu masyarakat akan selaras dan seimbang jika pondasinya, berupa rasa saling menghormati dan menghargai tercipta dengan baik.

Warna hitam pada dinding luar Rumah Kampai Nan Panjang merupakan ciri khas tersendiri yang tidak ditemukan pada rumah gadang lain yang ada di Balimbing, bahkan juga pada rumah gadang lain yang ada di daerah Minangkabau. Pernah penulis tanyakan mengapa warnanya hitam (sebab menurut pandangan penulis warnanya tidak menarik, tidak seperti rumah gadang yang lain yang penampilannya sangat menarik perhatian penuh ukiran dengan nuansa warna merah, kuning, dan biru).

Semula penulis menduga warna hitam tersebut yang membuat rumah Kampai Nan Panjang dapat bertahan lama atau awet, dan tidak dimakan rayap. Sebab penulis amati semua rumah gadang yang ada di Nagari Balimbing tidak ada yang berwarna hitam seperti Rumah Kampai Nan Panjang, dan semua rumah tersebut tidak ada yang bertahan lama (sudah rusak). Kalaupun ada rumah tersebut bukan lagi rumah gadang yang asli, tetapi rumah gadang yang baru dibangun kembali.

Namun ternyata dugaan penulis tentang alasan menggunakan warna hitam ini adalah keliru. Sore kemarin (Selasa/21/2020) penulis sengaja datang kembali mengunjungi Rumah Tuo Kampai Nan Panjang ini dengan tujuan untuk pengambilan foto untuk tulisan ini. Pengambilan dokumentasi foto ini penulis meminta bantuan kepada Dt. Mangkuto Sinaro (beliau kakak penulis yang berperan sebagai St.Pamenan dalam Randai Sarinah Siti yang telah penulis ceritakan pada tantangan Guru Siana 4 dan 5). Kebetulan rumahnya bersebelahan dengan Rumah Adat Kampai Nan Panjang ini. Selain itu penulis sengaja mengajak beliau, karena beliau banyak mengetahui tentang adat Nagari Balimbing, serta ia juga seorang tukang membuat bangunan. Jadi, penulis dapat bertanya tentang konstruksi bangunan Rumah Tuo Kampai Nan Panjang ini sesuai dengan ilmu, pengalaman, dan keahlian yang beliau miliki.

Penulis bertanya kepada beliau mengapa rumah adat ini berwarna hitam. Ternyata jawaban yang diberikan oleh Dt. Mangkuto Sinaro benar-benar sesuatu hal yang baru penulis ketahui.

Menurut penuturan beliau bahwa warna hitam pada dinding Rumah Tuo Kampai Nan Panjang tersebut merupakan lambang pakaian Ninik Mamak di Lareh Nan Panjang (mulai dari Guguak Sikaladi sampai Bukit Tamasu Hili Balimbing). Lareh Nan Panjang ini terdiri dari 15 koto, yaitu 7 koto “diateh” (diatas) dan 8 koto di bawah). Koto adalah daerah petengahan antara kampung dan nagari. Jadi urutanya, kampung, koto, naru nagari.

Tujuh (7) koto diateh terdiri dari Koto Guguak, Koto Sikaladi, Koto Padang Panjang, Koto Pariangan, Koto Baru, Koto Sialahan, dan Koto Batu Basa. Sementara delapan (8) koto di bawah terdiri dari Koto Galogandang, Koto Baturawan, Koto Padang Lua, Koto Balimbing, Koto Kinawai, Koto Sawah Kareh, Koto Bukit Tamasu, dan Koto Padang Pulai).

Menurut Dt.Mangkuto Sinaro dalam bahasa Minang:

“Pakaian asli ninik mamak itu hitam sadonyo, termasuk deta, tamasuk deta, kupiah, sadaonyo hitam, tak baragi, baik ragi kuning ameh atau merah, atau ragi lainnyo Pakain ninik mamak seperti yang dipakai dulu oleh Papa Fit”

(Pakaian asli ninik mamak itu hitam semua, deta (segtiga yang diikatkan di kepala), peci hitam, tidak ada detil gambar/bordiran, dsb , baik dalam bentuk kuning emas, merah, atau yang lainnya. seperti pakaian ninik mamak yang dipakai oleh Papa Fit).

Pantas saja dulu sewaktu papa penulis masih hidup saat mengikuti acara ninik mamak, beliau menggunakan pakaian ninik mamak hitam polos tidak ada detil-detil seperti bordiran kuning emas, dsb. Menurut penulis waktu itu pakaian papa penulis yang paling jelek dan kuno dibanding pakaian ninik mamak yang lain. Sebab pakain ninik mamak yang lain terlihat menarik dan modern. Ooo…rupanya pakaian ninik mamak yang dikenakan oleh papa penulis itu yang justru benar-benar asli pakaian ninik mamak. Terima kasih papaku yang telah memberikan salah satu contoh yang benar sebagai ninik mamak.

Oh, ya para pembaca Guru Siana sebagai informasi bahwa saat masih hidup papa penulis memang Ninik Mamak Nagari Balimbing, beliau bergelar Dt.Sauja Kayo. Dulu penulis perhatikan beliau sangat telaten dalam merawat baju ninik mamak yang ia miliki, dan ia memiliki peti khusus untuk menyimpannya. Jadi, saat ia meninggal baju tersebut diwariskan lagi kepada kemenakannya yang menggantikan beliau sebagai Dt. Sauja Kayo.

Setelah mendapatkan jawaban mengenai mengapa Rumah Tuo Kampai Nan Panjang bewarna hitam, selanjutnya penulis bertanya kepada Dt.Mangkuto Sinaro apa jenis kayu yang digunakan, sehingga rumah yang terdiri dari kayu ini tidak rusak dan dimakan rayap. Penulis juga menggunakan bagaimana cara mengolah kayu tersebut untuk dijadikan bahan bangunan rumah adat ini.

Dt.Mangkuto Sinaro menjelaskan bahwa kayu yang digunakan adalah kayu tepilih. Beliau menyebutkan jenis kayu dalam bahasa Minangnya, yaitu Kayu “Tareh Jua”. Kayu “Tareh Jua” yang telah berbentuk tonggak (batangan) direndam dalam “tabek” (kolam) minimal 3 bulan. Apabila telah sepakat kaum untuk membangun rumah adat, barulah tonggak tersebut dikeluarkan untuk mulai diolah.

Pertama kali yang dilakukan adalah mencari “tonggak tuo”. Caranya “ditokok” (diketuk) seluruh tonggak (batangan kayu) tersebut, apabila terdapat 1 tongga yang bunyinya lain dari yang lain, maka tonggak yang 1 ini yang jadikan tonggak tuo untuk rumah gadang. Tonggak tuo ini diltakkan “dipangka rumah sabalah kanan ka naik” (dipangkal rumah sebelah kanan pintu masuk). “Pangka rumah sebelah kanan” menunjukkan bahwa kaum asli penduduk rumah gadang tersebut akan menghuni bagian ruang sebelah kanan, sedangkan datuk-datuk (ketek) dan orang pendatang yang mengaku induk di rumah adat tersebut mendapat ruang sebelah kiri di rumah adat tersebut. Jadi, dari hal tersebut kita dapat mengetahu mana kaum yang asli dari rumah gadang tersebut.

Cara pembangunan kayu dengan “pangka rumah” yang diletakkan di sebelah kanan pintu masuk juga digunakan oleh semua pembangunan rumah kayu di Nagari Balimbing (maksudnya bukan rumah adat saja, teramsuk rumah pribadi yang terbuat dari kayu). Mendengar penuturan Dt.Mangkuto Sinaro ini, penulis menanyakan berarti rumah kayu (milik pribadi) yang penulis tempati sekarang ini juga menggunakan “pangka rumah”. Ya, jawab Dt. Mangkuto Sinaro. Rumah milik pribadi yang penulis tempati sekarang ini adalah satu-satunya rumah kayu yang tersisa. Ada rumah kayu yang lain, tetapi usianya tidak sebanyak usia rumah penulis. Karena menurut informasi warga rumah kayu milik penulis ini adalah rumah pribadi yang tertua di Nagari Balimbing.

Selanjutnya bagaimana membangun rumah tanpa menggunakan paku? Menurut Dt.Mangkuto Sinaro bahwa pembangunanya tidak menggunakan paku, tetapi sistem pasak. Sistem pasak dibuat dengan membentuk pola tertentu pada kayu yang digunakan sebagai dasar lantai, keduanya kemudian dirangkai satu sama lain membentuk struktur. Struktur tersebut yang membuat rumah ini tahan terhadap gempa, karena dapat bergerak seperti engsel. Oleh karena keunikan rumah ini dibangun tanpa menggunakan paku, oleh karena itu bangunan ini dikenal juga dengan nama “Rumah Adat Indak Bapaku“ (Rumah Adat Tanpa Paku). Pembangunan Tuo Kampai Nan Panjang sama halnya dengan pembangunan rumah gadang yang ada di Minang kabau dilakukan dengan sistem pasak. Memang semua Rumah Adat Minangkabau dibangun tanpa menggunakan paku, namun julukan “Rumah Adat Indak Bapaku“ melekat kepada Rumah Tuo Kampai Nan Panjang ini, mungkin karena dari sekian banyak rumat adat yang tersisa dan yang usianya yang sudah ratusan tahun hanya rumat adat ini.

Bagimana dengan atap? Atap Rumah Tuo Kampai Nan Panjang terbuat dari ijuk. Sistem ikat digunakan dalam merangkai atap yang terbuat dari ijuk. Atap ijuk memberikan kesan alami dan sejuk. Menurut salah seorang tukang yang biasa membangun rumah gadang ketika penulis tanyakan bahwa atap ijuk dapat bertahan sangat lama, antara 15-50 tahun, tergantung kondisi lingkungan.

Sebagai mana hal diketahui Rumah Adat Minangkabau memiliki atap bergonjong. Atap bergonjong menyerupai tanduk kerbau adalah ciri khas rumah adat Minangkabau. Tanduk kerbau dalam arsitek Minangkabau dikaitkan dengan legenda yang pernah berkembang di masarakat Minagkabau mengenai adu kerbau antara kerbau orang Jawa dengan kerbau orang Minang. Kemenangan kerbau orang Minang, menjadikan tanduk kerbau sebagai nilai sakral bagi masyarakat Minangkabau. Hal ini menyiratkan nilai identitas bagi masyarakat Minangkabau.

Wiwin dan Y. Febriola dari Fakultas llmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam penelitiannya yang berjudul Rumah Tuo Kampai Nan Panjang: Kajian Nilai-nilai Budaya dan Pemanfataanya memaparkan bahwa gonjong utama utama Rumah Tuo Kampai Nan Panjang berjumlah empat buah dan satu gonjong tambahan untuk atap penutup tangga. Letak gonjong bertingkat sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya. Hiasan gonjong bagian atas berupa bunga di atas bulan, pada tingkat kedua terdapat hiasan motif daun. Tingkatan paling atas dan tingkat kedua dihubungkan dengan bulatan yang makin ke atas semakin mengecil. Pada gonjong tingkat ketiga terdapat hiasan bergambarkan payung. Gonjong tingkat ketiga dan keempat dihubungkan dengan bulatan yang lebih besar. Gonjong tingkat lima atau gonjong paling bawah terdapat bulatan besar yang berfungsi untuk membalut ijuk.

Setiap bentuk dan tingkatan gonjong memiliki makna masing-masing. Gonjong puncak terdapat bulan sabit dan bintang, ini merupakan kekuasaan Tuhan. Gonjong bagian kedua terdapat motif bunga, yang melambangkan kepemimpinan pemerintahan Minangkabau. Bulatan-bulatan pada tingkat ketiga sampai bagian gonjong terbawah merupakan simbol sosial mengenai kerapatan adat, kedudukan masyarakat, dan nagari. Dalam hal ini terdapat nulai-nilai religi yaitu bahwasannya antara adat dan agama harus seiring dan tidak boleh bertentangan.

Selanjutnya, apa dan bagaimana maksud jumlah anak tangga yang berjumlah ganjil, yaitu tujuh buah tujuh? Menurut keterangan Dt.Mangkuto Sinaro bahwa jumlah tangga pada rumah adat Minang Minangkabau selalu ganjil, seperti 3, 5, 7,9, dst. Jumlah anak tangga yang ganjil ini menyiratkan simbol agama dalam kehidupan, bahwasannya dalam kehidupan ini tidak ada yang genap. Genap berarti kesempurnaan, sedangkan ganjil bermakna sebagai sesuatu yang belum cukup dan belum lengkap dalam kehidupan ini.

Jumlah anak tangga tujuh buah dapat juga dimaknai sebagai simbol keturunan Suku Kampai. Lebar masing-masing anak tangga juga memberikan suatu nilai sosial dalam masyarakat yaitu nilai kekerabatan. Masing-masing anak tangga memiliki jarak yang agak rapat, hal ini menggambarkan dekatnya hubungan persaudaraan.

Tangga yang terletak pada bagian pintu masuk diberi atap yang bagian atasnya diberi gonjong. Tiang gonjong terbuat dari empat buah kayu yang ditegakkan di atas sandi. Tangga sebagai tempat untuk naik dan turun rumah meniratkan simbol budaya berupa mufakat, artinya dalam menyelesaikan suatu perkara harus diselesaikan dari bawah.

Demikian tentang eksterior Rumah Adat Kampai Nan Panjang serta nilai filosifis dari masing-masing komponenya yang dapat penulis sampaikan kepada para pembaca Guru Siana.

Selanjutnya pada tulisan menatang, penulis akan membahas tentang interior dari Rumah Adat ini. Tunggu paparanya pada tulisan berikutnya, oke!

FITRIANY FEBBY ADIANA GUSTARINY

Balimbing-Rambatan Tanah Datar, Rabu 22/1/2020)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bukan bu. Koto itu terletak antara kampung dan nagari. Kampung dulu bari koto, setelah itu baru nagari, baru kecamatan

22 Jan
Balas

X Koto itu nama kecamatan, yaitu Kecamatan X Koto, 50 kota itu nama kabuapen, Kabupaten Lima Puluh Kota.

26 Jan
Balas

Terimakasih buk Ir Fitriany Febby Adiana Gustariny, tulisannya sangat bagus..

22 Jan
Balas

Trims Pak Syam yang selalu setia membaca, like, dan komen tulisan Fit

22 Jan

Tentuselah iyo akan awak baco dan awak beri support tulisan nya buk Fit, hehehe

27 Jan

Wah...lengkap Buk tulisannya, sukses selalu buat ibu dan selamat melanjutkan cerita yang bersejarah di Minangkabau sehingga ilmu pembacanya jadi bertambah.

22 Jan
Balas

Aamiin, trims, dan sukses juga buat bu Aisyah Jamela

22 Jan

Deskripsi yang sangat detail... Tulisan yang menambah khasanah ilmu sejarah Minangkabau. Selamat melanjutkan tulisannya Bu Fit! Barakallah.

22 Jan
Balas

Alhandulillah, trims dan sukses juga buat bu Eng

22 Jan

Untuk menahan gempuran gempa bumi dan beragam makna, rumah adat y bnar2 membumi. Keren bu lengkap lengkap

22 Jan
Balas

Ya, bu Suwartini.

22 Jan

Tulisan yang informatif... Keren Bu... Kapan ya bisa berkunkung ke sana?

22 Jan
Balas

Ayo bu silahkan berkunjung

23 Jan

Wah...lengkap datanya bu...

22 Jan
Balas

Data ini diperoleh dengan membaca referensi, observasi, dan wawancara bu Juli.

22 Jan

Koto itu setingkat kecamatan ya bu.. ?

22 Jan
Balas

Bukan bu. Koto itu terletak antara kampung dan nagari. Kampung dulu bari koto, setelah itu baru nagari, baru kecamatan

22 Jan

Oh kok rumit. Di Jawa biasanya, kampung/dusun, kmd desa/kelurahan, baru kecamatan.

23 Jan
Balas

Lha kemarin des 2019 waktu ke Sumbar, sy melewati X Koto dan 50 Koto.Itu nama apa ya.. ?

23 Jan
Balas



search

New Post