Suara Hati Pusara
Oleh FADLIN, S.Pd
Aku dengan muka menunduk, duduk di hamparan tanah seluas 800 meter persegi. Dengan mata sembab aku memegang sebuah Surat Yasin yang bersampulkan foto suamiku.
Sesekali aku mengusap fotonya dengan lembut, saat aku mengantarkan doa untuknya yang tak jelas dimana pusaranya.
Ekor mataku menyapu ke setiap sudut pemakaman massal yang ada ditengah-tengah kota itu.
Jelas yang terlihat hanya batu-batu nisan besar yang bertumpukan. Namun, aku yakin di salah satu nisan itu ada suamiku yang sedang tersenyum menatapku dari bawah.
Musibah besar itu telah memisahkan aku dengan suamiku. Minggu pagi itu ia berangkat ke pulau Sabang untuk mengikuti pelatihan dari Dinas Kesehatan Aceh. Dan hari itu menjadi hari terakhirku melihatnya. Ia sempat menghubungiku saat ia sudah berada di pelabuhan Ulee Lhe Banda Aceh, namun tiba-tiba saja teleponnya terputus karena gempa yang begitu kuat.
Aku menangis. Buncahan Qalam Ilahi tak henti-hentinya keluar dari mulutku. Ketakutan begitu menggelayutiku saat gempa yang maha dahsyat menghancurkan rumah yang baru saja kami tempati tiga bulan yang lalu. Setelah itu disusul dengan gelombang besar yang ikut menyapu semua bangunan rata dengan tanah. Sungguh semakin menambah ketakutan karena aku sedang seorang diri di rumah.
Aku terseret oleh gelombang sejauh 500 meter dari rumahku. Nasib baik berpihak padaku, tali jemuran berasil aku raih. Lalu aku ditarik oleh beberapa orang yang tidak aku kenal ke atas sebuah bangunan sehingga aku terselamatkan dari gelombang besar itu. Namun tidak dengan suamiku hingga sekarang aku tak tahu dimana keberadaannya.
Saat akan meninggalkan pemakaman massal itu tiba-tiba saja langkahku tertahan oleh suara tangisan seorang wanita yang baru saja tiba. Wanita itu usianya lebih muda dariku. Ia menangis sesunggukan dan memeluk salah batu nisan yang ada di sampingnya.
Tak tega melihatnya, akupun mendekati wanita itu.
"Mbak dari mana?" Tanyaku lirih.
"Aku baru saja tiba dari Sabang dua jam yang lalu." Jawab wanita itu mengusap matanya dengan selembar tisu.
Matanya masih saja berbinar. Sudut netranya terus mengeluarkan cairan putih bening, meskipun sudah berkali-kali ia menyekanya dengan beberapa lembar tisu.
Pembicaraanku dengannya terus berlangsung. Kemudian aku sodorkan ia Surat Yasin yang baru saja selesai aku baca.
"Jika mbak sayang dengan orang yang sedang mbak tangisi, bacakan ini untuknya, Insyaallah dia akan tenang disana." Ucapku dengan sedikit sunggingan senyum kecil di bibirku.
Tanpa penolakan wanita itu mengambil Surat Yasin itu dari tanganku, lalu dibacanya dengan suara terbata-bata karena masih menahan tangisan.
Melihat wanita itu mulai tenang akupun berdiri ingin meninggalkan pemakaman itu. Namun baru saja tiga langkah aku berjalan membelakanginya tiba-tiba saja wanita itu berhenti membaca Surat Yasin dan memanggilku, "Kenapa foto suamiku bisa ada di sini?" Ucap wanita itu melototiku saat mengembalikan Surat Yassin.
Note:
Cerita ini fiktif belaka. Jika ada kesamaan, ini hanya kebetulan saja.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Duh, twisted. Sering, kehilangan yang kita rasakan, terbantahkan oleh pedihnya kenyataan.Salam literasi dan sehat selalu, pak Fadlin.