fadillah tri aulia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Harap di Ujung Asap

Sore ini, gerimis kembali turun di kota ini, hanya gerimis tak pernah menjelma badai. Gerimis yang cukup meluruhkan debu-debu pada tiang-tiang listrik di sepanjang jalan menuju rumahku. Namun, tak cukup menyejukan penat para perempuan buruh pabrik yang bubar, menyeruak, menyebrang menutup jalan yang sudah cukup sempit.

Aku masih menunggumu di atas motor yang baru kau belikan. Tak hanya aku, banyak lelaki yang sama-sama menunggu di atas motor yang masih mengilap. Motor yang rata-rata cicilannya masih panjang.

Bagaimanalah, semenjak sawah-sawah berubah menjadi bangunan kokoh, kota ini telah berubah menjadi aneh. Perempuan-perempuan berbetis kokoh sibuk bekerja, berdiri begitu lama. Para lekaki pergi-pulang mengantar istri, membuat susu anaknya, bahkan jika perlu sibuk di dapur. Tangan yang biasa sibuk mencangkul itu lambat laun menjadi lembut, bau tanah menjadi bau bedak bayi atau sabun cuci.

"Sudah lama, Mas?" kau tiba-tiba duduk di belakangku sambil mengunyah cilok hangat yang kau gigit dari ujung plastik. "Mau?".

Aku menggeleng.

"Langsung pulang?" tanyaku sambil melihatnya dari kaca spion. Ia menyimpan plastik di saku tas lalu mengenakan helmnya.

"Oh ya, aku capek. Ada bos besar datang, kontrol ini-itu, semua harus sempurna," jawabmu setelah kuulang pertanyaanku. "Tapi aku lapar, kita makan dulu, yuk! Di pecel lele, Mas Kur."

Aku mengangguk. Lantas kulajukan motorku. Tangannya melingkar di pinggangku, erat. Hal yang masih membuatku bangga. Dekapannya setidaknya masih menyatakan bahwa ia masih membutuhkanku. Aku masih ada.

"Aku sudah bertemu Pak Min. Katanya aku sudah bisa bekerja di tokonya mulai pekan depan," ucapku sambil menunggu pesanan kami datang.

"Tokonya tak jadi dijual, tho?"

Aku menggeleng. "Beliau tak mau. Lebih baik buka toko sendiri daripada tempatnya dibuat toko waralaba yang entah milik siapa," jawabku.

"Gajiku masih kurang?" Tanyamu kecut.

"Tidak, lebih dari cukup. Tapi," ku menjeda, menatap motor yang terparkir dan dibiarkan basah oleh gerimis. "Itu uangmu," lanjutku.

Kau mengambil nafas dan membuangnya kasar.

"Mungkin tak seberapa gajiku nanti, tapi aku masih ingin menjadi lelaki dan suami. Mungkin hanya cukup untuk mentraktirmu sesekali atau pergi rekreasi sebulan sekali," ucapku sambil memainkan sisa gerimis di tanganmu yang basah.

Kau tersenyum. "Baiklah, walau menurutku Mas tak perlu begitu. Aku tetap menghormatimu sebagai lelakiku, sebagai suamiku," katamu sambil meneguk teh pahit hangat yang baru disajikan.

Setelah pamit kepada Mas Kur yang berasal dari daerah yang sama denganku, kunyalakan motor dan bergegas pergi ditemani pelukannya yang masih erat.

Di belokan terakhir menuju rumah, orang-orang begitu ramai, asap mengepul dari warna kemerahan yang membara.

Itu!

Kuhentikan motorku dan istriku bertanya ada apa.

"Toko Pak Min kebakaran!"

Tepat saat itu, kuharap gerimis berubah menjadi badai.

#Subang, gerimis di Februari

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Selaku suka tulisanmu, Pak Guru.

05 Aug
Balas



search

New Post