fadillah tri aulia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Cerita dari Sumberswara

Cerita dari Sumberswara

Tap! Tap! Tap!

Langkah kecil Tati semakin cepat, memburu pagi yang sebentar lagi lenyap. Tas kecilnya berayun seiring dengan rambut ekor kudanya yang kemerahan. Jari-jari kecil di tangan kanannya masih menggenggam kicimpring buatan ibunya yang tak sempat ia habiskan. Namun, makanan yang terbuat dari singkong itu akhirnya terlempar dari genggamannya. Pluk! Jatuh ke tanah kemerahan. Ah, Tati.

Lain lagi dengan Maman. Sudah sedari pagi dia berdiri di depan sekolah. Menunggui termos es yang sudah mulai pudar warnanya. Sesekali ia membuka buku tulisnya yang lepet. Menggambar tokoh kartun idolanya, Naruto, dalam berbagai gaya. Sesekali pula ia memperhatikan anak-anak bermain di lapangan sekolah. Itu Maman bukan Tino. Karena Tino masih harus membantu Pak Oman, ayahnya, mengolah ladang milik Pak Indra.

Masih banyak anak-anak seusia mereka yang sedang berjalan, berlari, atau malah masih berjualan. Tapi mereka. tepat jam satu siang nanti, akan berkumpul di sekolah yang terletak di ujung Barat desa. Tentu saja bukan lagi untuk menjajakan dagangannya atau untuk sekedar mengobrol, tapi belajar. Belajar supaya pintar! Meraih cita – cita yang – disuruh gurunya untuk – digantung tinggi. Itu yang ada dalam hati mereka.

Tepat jam satu siang, hampir semua anak sudah berkumpul di kelas. Termasuk Maman dan Tati. Namun, nun beberapa meter dari sekolah masih ada beberapa anak yang berlarian mengejar waktu. Anak-anak kelas empat, lima dan enam memang masuk siang. Mereka harus bergantian ruangan kelas dengan adik-adik mereka. Namanya juga sekolah ‘kampung’, ruangannya pun seadanya. Tapi karena sekolah ini ‘baru’ direnovasi, jadi kelihatan lebih bagus. Walaupun langit – langit kelas banyak yang bolong dan dindingnya pun sudah retak-retak. Sudah hampir lima tahun sekolah ini tidak direnovasi apa-apa. Tapi kondisi sekolah mereka lebih baik dibandingkan sekolah desa sebelah. Di SD Setia Bakti dindingnya dari bilik bambu. Terus listrik belum dipasang. Sehingga jika anak-anak mau senam kesegaran jasmani, Pak Amung harus membeli enam buah batu baterai sebesar pisang ambon untuk menyalakan radio tape milik Bu Ida. Sekolah memang belum punya radio tape sendiri.

Di kelas enam.

Karena gugup tak membawa pensil, Tati menggesek-gesekan kakinya yang tak bersepatu. Memang, tak ada siswa yang bersepatu di dalam kelas. Peraturannnya, hanya bapak atau ibu guru saja yang boleh pakai sepatu ke dalam kelas. Sedangkan para siswa harus melepaskan alas kakinya dan meletakannya dengan rapih di luar. Padahal kelas itu hanya beralaskan ubin berwarna hitam, bukan lantai keramik berwarna-warni. Sedangkan Maman sedang sibuk menghitung uang hasil jualan es-nya. Wah, syukurlah hari ini panas, jadi es-nya habis terjual. Lalu, bagaimana dengan Pak Guru? Nah, kalau Pak Juki—nama aslinya Pak Marzuki, tapi anak-anak lebih senang menyebutnya Pak Juki, lebih mudah kata mereka—sedang mencari kunci motornya yang mau dipinjam Bu Tarsih, guru Agama di SD Sumberswara. Ya, Sumberswara, itulah nama desa tempat cerita ini diambil.

Tentu saja, tiap hari keadaannya tidak seperti itu. Seperti sekolah pada umumnya, ada siswa belajar dan guru mengajarkan. Guru mencatat di papan tulis dan siswa menyalinnya. Atau, jika gurunya sedang capek, seorang siswa yang akan mencatat di papan tulis dan yang lainnya mencatatnya. Tapi, cobalah tengok keesokan harinya. Ada sesuatu yang berbeda besok di sekolah. Sekolah libur! Sontak seluruh siswa bersorak gembira. Sekolah libur padahal besok bukan hari libur. Pasti ada yang spesial!

Ibu Mimi, ibu kepala sekolah, bilang besok akan ada tamu datang ke Desa Sumber Swara. Calon presiden dan wakil presiden! Mereka penasaran dengan Desa Sumber Swara yang terkenal dengan hasil taninya yang melimpah. Bahkan, jagung andalan petani di sini sudah terkenal sampai ke Negara Tanakurang – anehnya penduduk setempat tidak pernah tahu hal itu.

Keesokan harinya, seperti yang diumumkan, sekolah libur. Tapi, Maman, Tati, Tino, Ratih dan teman-temannya pagi-pagi sekali sudah pergi ke lapangan depan kantor desa. Mereka juga memakai seragam putih-merahnya. Hanya saja, mereka tidak bawa tas. Di lapangan tak hanya ada siswa-siswa saja, ada juga bapak-bapak hansip, ibu-ibu pengajian, dan para penduduk lainnya. Pokoknya, semua orang kumpul di sana. Katanya, mereka ingin melihat calon presiden dan wakil presiden itu. Lapangan kantor desa berbeda sekali, lebih meriah daripada saat perayaan hari kemerdekaan. Panggungnya pakai tenda warna biru. Terus dihiasi macam-macam. Di sekeliling lapangan, banyak sekali orang jualan. Ada banyak mobil berjejer, bahkan ada truk tentara segala.

Dalam hiruk pikuk itu, Tati bertanya dalam hati, apakah calon presiden dan wakil presidennya nanti cakep atau tidak. Sedangkan Maman, lain lagi. Ia ingin calon presiden dan wakil presidennya hebat seperti Naruto! Sedangkan Ratih ingin calon pemimpin negaranya itu kaya dan baik. Dan masih banyak lagi harapan serta impian anak-anak bahkan orang tua tentang calon presiden dan wakil presidennya itu.

Ya, tamu yang akan datang dan sangat mereka nantikan itu memang pantas menjadi harapan mereka. Lima tahun ke depan, merekalah yang akan memimpin negara ini.

Anak-anak SD berbaris rapih. Hanya anak kelas enam yang ikut upacara. Mereka berbaris di samping barisan ibu-ibu pengajian. Di sana ada ibunya Maman dan Tati. Sudah hampir satu jam mereka berbaris di lapangan tapi upacara belum mulai juga. Tati mulai menggosok kakinya, pegal. Maman menyesal hari ini dia tidak membawa dagangannya. Pasti laku, pikirnya.

Seharusnya tamu yang ditunggu tidak telat. Jalan desa yang tadinya jelek sudah diperbaiki dan jadi bagus sekali, mulus. Bu Anah, ibunya Tati, tak perlu sakit lagi pantatnya jika harus naik ojeg ke pasar yang terletak di kecamatan.

Setelah beberapa kali Pak Lurah menengok ke jalan dan melihat jam tangan keemasannya, sebuah rombongan mobil-mobil bagus datang. Rombongan itu jelas terlihat, karena kantor desa terletak di dataran yang paling atas.

“Siap, siap, siap, calon presiden dan wakil presiden kita sebentar lagi datang!” Pak Oman ketua Hansip berteriak. Padahal sudah disediakan mikrofon. Mungkin sudah terbiasa berteriak seperti itu. Maklum, mikrofon hanya dipakai pada saat tujuhbelasan atau ada hajatan saja. Toh suaranya tetap lantang walau tanpa mikrofon.

Jantung Tati, Maman, dan penduduk lainnya berdegub kencang. Banyak tanya yang kembali muncul dalam pikiran mereka. Cakep tidak ya? Baik tidak ya? Lucu tidak ya? Ah pokoknya banyak tanya yang muncul. Tapi ada satu pertanyaan yang ternyata paling banyak muncul: kapan sembakonya dibagikan? Ibu-ibu dan bapak-bapak tentu saja mau datang pagi-pagi sekali ke sini bukan hanya untuk ikut upacara. Apalagi untuk bertemu dengan calon presiden dan wakil presiden itu. Tapi mereka datang karena di undangan yang dibagikan Pak RT ditulis kalau mereka sekarang akan dibagi sembako, gratis!

Sebuah mobil sedan yang paling mengilap berhenti tepat di depan lapang kantor desa. Dan itulah tamu yang dinantikan sejak tadi. Perlahan pitu mobil dibuka oleh supir yang keluar duluan. Dengan senyum yang mengembang seorang lelaki gemuk keluar dari sisi kanan mobil. Sedangkan dari sisi kiri keluar lelaki yang tak kalah gemuk dan tak kalah mengembang senyumannya. Beberapa orang nampak berkerut dahinya. Mereka mencoba mengingat lelaki-lelaki perlente itu.

Salah seorang bapak berbisik kepada temannya, “Itu presiden yang sekarang kan?”. Temannya menjawab dengan anggukan yakin, “ya. Pantas saja seperti sudah kenal”.

Di sisi lain seorang ibu bertanya kepada ibu gemuk di depannya, “Mencalonkan lagi?”

“Ya. cuma sekarang waktunya yang beda,” jawab si Ibu gemuk.

Calon presiden dan wakil presiden yang mereka nantikan sejak tadi itu memang presiden negara mereka saat ini, Negara Amataman. Dia sudah pernah datang ke desa ini lima tahun lalu. Waktu itu Tati dan Maman masih kelas satu, jadi mereka tidak ingat. Dulu pun keadaannya tidak jauh beda dengan saat ini.

Upacara di mulai. Tapi semuanya, terutama ibu-ibu dan bapak-bapak, tidak bisa berkonsentrasi. Bukan karena bingung dengan sosok yang lima tahun lalu pernah datang ke desa ini dengan tujuan yang sama. Tentu saja bukan itu tetapi sedari tadi mata mereka tertuju kepada mobil bak yang ikut dengan rombongan calon presiden dan wakil presiden itu. Mobil bak itu berisi bungkusan-bungkusan plastik warna hitam.

Tati? Ia kecewa karena calon presiden dan wakil presidennya tidak cakep. Calon presiden dan wakil presidennya gemuk dan pendek. Maman juga kecewa karena bapak pejabat itu tidak hebat seperti Naruto. Buktinya ia tidak meloncat begitu keluar dari mobil sambil mengeluarkan jurus – jurus ninja. Sedangkan Ratih, masih bertanya-tanya apakah calon presiden dan wakil presidennya baik hati atau tidak. Dan jawabannya segera terjawab ketika entah siapa yang mulai, barisan ibu-ibu dan bapak-bapak berlarian ke arah mobil bak dan mengambil sembako yang disimpan di sana. Pak Oman dan hansip lain kebingungan. Pak Lurah ikut bingung dan panik. Calon presiden dan wakil presiden itu tersenyum mengembang. Tati, Maman, Ratih dan anak-anak lain hanya diam kebingungan melihat tingkah laku orang tua dan tetangga mereka.

“Ambil saja bapak-bapak, ibu-ibu! Gratis dari Pak Dudu dan Pak Itoh. Jangan lupa nyoblos DUIT, Dudu-Itoh!” Seorang juru kampanye mengambil alih mikrofon dari pembawa acara upacara. Sedangkan orang-orang yang ikut dengan rombongan tadi tiba-tiba menghampiri anak-anak, termasuk Tati dan Maman, membagikan permen bergambar calon presiden dan wakil presiden itu. Ratih senang sekali karena calon presiden dan wakil presiden mereka baik hati.

Setelah sembako di mobil bak habis, semua pulang dengan senang. Padahal tamu agung itu belum sempat menyampaikan program – program unggulan mereka. Tapi toh, dengan sembako saja warga Sumberswara sudah paham harus pilih apa. Lagipula, memang tamu agung itu pun nampak tak keberatan dengan ‘pembubabaran masa’ sebelum waktunya itu. Buktinya, mereka langsung undur diri walaupun sudah ditawari untuk singgah ngopi sejenak di balai desa. “Masih banyak desa yang harus diperhatikan,” begitu alasannya.

Pun Tati, yang sempat kecewa karena calon presiden dan wakil presidennya tidak cakep, ikut senang karena dapat permen banyak. Begitu juga Maman. Apalagi Ratih, ibu-ibu, dan bapak-bapak. Mereka tidak pulang dengan sia-sia.

Sambil tersenyum Tati berceloteh, “Coba pemilihan umum itu seminggu sekali. Pasti seru!”

“Setiap hari saja, pasti lebih seru!” Timpal Maman sambil mengunyah permen yang dibagikan tadi.

“Tapi sayang cuma lima tahun sekali,” ujar Tati sambil memasukan permen-permen itu ke saku rok seragamnya yang lusuh.

Keesokan harinya Bu Anah, kepala SD Sumber Swara, masuk ke kelas Tati. Bu Ida yang sedang mengajar mengalah dan berdiri di belakang. Setelah merapihkan kerudung cokelat yang dipakainya Bu Anah mulai berbicara.

“Anak-anak, besok sekolah libur karena calon presiden dan wakil presiden akan datang.”

“Kan kemarin sudah?” Semua siswa memandang Tati sejenak kemudian mengangguk setuju.

“Ini calon dari partai lain.”

“Emang ada berapa partai, bu?” Kini giliran Maman yang bertanya.

“Um, ada berapa ya Bu Ida?”

“45 mungkin.”

“Wah, berarti bakal dikasih permen lagi dong bu? Wah asik!”

Anak-anak pun riuh. Sedangkan, Bu Ida dan Bu Anah tersenyum senang: sembako gratis lagi.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post