Menangis Sendiri
Hari ini gerah sekali, aku sedang duduk diteras rumah ketika tiba-tiba datang temanku Tatri menghampiriku dengan wajah yang cemberut."Ada apa Tat," tanyaku dengan menatap tepat dimatanya. Dia diam saja mendapati aku sedang menatap matanya. Kulihat sinar matanya sungguh kosong sudah beberapa bulan ini. Tidak ada keceriaan di matanya apalagi semenjak bundanya meninggal. Sudah lima bulan bunda Tatri meninggal dan semenjak itu dia tinggal bersama ayah dan kakak laki-lakinya.
Tatri adalah gadis periang, suka tertawa dan ramah pada siapa saja. Dia suka berteman dengan siapa saja, asalkan orang itu baik menurutnya. Kalau dia mengetahui orang itu berdusta padanya, maka dia akan segera menjauh dan tak mau berteman dengan orang tersebut. Baginya teman itu adalah kejujuran, maka akupun suka berteman dengannya. Orangnya cantik, memiliki rambut panjang yang ikal dan hitam, dan sering diikatnya kebelakang seperti ekor kuda. Wajahnya oval dan alis yang tersusun rapi serta hidung yang tidak begitu mancung tapi proposional sesuai dengan mulutnya yang lentik berkicau kesana kemari apabila dia berbicara. Judes....? Tidak. Dia bisa menempatkan bahasa dengan siapa dia bicara. Paling disayang oleh bundanya, sehingga kemana bunda pergi dia selalu dibawa. Paling suka memuji bundanya karena memang bundanya sangat menyayanginya.
Semua keceriaan itu tidak aku lihat lagi bahkan sekarang ketika dia berkunjung kerumahku. Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan. Akupun kembali menatap matanya dan bertanya," Ada apa? Ayo cerita padaku jangan dipendam sendiri," ujarku sambil memegang tangannya yang semakin kurus. Aku bicara dalam hati," Ini anak ndak makan-makan ya? Makan yuk! Ajakku kepada Tatri sambil menarik tangannya. Tapi dia menepis tanganku sambil berkata," Lagi ngak berselera," katanya. Lalu dia memutar-mutar kedua tangannya sambil berkata," Boleh ndak Tantri bercerita," ujarnya. Boleh...!? Jawabku dengan tubuh yang aku hadapkan kepadanya secara penuh. Keluarlah cerita dari mulut Tatri bahwa ayahnya ingin menikah lagi dengan seorang janda, padahal bundanya baru meninggal lima bulan yang lalu, tapi dia menentangnya karena dia tidak ingin ayahnya mencari pengganti bunda. Bagi Tantri hanya ada bundanya bukan yang lain. Tapi ayahnya tetap pada pendiriannya, sehingga Tantri menjadi sedih. "Kalau ayah tetap bersikeras ingin menikah, biarlah Tantri bunuh diri saja,"ujarnya. Mendengar perkataannya tersebut akupun terkejut,"Eh..jangan....! Itu perbuatan syetan, Tantri istighfar ya..? ujarku sambil kembali kupegang tangannya yang menggigil karena marah kepada ayahnya. Kupegang tangannya sambil kunasehati dia lama sampai dia kembali tenang.
Sudah tiga hari Tatri tak datang kerumah semenjak dia bercerita padaku. Aku bisa saja datang kerumahnya karena walaupun rumah kami tidak berjauhan, jaraknya cuma 200 meter, tapi aku malas pergi kerumahnya karena kakak laki-laki Tatri orangnya judes. Kalau aku tanya Tatri ada dirumah dia buang muka dan menjawab," Ndak tau," jawabnya. Padahal dia tahu Tatri ada diatas lantai dua kamarnya. Rumah Tatri tidak terlalu besar dan tidak pula terlalu kecil. Kamar Tatri dan kakak laki-lakinya terletak di lantai atas sedangkan kamar ayahnya dilantai bawah. Semenjak itu aku tidak lagi datang kerumah Tatri, dia saja yang terus datang kerumahku kalau ada persoalan.
Tapi apa ini? Kenapa orang ramai-ramai berlarian kerumah Tatri? Dengan penasaran akupun berlarian bersama tetangga menuju tempat keramaian,"Subhanalloh......Tatri.......!? Disana Tergeletak tubuh Tatri dengan penuh bergelimang darah keluar dari hidung dan mulutnya, ayahnya menangis sambil dipeluknya Tatri yang tidak bernyawa lagi. Akupun menggigil dan lututku gemetar melihat tubuh Tatri yang lunglai tidak bernyawa lagi dipangkuan ayahnya. Air mataku tak dapat kubendung lagi. ,"Kenapa Tatri,? ujarku dalam hati."Kenapa kau lakukan juga? Bukankah sebagai sahabatmu aku sudah memperingatkanmu bahwa itu adalah dosa? Kenapa? Tanyaku tak ada yang menjawab karena memang semua itu aku lontarkan didalam hatiku saja. Karena derita yang dialami Tatri hanya aku yang memahami, dia percaya kepadaku dan menceritakan hanya kepadaku, tapi aku tak dapat menolongnya untuk keluar dari kemelutnya.
Dihari ketiga semenjak Tatri meninggal, datanglah kakaknya kerumahku. Dengan wajah tertunduk dia mengulurkan sepucuk surat," Buatmu, terletak diatas meja Tatri," ujarnya dengan datar dan tanpa ekspresi dan diapun berlalu. Kulihat surat dari Tatri, dan kubuka pelan-pelan," Fe...maafkan aku tidak mengindahkan nasehatmu. Aku tak dapat menahan kerinduan pada bunda.," Aku sangat merindukan bundaku Fe....Selamat tinggal. Aku titip ayah dan kakakku. Sahabatmu ( Tatri )
Air mataku kembali mengalir setelah membaca surat yang ditinggalkan Tatri, sambil aku bergumam sendiri," Apa tidak ada cara lain menyelesaikan masalah?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerita yang bagus bu.Semoga berkenan singgah d gurusiana saya CINTA BUKU
Terima kasih bu muliyani, InsyaaAlloh saya singgah. Follow ya bu muliyani