NAMAKU RESAN
Sepertinya masih terlihat terlalu pagi aku terbangun, kutarik lagi sarung yang sebagian sudah menjuntai di lantai plester pecah-pecah, kuluruskan mataku tertuju pada jam dinding yang berjarak 3 m dari mataku, jarum pendek masih tetap diangka 4 sudah hampir sebulan, “hhmm sebenarnya sekarang jam berapa, masih pagi atau sudah siang tetapi mendung,” gumamku. Tetap kunikmati bantal di bilik kecil dengan dipan dan kasur kapuk yang sudah tipis dan seharusnya aku sudah beranjak dari tempat tidurku yang sudah tidak empuk lagi, tetapi malah rasa malasku semakin terpupuk, “ahh memang aku ini pemalas”, batinku perang. Dua lagu dari grup NOAH sudah berlalu dari radio kecil yang kunikmati, kuturunkan kakiku perlahan menginjak lantai yang terasa dingin dan bergegas menuju kamar mandi. Sejenak kakiku terhenti di sudut kamarku, kulihat secarik kertas yang kuselipkan di dinding bambu, kusam, ujung-ujungnya sobek termakan waktu.
Bapak…
Aku masih kelas lima
Ada rasa iri dengan si Rifki
Bermain bola ditemani ayahnya
Ke sekolah diantar dengan motor
Tetapi aku menemuimu di tempat yang banyak pohon kamboja yang sepi
Seragam pramuka dan sepatu sudah lengkap kukenakan, tas punggung kuambil secepatnya, jalan ke depan gang untuk naik angkot, agak lega karena di tas masih ada sisa uang Rp. 3.000,00 untuk membayar angkot PP dari rumah sampai di pertigaan Kenari, masih butuh waktu 7 menit lagi dengan berjalan kaki menuju sekolah. Di halaman sekolah sudah tidak terlihat Bapak/Ibu guru menyambut untuk bersalaman dengan murid-muridnya.
“Waduh terlambat lagi aku,” mulutku ngoceh dan hanya aku yang mendengar.
“Resan, kamu kenapa kok terlambat?” Tanya bu Tri dengan suara pelan dan sabar, aku duduk berhadapan dengan beliau di ruang BK.
“Tadi tidak ada yang membangunkan bu,” kutundukkan kepalaku sembari memberikan jawaban singkat.
“Berarti tidak sholat subuh? Agar tidak terlambat lagi, pesan ke ibu untuk membangunkan tiap subuh ya!” Pesan yang aku dengar dari guru BK di sekolahku yang sangat menyejukkan karena tidak pernah mengucapkan “jangan”.
“Iya bu, baik bu,” singkat lagi jawabanku sambil menulis surat pernyataan di buku Bimbingan Konseling dan menandatanganinya.
Aku menuju kelas, IX B ada di sebelah barat lapangan upacara, kelas yang diapit kelas IX A dan IX C. Kelas yang nyaman, bersih, asri karena ada taman di sudut kelas, di belakang terlihat mading keren berbentuk peta dan ada 2 meja “sudut baca”, sebelah kanan dan kiri tembok bagian atas ada hiasan dinding bertuliskan kata-kata indah tentang kebersihan dan semangat belajar, ada gambar pahlawan, dan ada bingkai berisi kaligrafi, serta banyak karya siswa yang terbuat dari barang bekas yang digantung di kaca kanan dan kiri ruang kelas tersebut.
Hari ini jam ke-3 sampai dengan ke-5 pelajaran matematika, teman-teman sudah dengan kelompok masing-masing, ada 5-6 siswa setiap kelompok, di meja masing-masing kelompok siap alat peraga (tepung terigu, kaleng susu bekas berbentuk tabung, dan kertas berbentuk kerucut) untuk bermain menemukan rumus volum kerucut. Siswa mengikuti langkah-langkah sesuai petunjuk di Lembar Kerja Siswa (LKS). Sangat antusias, asyik tertawa sambil diskusi dengan teman kelompoknya sampai mempresentasikan hasil diskusi di hadapan teman sekelas dan ada yang menanggapi.
Dua puluh menit terakhir, ada 10 menit untuk pengambilan nilai kemampuan pemahaman konsep dengan diberikannya 2 latihan soal yang dikerjakan tidak dengan kelompok tetapi diselesaikan sendiri-sendiri. Tiba-tiba rasa kantukku melanda, padahal kertasku baru aku tulisi “Diketahui” dan ada sketsa kecil bentuk kerucut, dan aku sudah tidak ingat apa-apa. Aku kaget, bangun dari mimpi sekejapku karena ada tepukan di pundakku dan ada suara orang yang mengajak bicara.
“Resan…Resan…, bangun! Basahi wajahmu dengan berwudhu di Musholla sekarang, tetapi kembali ke kelas ya,” kudengar Bu guru menyuruhku cuci muka, aku melek tapi entah sudah berapa kali bu guru membangunkanku, aku lari ke Musholla sekolah, sebenarnya ada rasa malu dengan bu guru dan teman-teman, tetapi kalau sudah kantukku datang aku tidak bisa menghentikannya. Selesai membasuh wajah, aku kembali ke kelas, bu guru menghentikanku di depan meja guru.
“Semalam tidur jam berapa Resan, mengapa sering tidur di kelas?” pertanyaan bu guru membuatku terdiam, mungkin bu guru sudah dapat cerita dari guru Bahasa Indonesia dan guru Bahasa Daerah kalau aku juga pernah tidur pada saat pelajaran mereka.
“Iya bu, maaf, besok saya ke ruangan bu guru ya,” hanya itu yang mampu terucap dari mulutku, kulihat anggukan bu guru, dan aku bergegas menuju bangkuku, dan bel ganti pelajaran berbunyi, terdengar bu guru mengucapkan salam menutup pembelajaran hari ini.
Malam ini teringat dengan janjiku tadi di sekolah, “aku akan ke ruangan bu guru”, bukan diriku yang menghadap, aku malu, aku hanya ingin menyampaikan selembar kertas ini:
Assalamualaikum, bu sebelumnya minta maaf, kemarin saya tidak dapat menjawab pertanyaan bu guru, kemarin pagi saya terlambat karena tidak ada yang membangunkan, berangkat sekolah saya tidak sarapan, tidak ada orang di rumah, ibu saya malam itu menginap di rumah majikannya, rasa malas untuk mencari ilmu semakin menjadi-jadi karena saya harus memikirkan diri sendiri sebagai anak, membayangkan mencari tebengan jika tidak ada uang untuk naik angkot, semoga teman yang sekolah di MAN tidak bosen karena seringnya aku nunuti, itupun tidak sampai di depan sekolah, aku masih harus jalan kaki dari MAN ke sekolah kira-kira 10 menit. Jika tidak ada guru/teman yang memberi uang untuk jajan, perutku juga tidak terisi sampai pulang ke rumah lagi, sampai ibu datang sorenya dari bekerja. Salah saya apa bu, keadaanku begini, masih kecil ditinggal bapak, ibu menopang hidup kami menjadi PRT, terkadang uangnya tidak cukup untuk membeli beras, membayar listrik, dan kebutuhan pokok lainnya, pernah saya makan hanya dengan nasi garam dan kerupuk, itupun sepiring nasi harus berbagi dengan adik. Dulu saya pernah dititipkan di panti, setahun lalu saya meninggalkan panti, hukuman tamparan dari pengurus panti penyebabnya, menurut saya, saya tidak bersalah (hapalan 15 ayat tetapi saya hapal 21 ayat), sampai sekarang saya masih bertanya-tanya salah saya apa lagi, mungkin nakal sekali, hingga tamparan itu melayang dimulutku. Sekarang adik saya yang di panti, enak karena dipenuhi semua kebutuhan sekolah dan lain-lain, semoga adik tidak seperti saya. Saya ingin seperti teman-teman yang serba kecukupan, sekolah dengan nyaman dan semua disiapkan oleh orang tuanya. Tidurku di kelas, jika setiap ditanya kenapa, jawabanku dikatakan tidak masuk akal “karena saya lapar”. Saya ingin protes dengan siapa, kok memenuhi bisa mengikuti pembelajran dengan baik, yang ada dipikiranku, saya ingin bekerja, dapat uang untuk membeli makan. Tidak bermaksud berlebihan menganggap hidup saya semerana ini, saya tahu, pasti ada yang lebih susah dari saya. Sebenarnya saya sadar, saya seharusnya bukan malah malas sekolah, harusnya aku lebih giat belajar agar kelak bisa menjadi lebih baik dalam hidup, tetapi saya tidak tahu harus bagaimana, apa yang harus saya lakukan bu? Terimakasih bu. Waasalamualaikum.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mbagus bgt cerpennya
terimakasih bu masih belajar menulis salam kenal #judul yang essip apa ya bu?
Mbagus bgt cerpennya