Navigasi Web

Membuat Soal "Mudah" atau "Susah"?

Setiap kali menjelang kegiatan ulangan tengah semester atau akhir semester, beberapa rekan selalu “galau” dalam menulis atau membuat soal untuk kegiatan tersebut. Menilik input peserta didik yang dibawah rata-rata, ada beberapa rekan yang merasa mubadzir jika membuat soal dengan “sungguh-sungguh” dalam artian memperhatikan ranah kognitif dan psikomotor sesuai dengan taksonomi Bloom. Sudah mengerahkan segenap usaha, namun hasil yang didapatkan sangat memprihatinkan. Dalam satu kelas hanya satu atau dua siswa yang nilainya mencapai dan atau melebihi kkm.

Namun ada juga beberapa rekan yang berpendapat berbeda. Ketika membuat soal sebaiknya disesuaikan dengan karakter peserta didik tanpa mengesampingkan taksonomi Bloom. Hematnya, meskipun kemampuan peserta didik minimal, tetapi soal harus tetap maksimal agar peserta didik tidak kaget ketika bertemu soal bukan buatan gurunya sendiri, seperti soal ujian sekolah atau ujian nasional karena sudah terbiasa berpikir keras untuk menjawab soal.

Di sisi lain, soal “susah” memang memunculkan masalah yakni banyak nilai yang tidak tuntas (tidak memenuhi kkm). Hal ini tentu kembali lagi ke diri sang guru sebagai masalah yang memusingkan. Nilai kok remidi semua? Namun disisi lain, ada pengalaman dan pembelajaran baik bagi guru maupu peserta didik. Bagi guru hal ini menjadi motivasi dalam rangka memudengkan peserta didik agar dapat mencapai hasil yang diharapkan. Bagi peserta didik, hal ini akan membuat mereka terbiasa “menggunakan otak sedikit lebih keras”, tidak selalu dibuai dengan soal yang mudah sehingga membuat mereka terlena dan syok berat ketika bertemu soal yang “susah”. Jika peserta didik sudah terbiasa berpikir kritis dan terbiasa menghadapi berbagai jenis soal yang katanya susah, mereka akan dengan percaya diri menghadapi soal apapun bentuknya.

Dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bukan masalah susah atau mudahnya, tetapi alangkah baiknya jika dalam membuat soal disesuaikan dengan aturan main pembuatan soal. Bukankah sudah ada presentase antara soal mudah, sedang dan sukar? Input rendah bukan berarti kita sebagai guru harus menyesuaikan soal dengan kemampuan peserta didik yang rendah. Bukankah peserta didik setelah lulus dari sekolah akan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja dimana semuanya menuntut kerja keras, semangat dalam menghadapi soal atau permasalahan? Jadi bagi penulis sebenarnya soal “susah” sebenarnya tidak melulu tentang soal atau keilmuan dari suatu bidang. Tetapi juga merupakan sesuatu yang dapat digunakan oleh guru untuk memberikan pendidikan karakter. Melatih peserta didik supaya terbiasa bekerja keras, jujur, semangat dan pantang menyerah dalam menjawab pertanyaan. Memang semuanya butuh proses. Semuanya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Jadi, marilah kita latih anak didik kita agar terbiasa “menggunakan otaknya”. Jika menghadapi soal yang katanya susah itu saja mereka sudah tak punya daya juang, bagaimana mereka akan menghadapi kehidupan mereka kelak yang pastinya penuh dengan persoalan?

Penulis adalah peserta SaGuSaBu Purbalingga

SMK N 2 Purbalingga

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantaapppp. Kerenn

31 Oct
Balas



search

New Post